Sabtu, 17 Maret 2012


KEKERASAN SOSIAL DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA
Suatu Pendekatan Sosial Budaya
MUDJAHIRIN THOHIR
PIDATO PENGUKUHAN
Disampaikan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Antropologi Budaya pada Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, Cetakan pertama, 2007
Diterbitkan oleh Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang
1. Pendahuluan
            Manusia dari segi nurture, lahir (by given) telah memiliki ciri-ciri bawaan sendiri secara berbeda, seperti bentuk ketubuhan, kromosom, warna kulit, dsb. Dari segi culture, manusia hidup dan dibesarkan juga dipengaruhi oleh lingkungan fisikal dan lingkungan sosial yang berbeda. Pengaruh keduanya, menjadikan manusia pada batas-batas tertentu memiliki kemiripan, kesamaan, atau perbedaan. Perbedaan-perbedaan seperti inilah yang dalam sejarah kehidupan mulai dikenal istilah kemajemukan. Hadirnya entitas kemajemukan dalam satu segi, dan pemilahan diri secara binari dalam segi yang lain, menghadirkan dua sisi dari sebuah mata uang, yaitu: permusuhan dan persaudaraan.
            Permusuhan terjadi sebagai akibat dari cara melihat diri (the self) terhadap sosok orang lain (the others) yang berbeda itu sebagai pihak yang di luar, yang berpeluang untuk mengancam, baik oleh atau atas nama perbedaan nurture maupun culture. Perbedaan-perbedaan itu pada gilirannya, ditempatkan dan diposisikan sebagai pihak-pihak yang bisa mempersempit peluang, atau memperlemah keyakinan keagamaan. Inilah fenomena di balik kemajemukan.
            Ketika melihat Indonesia sebagai satuan kewilayahan sosial, ditemukan keanekaragaman atau kemajemukan ketubuhan dan kultural. Kemajemukan ketubuhan seperti warna kulit, kemajemukan kultural seperti kemajemukan etnis, agama, golongan sosial dan kepentingan. Sebagai suatu kemajemukan, maka di dalam banyak wilayah-wilayah geografikal dan kultural Indonesia, di sana didapatkan orang-orang yang berasal dari etnis yang berbeda-beda. Berbedaan etnis itu bisa juga diikuti oleh perbedaan agama, perbedaan golongan, dan perbedaan status sosial. Semakin besar wilayah kehidupan masyarakat manusia, semakin kompleks kemajemukannya. Di desa-desa terpencil, mungkin hanya ada satu atau dua warga yang berbeda etnik atau berbeda agama. Pada tingkat kecamatan dan kabupaten, perbedaan itu semakin kentara. Apalagi pada wilayah ibukota propinsi, kita menjadi sulit menghitung secara pasti, berapa jumlah orang dilihat dari segi perbedaan etnik, agama, golongan dan sebagainya yang hidup dan menjadi warga kota. Begitu pula di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Pendek kata, kemajemukan adalah suatu kondisi yang alami.
            Kemajemukan sebagai kondisi yang alami itu, melahirkan pengaruh-pengaruh yang berbeda-beda pula. Pengaruh kemajemukan dari satu wilayah berbeda dengan wilayah lainnya . Ada kalanya di dalam kemajemukan itu – untuk wilayah-wilayah tertentu — ditemukan konflik-konflik yang terbuka, tetapi pada wilayah-wilayah lain – konflik tidak muncul secara terbuka (laten) .
            Dalam konteks seperti itu, kemajemukan dan konflik, adalah dua istilah yang bisa berdiri sendiri, tetapi bisa saling terkait. Bisa berdiri sendiri karena dalam kemajemukan, belum tentu ada konflik. Atau jika ada konflik, maka konflik itu muncul tidak selalu didasari oleh faktor kemajemukan. Bisa saling terkait kalau kemunculan konflik dilatarbelakangi oleh adanya kemajemukan. Ini artinya, konflik bisa muncul dari internal kelompok yang tunggal, tetapi bisa muncul dari kelompok atau golongan yang majemuk atau anekaragam. Pada umumnya, konflik memang sering dilatarbelakangi oleh kemajemukan. Jika bukan karena kemajemukan etnik, agama, atau golongan, setidak-tidaknya adalah kemajemukan pemikiran, pandangan, dan kemauan, atau kepentingan. Di sini lalu, kemajemukan memberi ruang kepada perbedaan.
            Dalam kehidupan sosial, kemajemukan tidak saja terbatasi kepada entitas (kata benda) tetapi juga dinamika (kata kerja) dan akibat dari kinerja (hasil kerja). Di sinilah lalu masyarakat manusia bukan saja berkecenderungan untuk dalam satu sisi mengelompokkan diri dalam satuan-satuan sosialnya, sesuai dengan kesamaan-kesamaan asal-usul kedaerahan, etnik, keagamaan, profesi, potensi, dan kepentingan, tetapi bersamaan dengan itu juga berarti hadir dan menghadirkan kelompok lain yang tidak sama, sebagai kelompok yang berada di luarnya. Mulai dari sini dikenal adanya ”in-group” lawan ”out-group”. Kecenderungan demikian inilah yang menghadirkan dalam sejarah kehidupan masyarakat manusia itu ke dua sisi dalam suatu mata uang, yaitu konflik dan harmoni.
2. Konflik Sosial
            Gejala dari lahirnya apa yang disebut konflik adalah hadirnya perasaan tidak senang, tidak nyaman, dan tidak menenteramkan dalam diri seseorang, atau sekelompok orang, atau masyarakat, ketika menghadapi atau berhadapan terhadap adanya perlakuan atau diperlakukan oleh orang lain, atau kelompok lain, atau masyarakat lain. Pada batas-batas tertentu, kondisi demikian bisa hadir sebagai perlakuan diri seperti tuntutan berlebih secara subyektif atas hak-hak yang harus diterima daripada pihak lain, atau sebaliknya, karena diperlakukan oleh pihak lain, yang dinilainya sebagai tidak adil, tidak manusiawi, atau perlakuan itu, bertentangan dengan peradaban, atau adat-istiadatnya. Perlakuan yang tidak menyenangkan itu, bisa dijalankan secara sengaja atau tidak sengaja, secara spontan atau sistematis, dengan tanpa tujuan yang direncanakan terlebih dahulu, atau karena adanya tujuan yang sudah diatur sedemikian rupa sebelumnya, guna merusak, atau mengambil alih, atau tidak memberi kesempatan untuk kepentingan-kepentingan bersama. Oleh karena itu, konflik bisa bersifat sangat individual atau bisa bersifat kolektif. Sedang tahapan konflik bisa secara frontal atau gradual yaitu melalui suatu proses dari kecil lalu membesar, dari sikap antipati sampai pada saling berhadapan. Adapun perwujudannya, konflik bisa terwujud secara tersembunyi, atau secara terbuka.
            Konflik yang tersembunyi atau laten adalah konflik yang tidak secara jelas bisa diamati. Konflik laten bisa lahir dari suatu kondisi yang tidak seimbang di antara duabelah pihak, yaitu pihak yang merasa kecil, kalah, dan karena itu terpinggirkan, dengan pihak yang merasa atau dianggap besar, menang, dan bermaksud atau dianggap akan meminggirkan. Perasaan atau anggapan demikian, dapat dilihat atau muncul karena prejudice tetapi bisa juga karena kompetitif. Kalau kompetisi kedua belah berada dalam ketidakseimbangan dalam potensi atau kekuatan, konfrontasi bukan tidak akan keluar, melainkan belum keluar. Tetapi apabila ketidakseimbangan itu berubah, setidak-tidaknya spirit yang semula kecil dan kalah tumbuh menjadi suatu kekuatan yang militan, maka ukurannya bukan soal kecil lawan yang besar, melainkan kepada kesanggupan menyikapi keadaan. Apabila cara mensikapinya dengan sikap kebencian dan permusuhan kepada orang lain atau pihak lain sudah dalam keadaan saling berhadapan, maka konflik sudah menjadi bersifat terbuka.
            Konflik yang terbuka maupun tersembunyi, dalam satu sisi bisa dilihat sebagai dinamika sosial. Sebagai dinamika sosial, konflik bisa ditempatkan dalam kondisi netral. Artinya, tidak setiap konflik adalah buruk. Konflik, bukanlah buruk, sepanjang munculnya gejala konflik dapat ditanggapi sepadan dengan kemampuan untuk mengelola konflik tersebut. Dalam kondisi demikian, konflik bisa melahirkan dinamika. Konflik seperti ini out-put atau keluarannya bisa berupa kreativitas-kreativitas baru yang sebelumnya tidak dipikirkan.
            Kondisi demikian, bisa dianalogikan dengan stress bagi seorang individu. Stress adalah suatu kondisi psikologis yang dirasakan oleh seseorang sebagai tantangan atau tekanan. Jika ia diperlakukan sebagai tantangan, biasanya akan menjadikan seseorang itu semakin memiliki daya tahan. Akan terjadi sebaliknya, yaitu kalau ia diperlakukan sebagai tekanan dan beban, maka stress bisa berubah menjadi distress, suatu kebingungan untuk mencari jalan keluarnya. Dan itu adalah problem.
            Ketika konflik memberi pengaruh kepada terganggunya kenyamanan bagi perasaan, pikiran, dan tindakan bagi banyak orang guna menjalankan tugas sesuai perannya, maka konflik dalam pengertian ini, cenderung berkonotasi negatif. Kalau berkonotasi negatif dan diasumsikan akan membawa dampak-dampak negatif, maka pikiran sehat kita mengatakan, bahwa konflik-konflik seperti itu perlu dieliminasi sedemikian rupa. Pengeliminasian konflik sama artinya dengan pengelolaan konflik atau managemen konflik.
            Dengan cara yang bagaimana mengeliminasi konflik-konflik tersebut? Untuk memberi jawaban dan memberikan jalan keluarnya, dibutuhkan pemahaman yang memadahi, bukan saja mengenai level-level atau jenis-jenis konflik; proses-proses muncul dan berkembangnya konflik; sumber-sumber atau akar-akar konflik; tetapi juga perlu memahami bagaimana masyarakat yang bersangkutan memaknai konflik dan mengudari atau menyelesaikan konflik . Pemahaman demikian itu adalah pemahaman mengenai kebudayaan konflik. Ini artinya, intervensi untuk dapat menyelesaikan konflik secara damai, dan anti kekerasan, hanyalah mungkin kalau kita juga memahami kebudayaan konflik masyarakat sasaran.
            Pada masyarakat sasaran kita temukan adanya dua fenomena yang menarik. Pertama, masyarakat yang membiarkan konflik terbuka terjadi. Kedua, masyarakat yang untuk sementara “mampu” menutupi, atau mencegah timbulnya konflik. Munculnya konflik terbuka maupun dapat tercegahnya konflik terbuka, dipahami karena diakui adanya kekuatan-kekuatan bersama yang mendorong. Kekuatan-kekuatan yang mendorong itu, tidak selamanya bersifat fisikal, sesuatu yang bisa diamati misalnya lewat antisipasi kekuatan militer, tetapi juga kekuatan-kekuatan lain, seperti kekuatan tokoh-tokoh sosial yang memiliki kewibawaan, maupun tokoh-tokoh yang dalam alam pikiran kultural, disebut sebagai cultural heros. Kekuatan pencegahan itu seringkali ditandai oleh pertanda awal (early warning) berupa sistem-sistem alarm (alarm systems) dan kearifan-kearifan lokal.
            Di luar itu, konflik bisa mereda ketika pihak-pihak yang berkonflik sudah mulai kehilangan energi. Dengan kehilangan energi, memunculkan kemauan bersama untuk gencatan senjata meskipun sifatnya sementara. Jika tidak demikian, konflik bisa mereda karena pihak-pihak yang berkonflik, menyadari adanya kepentingan yang lebih besar sehingga mereka sepakat untuk mengakhirinya, misalnya dengan munculnya kesepakatan Pancasila sebagai dasar negara.
3. Konflik Kekerasan di Indonesia
Di balik kemegahan Candi Borobudur, sang mahakarya peradaban, tersimpan cerita kekerasan , intrik, ambisi, dan pengkhianatan para penguasa Nusantara. Budaya kekerasan pun mengakar, berlanjut ke masa kesultanan, penjajahan, dan semakin ganas di era Orde Baru berkuasa dan hingga kini, budaya kekerasan itu berperan sebagai penguasa Indonesia dari belakang layar .
Dalam sejarah Indonesia, konflik kekerasan sudah dimulai dari Ken Arok di Singosari sampai dengan Amangkurat I dan II di Mataram. Dalam buku The History of Java, Raffles menceritakan betapa sadis Amangkurat I: “Bila ia merasa tak enak hati, ia selalu menghabisi orang yang menjadi sumber ketidaksenangannya.” Ia bahkan pernah mengumpulkan 6000 orang (para agamawan beserta keluarganya) ke alun-alun, dan membunuhnya tak kurang dari waktu 30 menit. Atau cerita dari Babad Tanah Jawi yang menunjukkan betapa sadis si Amangkurat II. Ia menikam dan mencincang Trunajaya, lantas membagi-bagikan hatinya agar dimakan para bupati yang hadir di suatu balairung pembantaian itu.
Pada masa kolonial, terjadi karena ketidakadilan politik pemerintah kolonial yang bersifat other-centric. Paham ini membuat kebijakan di Nusantara berkiblat kepada kepentingan Hindia Belanda sebagai entitas politik. Kebijakan yang diambil mengacu dari, oleh, dan untuk kepentingan Belanda sebagai negara induk. Penjajah Belanda itu telah mengajar banyak hal negatif kepada warga bangsa Indonesia, di antaranya adu domba dan tindakan kekerasan.
Adu domba kepada raja-raja dan keturunannya, atau antara kerabat kerajaan dengan rakyatnya sendiri, adu domba juga dilakukan dengan cara membuat pemilahan sosial warga bangsa, seperti warga bangsa Eropa,warga bangsa Asia, dan warga bangsa Inlander, alias warga bangsa Indonesia. Lewat adu domba dan berbagai intrik tadi, melahirkan berbagai pergolakan dengan dan melalui kekerasan-kekerasan.
Pada akhir masa Orde Lama, kekerasan dalam skala besar dilakukan misalnya dengan desain bergolaknya gerakan PKI dan juga ketika menumpas G30 S/PKI. Anak bangsa ini tidak tahu persis siapa yang menskenario kekerasan-kekerasan demikian ini, tetapi faktor perebutan kekuasaan sering tersembunyi dibalik conflict by design dimaksud. Kemudian era Orde Lama itu berganti atau digantikan oleh pemerintahan Orde Baru di bawah pemerintahan Soeharto yang juga tidak sepi dari praktik kekerasan.
Pada era Orde Baru telah diberlangsungkan mata rantai militerisasi dalam hubungan sipil- militer sebagaimana yang kita kenal kebijakan dwi-fungsi abri yang ternyata dalam aplikasinya di lapangan telah mengalami banyak distorsi, baik dalam kancah politik, kemasyarakatan, dan ekonomi.
Dwifungsi Abri dalam ranah politik, termanifestasikan ke dalam bentuk kekaryaan militer dalam jabatan sipil serta intervensi pendekatan militeristik dalam birokrasi. Jika kita telaah secara substansial, fenomena itu menggambarkan kepada kecenderungan di kalangan militer sendiri untuk melakukan penguasaan sumberdaya ekonomi-politik, kontrol politik militer, dan dominasi militer atas warga sipil. Akibat dari praktik penguasaan ini ialah melemahnya elemen dan hak-hak sipil untuk membangun demokrasi, serta merebaknya pembudayaan kekerasaan. Setiap ada konflik sosial yang berlatar politik, militer mengambil porsi menyelesaikan dengan cara-cara kekerasan.
Dalam ranah kemasyarakatan, dwifungsi Abri itu dimanifestasikan ke dalam ”penjagaan” teritorial. Dalam hal ini militer terlibat dalam menangani masalah keamanan yang sebenarnya menjadi tugas kepolisian. Penanganan masalah-masalah keamanan tidak dilakukan secara persuasif apalagi dalam bentuk musyawarah, tetapi lebih kepada model pendekatan keamanan yang militeristik. Akibat dalam kehidupan sosial seperti itu, tidak saja memperlemah posisi dan peran polisi tetapi juga terbiasa dan terpeliharanya budaya kekerasan. Di samping itu, Kondisi demikian itu dalam satu sisi akan memperlemah kemandirian masyarakat sipil, dan pada sisi lain, akan menjadikan ketergantungan kepada militer. Militer bukan saja menjadi pelaku tetapi juga menjadi alat untuk melakukan kekerasan ketika terjadi perbedaan dan perselisihan di antara warga sipil, apalagi kalau perselisihan itu terjadi antara sipil dengan militer.
Dalam ranah ekonomi, militer bahkan polisi mulai merambah dunia bisnis, atau menjadi backing bagi kelompok-kelompok pebisnis. Ketika militer ikut bermain dalam kegiatan bisnis, maka sengketa-sengketa dalam persoalan bisnis dengan mudah diselesaikan lewat ancaman dan kekerasan. Akibatnya, pihak-pihak yang bisa ”membeli” militer, semakin bertingkahlaku tanpa mengindahkan aturan main atau etika sosial-ekonomi karena merasa terlindungi. Apa arti keseluruhannya itu? Penyelesaian berbagai persoalan politik, ekonomi, dan sosial, cenderung dilakukan lewat solusi kekerasan . Dari sinilah gejala-gejala premanisme dalam menyelesaikan berbagai permasalahan sosial mulai dikenal dan diperkenalkan. Penyelesaian dengan kekerasan seperti itu, adalah penyelesaian dengan mengandalkan adu otot dan waton gedhe jegoge.
Kekerasan demi kekerasan yang tidak pernah tidur di bumi Indonesia ini, mungkin juga karena terilhami oleh faham machiavelellian. NICOLLO Machiavelli, seorang filosof politik, mendalilkan bahwa kekerasan (represi) adalah absah digunakan untuk tujuan kekuasaan. Perlu diketahui, latar-belakang mengapa Machiavelli berdalil seperti itu, awal mulanya adalah karena terjadinya peperangan yang melegitimasi piranti-piranti kekerasan di masa Alexander II dan Julius Caesar II, Caesar Borgia dan Keluarga Medici, Maximilian dan Louis XII. Melihat praktik kekerasan yang dilakukan oleh kaisar seperti itu, membuat Machiavelli gerah. Ia lantas merumuskan teori kenegaraan modern, yakni menyarankan penggunaan kekuatan represif untuk membangun sebuah negara yang kuat. Jalan satu-satunya untuk menghentikan peperangan adalah hadirnya seorang pangeran yang kuat, yang mampu menyatukan kekuatan manusia dan hewan. Teori pencapaian kekuasaan dengan segala cara ala machiavellianism ini dikutuk oleh negara-negara masa kini, tokoh-tokoh politik, agamawan serta masyarakat lain umumnya karena bertentangan dengan humanisme/HAM. Namun, betapapun demikian, kutukan tersebut nampak hanya dalam konsep saja. Realitasnya, cara untuk mencapai kekuasaan dengan kekerasan, baik fisik maupun nonfisik; baik karenadominasi atau hegemoni; baik langsung atau tidak langsung; di dunia modern ini nampak semakin sering digunakan. Terorisme yang dilakukan negara atau kelompok tertentu dalam masyarakat adalah contoh baik untuk disebut .
Pergantian kekuasaan di negeri ini sama sekali tidak mencerminkan demokratisasi. Jika terdefinisikan sebagai ”demokrasi”, maka dalam praktiknya adalah ”demokrasi seolah-olah” (quasi-democration) karena dalam praktiknya diwarnai dengan dan memalui kekerasan terutama dalam kerangka perebutan kekuasaan. Perjalanan waktu dalam era reformasi ini, kita menyaksikan sendiri bagaimana otoritas kekuasan kehilangan orientasi untuk mewujudkan ketertiban umum. Dalam bahasa Benny Susetyo (2002), ”mereka tak mampu mengatasi budaya premanisme yang menjamur di kalangan sipil dengan menggunakan baju keagamaan, kedaerahan, kesukuan, dan kepartaian. Ini akibat negara juga mengembangkan budaya premanisme yang hampir serupa, yakni kerap mengintimidasi dan meneror”.
Negara berkewajiban menghentikan kekerasan, tetapi bagaimana pula kalau negara dalam menyelesaikan persoalan masih suka menggunakan kekerasan? Adakah ini permakluman? Celakanya, kekerasan itu tidak diselesaikan dengan tuntas sehingga berpotensi meledak menjadi kekerasan pada masa-masa berikutnya. Perasaan dendam di antara pihak-pihak yang bertikai tidak dikelola dengan baik, sehingga dendam yang ada sewaktu-waktu berpeluang meledak menjadi kekerasan baru dan biasanya dalam skala yang lebih besar. Dalam konteks ini, kita menjadi seperti tidak memiliki referensi menyelesaikan masalah-masalah kekerasan secara dewasa , atau kekerasan demi kekerasan itu memang dipelihara karena mind-set yang ada dalam kepalanya: homo homini lupus.
4. Kekerasan Agama dalam Konteks Negara Bangsa
Ada setidaknya tiga penjelasan bagaimana kekerasan dibawa ke ranah agama. Pertama, agama dibawa-bawa oleh negara dan penguasa untuk menjustifikasi dan melegitimasi keputusan-keputusan politik kekuasaan. Kedua, pihak-pihak yang memanfaatkan dan mengatasnamakan lembaga-lembaga agama yang mengembangkan sayap kekuatan untuk merespons keputusan politik dan praktik-praktik pemerintahan, atau memanfaatkan ideologi keagamaan untuk kepentingan-kepentingan lembaga-lembaga, organisasi-organisasi, kelompok-kelompok keagamaan, atau partai-partai yang mendasarkan diri pada azas keagamaan itu sendiri. Ketiga, individu-individu yang merasa terpanggil untuk menghentikan kekerasan, kemaksiatan, dan berbagai keburukan lainnya menurut tafsiran-tafsiran sesuai selera yang merasa terabsahkan bagaimana menyelesaikan persoalan dimaksud dengan menggunakan kekerasan.
Penggunaan agama sebagai alat justifikasi bagi negara, seringkali memiliki dua sayap. Sayap pertama berupa pemanfaatan agama untuk memudahkan program dan proyek-proyek pemerintah itu bisa diterima rakyatnya. Pada sayap ini, terjadi pengerahan secara besar-besaran para tokoh agama untuk menjelaskan ”kemauan yang baik” pemerintah, seperti program Keluarga Berencana. Wacana keagamaan dalam konteks ”keluarga baik,” diukur lewat entitas atau kuantitas jumlah anak dalam keluarga. Ketika agama dipakai sebagai alat sosialisasi, maka dalam aplikasi di lapangan hampir selalu terjadi distorsi-distorsi karena hampir semua program pemerintah itu dievalusi keberhasilannya berdasarkan target pencapaian. Dalam konteks seperti ini, aparat-aparat pemerintah, tidak lagi bicara soal proses dan kondisi-kondisi yang menjadi persyaratan yang menjadikan ”pencegahan kehamilan dan kelahiran” itu diperbolehkan menurut syariat agama. Para aparat pemerintah, tidak hanya tidak tahu mengenai bagaimana landasan syar’i dalam konteks seperti ini, tetapi juga karena kemauan pragmatis negara yang harus dijalankan, dalam hal mana mereka menjalankan tugas atas nama negara dan evaluasi kinerja aparat itu sendiri. Di sinilah pemaksaan kehendak bahkan kekerasan sepertinya ”disahkan” kehadirannya dengan mengatasnamakan agama.
Pada sayap kedua, adalah memperlakukan hak negara untuk menentukan mana agama yang disahkan dan karena itu ada agama yang tidak sah. Negara mensahkan suatu agama tertentu sama artinya kekuasaan negara melampaui kekuasaan Tuhan itu sendiri, sehingga memunculkan kondisi seperti berlangsungnya kekerasan agama. Kekerasan dilakukan oleh suatu kelompok agama kepada kelompok agama lainnya. Tuhan dibayangkan sebagai ”pecandu perang” sehingga kekerasan dan perang dimaknai sebagai ”persembahan” kepada Sang Tuhan. Dalam bahasa Komarudin Hidayat, ”atas nama Negara, sebuah rezim bisa memberangus agama karena beranggapan, berbeda agama berarti berbeda Tuhan, dan perbedaan berarti ancaman bagi yang lain sehingga negara tampil sebagai hakim” . Dalam konteks ini, agama lebih dilihat sebagai institusi, dan tidak dalam apresiasi. Di sinilah perilaku ambevalensi negara dalam kaitannya dengan agama. Agama hanya dipanggil ketika ada kebutuhan legitimasi dan dicampakkan ketika menagih tanggung jawab moral .
Penggunaan agama oleh lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok keagamaan dalam bentuk-bentuk kekerasan, bisa dan mudah timbul ketika ia dibawa ke dalam ranah politik kekuasaan. Di sinilah “ada” bahayanya jika agama dibawa ke dalam ranah politik. Bahaya itu muncul ketika penggunaan agama, tidak dalam konteks landasaan etik, melainkan sebagai identitas. Ketika agama sebagai identitas, maka muncul kencenderungan bagi “pemilik” lembaga ataupun partai politik, melakukan dua hal sekaligus yaitu (1) kepentingan disakralisasi dengan mengatasnamakan Tuhan, dan (2) menghakimi pihak lain yang berbeda pandangan sebagai pandangan yang menyesatkan, sehingga dengan mudah menyelesaikan persoalan perbedaan pandangan tadi dengan tindak kekerasan atas nama menjaga kebesaran Tuhan. Dengan proposisi “atas nama Tuhan”, maka logika yang dimainkan oleh penganut yang sekaligus merasa sebagai “pemilik” agama itu adalah “pembenaran”, sehingga kecenderungan umum manusia adalah menyuguhkan gejala-gejala atau fakta-fakta yang diikuti dengan interpretasi secara ethnocentric. Di sinilah lalu “permusuhan” dan “kekerasan” adalah disahkan atas nama (agama) Tuhan.
Hadirnya berbagai kekerasan yang dialamatkan atau yang dilakukan oleh mereka yang secara luaran menggunakan atribut-atribut agama, hingga dewasa ini masih sering terjadi. Budaya kekerasan yang berlaku dan dilakukan oleh “umat” beragama dalam kehidupan sosial yang majemuk seperti Indonesia ini, akarnya bisa dilihat dari dua sisi, internal dan eksternal.
Pada sisi internal, kekerasan itu bisa lahir karena pertama, kecintaan yang terlalu mendalam (fanatisme-sempit) terhadap agama yang dipeluk sehingga menafikan adanya agama-agama lain di luar sana. Nalar keagamaan seperti ini, diakui atau tidak, masih sering muncul dari para penyiar agama-agama itu sendiri. Kedua, munculnya ketidakpuasan dalam berbagai lapangan kehidupan seperti dalam kehidupan politik, ekonomi, sosial, hukum, dan sebagainya. Keresahan kolektif atas kondisi yang “sangat tidak ideal” seperti rusaknya tatanan hukum, lemahnya penegakan hukum terhadap pengianatan bangsa seperti yang dilakukan oleh para koruptor, merebaknya pornografi, rusaknya tatanan sosial, dan sebagainya, ditarik langsung sebagai akibat negara, pemerintah, dan masyarakat, tidak menggunakan landasan agama “yang dipeluknya”.
Kecintaan yang terlalu mendalam (fanatisme-sempit) terhadap agama yang dipeluk, merupakan pertanda dari “gagalnya” para tokoh agama bagaimana “membumikan” agama dalam kehidupan sosial yang beranekaragam, baik keragaman dalam tataran nurture maupun culture. Ketika pemeluk agama ini sudah tumbuh keyakinan bahwa “agama yang dipeluknya”-lah yang benar, dan tidak ada penjelasan lain bahwa mereka yang berada di luar, juga memiliki hak untuk menyatakan yang sama terhadap agamanya. Karena kelupaan untuk menjelaskan hal ini, atau memang sengaja diabaikan, maka tindakan pihak-pihak yang berbeda agama, kendatipun tindakan itu berlabel “ibadah” atas nama agamanya masing-masing, cenderung dinilai sebagai ancaman bagi kelompok pemeluk agama yang berbeda. Apalagi kalau fenomena seperti itu ditarik secara melebar ke ranah politik atau ekonomi.
Karena melihat pihak lain sebagai “ancaman”, maka bahasa yang digunakan dan disosialisasikan adalah bahasa-bahasa yang mengandung cita rasa “kekerasan”, seperti “waspada”, “pelecehan agama”, “kemungkaran”, kekafiran, dan perang. Dari sinilah skala konflik-keagamaan mulai memperoleh tempat persemaian. Ketika “peneguhan iman” dalam satu segi sudah menguat, dan kecurigaan atas perlakukan atau tindakan umat lain, ditafsirkan sudah mengedepan, maka perang dan memerangi orang-orang kafir (karena melakukan secara sengaja berbagai kemungkaran) di bumi ini, menjadi adagium keagamaan itu sendiri. Melakukan kekerasan lantas tidak ditempatkan sebagai “kekeliruan” di dalam menerapkan ajaran agama, tetapi justru ditempatkan sebagai tanda oleh pelakunya masih adanya spirit (ghirrah) keimanan diri.
Membiarkan mind-set atau cara berfikir dan cara menanggapi the self dan the others demikian, maka akan mudah diramalkan bahwa keberagamaan agama yang ada itu akan tetap menjadi lahan subur untuk lahirnya konflik sosial, kendatipun bersifat latensial.
Konflik latensial akan mudah berubah menjadi konflik manifest ketika ruang untuk itu memungkinkan. Akan bisa menjadi konflik manifest kalau ketidak-adilan, lemahnya penegakan hukum, dan merosotnya moral masyarakat secara kolektif, ditanggapi sebagai tidak semata-mata karena ukuran kualitas keimanan individu-individu, tetapi lebih dilihat secara agregat sebagai tanda (1) tumbuhnya sikap masa bodoh negara terhadap keadaan yang dinilai sudah jauh meninggalkan nilai moral, dan (2) banyaknya tokoh agama yang mulai lebih tertarik kepada kepentingan pragmatis seperti kekuasan dan materi. Dari fenomena tersebut itulah lalu menghadirkan kepada sejumlah orang untuk melihat keadaan tadi sebagai tantangan bagi umat yang masih punya iman. Dari sinilah lalu memunculkan kebutuhan spiritualitas keagamaan yaitu merindukan Tuhan melalui caranya sendiri, sekalipun cara-cara yang ditempuhnya, adalah cara kekerasan.
Tindakan seperti itu, bisa saja timbul dan hidup dalam persemaian selama mereka melihat berbagai kebobrokan moral aparat pemerintah maupun rakyat sebagai akibat langsung dari ’berpaling dari agama’. Karena itu, tumbuh kebutuhan mereka untuk menjadikan dua hal, yaitu mengembalikan agama, tidak saja menjadi landasan ideal tetapi juga landasan hukum (syar’i) dalam kehidupan bersama. Islam sebagai agama dan negara (innal al Islam Din wa Daulah), dan setiap umat Islam berkewajiban memurnikan bukan saja ajaran tetapi juga dalam praktik-praktik keagamaan menurut teks agama.
Dalam pandangan kelompok ini, Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan semata, tetapi juga memuat ajaran tentang hubungan antar sesama manusia, baik dalam aspek sosial maupun politik kenegaraan. Dalam format demikian, Islam merupakan tipikal sosio-politik, di mana fungsi agama dan politik tidak dapat dipisahkan melainkan harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam satu wadah yang bernama “Negara Islam”.
Gagasan politik Islam demikian itu, bergerak ke arah penguatan basis umat Islam sebagai modal politiknya dan menempatkan Islam sebagai ideologi gerakannya. Keduanya bergerak dengan dilandasi teologi politik yang kuat dan mengakar dalam ide dan sikapnya sebagai penganjur gerakan Islam fundamentalis atau radikalis.
Pengertian radikalisme itu sendiri adalah “prinsip-prinsip atau praktik-praktik yang dilakukan secara radikal . Ia merupakan kata lain dari ekstremisme, militanisme, atau fundamentalisme. Istilah-istilah itu digunakan dalam banyak pengertian yang berbeda-beda, tetapi yang jelas, istilah-istilah tersebut tidak terbatas tertuju pada Islam, termasuk juga tidak terbatas pada kegiatan agama, karena banyak contoh tentang fundamentalisme dalam beberapa gerakan politik yang mempunyai ideologi-ideologi sekuler, jika bukan ateis yang memiliki watak radikal.
Ciri-ciri umum dari fundamentalisme Islam ialah: (a) gerakan-gerakan Islam yang secara politik menjadikan Islam sebagai ideologi dan secara budaya menjadikan Barat sebagai the others; (b) memiliki prinsip yang mengarah pada paham perlawanan (oppotionalisme); (c) penolakan terhadap hermenitika karena pemahaman alquran sepenuhnya adalah skriptualistik; dan (d) secara epistemologis, dalam wilayah gerakan sosial-politik menolak pluralisme dan relativisme; serta (e) penolakan perkembangan historis dan sosiologis, karena dalam pandangan mereka, “umat manusia yang tengah melakukan aktivisme sejarah di dunia harus menyesuaikan teks al Qur’an, bukan sebaliknya” .
Sementara konsep “religio politik” di sini analog dengan “sosio-politik”. Jika yang akhir ini dimaknai sebagai “kekuatan dan penguatan politik dalam kehidupan sosial”, maka “religio-politik” bisa dimaknai sebagai “kekuatan dan penguatan politik dalam kehidupan keagamaan”. Kata “politik” di samping bisa mengacu pada “kegiatan berpolitik”, tetapi bisa juga mengarah dan diarahkan kepada “strategi” (baca: strategi adaptasi atau strategi merespons) yang berkembang dan yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat dalam kerangka meneguhkan, mengembangkan, atau mempertahankan diri sesuai apa yang mereka ketahui dan yakini mengenai ajaran agama yang dipeluknya. Dengan demikian, “radikalisme religio politik”, secara spesifik berarti “paham-paham, sikap-sikap, dan strategi-strategi termasuk praktik-praktik (tindakan) yang berjalan dan dijalankan oleh kelompok-kelompok masyarakat (keagamaan) dalam kerangka meneguhkan, mengembangkan, atau mempertahankan ajaran agama yang diikuti dengan cara-cara radikal”. Tindakan radikal dipilih bisa karena dipahaminya sebagai ajaran, pandangan, atau pensikapan yang terkait langsung atau tidak langsung dengan kepentingan agama maupun kepentingan warga komunitas keagamaan itu sendiri, atau karena adanya tekanan-tekanan dari luar.
Dalam bidang politik, seperti halnya dalam bidang agama , radikalisme atau terkadang disebut fundamentalisme , diberi arti sebagai suatu pendirian yang tegas dan tidak ragu-ragu bahwa keyakinan-keyakinan tertentu tentang suatu kebenaran – biasanya diambil dari teks-teks suci – merupakan kewajiban orang-orang beriman untuk menggiatkan kehidupan mereka dan mengarahkan aktivitas-aktivitas mereka sesuai dengan keyakinan-keyakinannya itu, sehingga untuk beberapa hal membenarkan penggunaan istilah “militan”. Militansi di sini, umumnya terkait pada ciri usaha merombak secara total suatu tatanan politik atau tatanan sosial yang ada dengan menggunakan kekerasan dan dengan semangat militan. Sikap militan itu ditunjukkan dari gerakan-gerakannya yang bersifat agresif, gemar atau siap “berjuang”, bertempur, berkelahi, atau “berperang”, terutama untuk memperlihatkan pengabdian mereka yang total terhadap suatu cita-cita. Sikap radikal dan tidak-tolerant demikian itu, adalah karena “mereka menyederhanakan persoalan yang ada dalam suatu masyarakat secara berlebih-lebihan. Mereka melakukan oversimplikasi terhadap persoalan yang ada” .
Pilihan kepada sikap radikal demikian itu, sering mengalami ketegangan bahkan terkadang konflik dengan lingkungan mereka. Dalam suasana ketegangan itu pula, kesan Islam yang “rahmatan lil ‘alamin”, sering dipertanyakan oleh warga masyarakat luar yang sudah terbiasa hidup di dalam kehidupan yang multi-kultural dan multi-etnik. Apalagi kalau cara-
cara “memperjuangkan tegaknya Islam” dengan klaim jihad untuk menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar tetapi dengan cara-cara kekerasan.
Fenomena dari terjadinya terorisme sebagaimana yang akhir-akhir ini “terjadi” di Indonesia, akarnya bisa dilihat dalam dua sisi kepentingan yang bertabrakan dan ditabrakkan. Bertabrakan terjadi sebagai akibat “undesigned actions”, sedang ditabrakkan terjadi oleh adanya “actions by design”. Yang pertama, yaitu “undesigned actions” adalah karena peristiwa-peristiwa radikalitas keagamaan itu muncul sebagai bentuk atau respons “umat beriman” yang dengannya merasa terpanggil untuk melakukan perubahan-perubahan secara radikal, sekalipun harus menyerahkan jiwa sendiri. Tentu pilihannya itu – berdasarkan atas tafsir sepihaknya. Sedang ditabrakkan atau actions by design adalah strategi memenangkan kompetisi peradaban global yang berporos kepada kepentingan kekuasaan dan ekonomi kapitalistik pada tataran negara-negara.
Berdasarkan pada pendekatan actions by design, kemunculan terorisme bisa dijelaskan ke dalam dua sisi juga, yakni sisi eksternal dan sisi internal. Pada sisi eksternal, munculnya terorisme – dalam batas-batas tertentu bisa dilihat sebagai desain alias kepentingan negara-negara Barat, khususnya Amerika dan sekutunya. Desain itu bertolak pada prejudice Barat secara berlebihan. Dalam pandangan mereka, ”kebangkitan umat Islam akan membahayakan eksistensi kejayaan mereka. Agar Islam tidak bangkit, perlu dilakukan strategi, yaitu Islam harus dicitrakan sebagai sebuah agama yang kejam, yang tidak berkemanusiaan, dan yang gemar membunuh orang seenaknya. Target di balik pengembangan prejudice seperti itu ialah agar kebangkitan Islam akan ditolak oleh peradaban kemanusiaan”. Untuk itu, Barat sengaja memberi ruang dan menciptakan ruang untuk timbulnya banyak radikalisme di kalangan umat Islam sendiri. Ketika sebagian umat Islam terjebak masuk ke dalam perangkap itu, lantas masyarakat Barat mudah membuat stigma. Islam dan umat Islam distigma dengan stigma: fundamentalisme, ekslusifisme, dan terrorisme. Islam, hanyalah denominasi agama dan kepercayaan yang menghasilkan fanatisme ”.
Sedang dari sisi internal, ”kaum teroris itu berdalih bahwa mereka melakukan untuk melawan Amerika dan sekutunya”. Mengapa? Karena mereka berpandangan bahwa Amerikalah yang lebih dahulu mengajarkan dan mempraktikkan terrorisme yaitu dengan membumihanguskan Afganistan dan Irak. Dari akar pandangan inilah maka mereka berdalih bahwa apa yang dikerjakan adalah sebagai imbangan dan perlawanan. Melawan Amerika dan sekutunya yang telah berbuat teror, adalah didefinisikan sebagai terrorisme hasanah, atau terrorisme yang berkategori baik, karena didasarkan pada argumen keagamaan yang kuat . Dari paham ini pula, menjadi bisa dijelaskan bahwa terorisme terjadi dalam tiga kemungkinan. yaitu: pertama, terdapat konsprirasi besar dari luar yang ingin menghancurkan Islam dari dalam. Kedua, terdapat teks-teks dalam Alquran dan Hadits yang dijadikan sandaran untuk melakukan kekerasan, dan ketiga, ada yang salah dalam proses pendidikan kita sehingga berpeluang melahirkan agen-agen teroris”. Namun demikian, apapun istilah dan penyebabnya, cara-cara terorisme dengan dalih apapun, adalah suatu kebiadaban. Dengan teror, agama-agama dan peradaban-peradaban manusia, tidak lagi menjadi tupangan hidup dalam kedamaian tetapi menjadi penyalur dan saluran kebencian, kedendaman, dan tidak kekerasan, apalagi kalau sasaran dari kesemuanya itu adalah mereka yang tidak tersangkut-paut ke dalamnya. Tuhan menciptakan dan menghidupkan manusia, tetapi mengapa di antara manusia itu sendiri membunuh di antara sesama.
5. Keindahan Perbedaan
Setiap manusia dalam kehidupan sosialnya, memiliki status ganda. Sebagai pemeluk dan penyiar agama, tetapi juga sebagai warga bangsa. Untuk itu, bagaimana memposisikan diri sebagai pemeluk agama yang berbeda-beda dalam konteks Indonesia? Apakah agama yang berbeda-beda itu kita tempatkan sebagai piranti untuk memenangkan sebuah perlawanan atau untuk menyatukan. Jika untuk piranti memenangkan, maka siapakah sebenarnya lawan di sini? Apakah agama itu sendiri ataukah pemeluk agama yang berbeda. Jika agama itu sendiri, apakah agama-agama itu mengajarkan kesalahan dan kebiadaban? Bukankah agama selalu mengajarkan kebaikan dan kecintaan antarsesama? Jika yang kita lawan adalah pemeluk agama yang berbeda, apa salah mereka? Jika mereka mencederai atau melecehkan agama yang kita peluk, apakah pencederaan itu atas nama diri sebagai pemeluk agama, ataukah per se individu yang justru mereka tengah mencederai agamanya sendiri? Jika mereka berbuat tidak adil karena kekuasaan yang dipegangnya, maka ketidakadilan itu atas nama agamanya ataukah karena ketidakadilan itu hadir justru ketika mereka melalaikan ajaran agamanya sendiri?
Maka adalah setiap orang berhak untuk mendifinisikan agamanya itu sebagai agama yang memuati kebenaran dan kebaikan, yang berarti pula adalah hak pemeluk agama yang lain untuk melakukan hal yang sama.
Kalau demikian kenyataannya, lantas bagaimana melandasi etika bersama dalam konteks negara? Di sinilah kita – jika masih mau jujur kepada dirinya sendiri – antara agama dan negara mempunyai hubungan yang bersifat simbiotik, yakni suatu hubungan timbal balik yang saling memerlukan. Dalam satu sisi, negara (state) seperti Indonesia, memerlukan panduan etika dan moral sebagaimana diajarkan oleh agama. Sementara agama itu , sendiri memerlukan kawalan negara untuk kelestarian dan eksistensinya. Dalam konteks Indonesia, maka Pancasila yang digunakan sebagai dasar negara dapat dilihat sebagai hal yang tidak perlu dipermasalahkan mengingat dua hal, yaitu (a) roh dari lima dasar Pancasila itu sendiri bersesuaian dengan substansi ajaran pada setiap agama; serta (b) penggunaan Pancasila (bukan secara formal agama Islam) adalah karena untuk menjaga persatuan dan kesatuan masyarakat-masyarakat Indonesia yang majemuk, baik dalam hal suku maupun agama. Keaneragaman suku dan agama yang ada di Indonesia ini – diamanatkan oleh Tuhan – untuk saling mengenal dan bekerjasama – bukan untuk saling bercerai-berai. Dalam kemajemukan demikian ini, mengajarkan kepada orang-orang yang beragama – untuk tidak berfikir egoistis, melainkan perlu bersikap toleran tanpa mengurangi prinsip-prinsip akidah dan etika keagamaan. Dengan demikian, agama tidak dilihat dan ditempatkan secara formal-legalistik melainkan diserap dan dijalankan sesuai dengan substansi maupun pesan dari ajaran agama itu sendiri.
Islam sama sekali tidak mewajibkan kepada umatnya untuk menjadikan Islam sebagai ideologi negara, tetapi yang lebih dipentingkan ialah berlakunya nilai dan substansi ajaran agama itu sendiri di dalam kehidupan sosial yang bercorak plural. Di dalam kehidupan sosial yang plural seperti masyarakat Indonesia, masing-masing di antara mereka telah hidup dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Oleh karena itu, salah satu syarat bagaimana masing-masing umat yang berbeda-beda agama bisa hidup saling berdampingan dan saling menghormati, adalah dengan memberikan ruang bagi setiap pemeluk agama menjalankan agamanya tanpa adanya perasaan dikucilkan atau saling mengucilkan. Jika isi dari Pancasila tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar yang diajarkan oleh setiap agama, dan oleh karena itu ia – dalam kesepakatan bersama – ditempatkan sebagai dasar negara – maka tidak perlu lagi dipersoalkan, justru sebaliknya, perlu dipertahankan.
Bagaimana Islam dan umat Islam hidup dalam negara atau pemerintahan yang mendasarkan pada Pancasila? Dalam konteks seperti ini, Islam dan umat Islam harus tampil dan menampilkan misi Islam itu sendiri yaitu “rahmatan lil alamin”. Inilah universalitas Islam. Universalitas Islam dalam konteks negara, didasarkan atas tujuh prinsip . Ketujuh prinsip itu, (1) adalah al-syura (consultation). Artinya, prinsip musyawarah merupakan suatu prinsip yang diperintahkan al quran dan karena itu menjadi prinsip etika politik; (2) prinsip al musawa (equality) dan al ikha’ (brotherhood). Keduanya mengandung pengertian persamaan dan persaudaraan. Pada prinsip ini, manusia adalah sama yang berbeda atau yang membedakan adalah kualitas ketaqwaannya; (3) prinsip al-adallah (justice) yang mengandung arti: honesty, fairness, dan integrity yaitu keadilan yang harus ditegakkan tanpa diskriminasi, penuh kejujuran, ketulusan dan integritas (4) al hurriyyah (freedom) yang berarti menganut kebebasan. Kebebasan dalam hubungannya dengan kehidupan bermasyarakat harus diatur oleh aturan-aturan perundang-undangan agar kebebasan seseorang tidak melanggar kebebasan pihak lain; (5) prinsip al amanah (trust). Dalam konteks kekuasaan negara, amanah merupakan mandat rakyat yang di dalamnya mempunyai nilai kontrak sosial yang tinggi; (6) prinsip al salam (peace) atau perdamaian sebagaimana dikemukakan al Quran. Dan (7) adalah al tasamuh (toleran) yaitu prinsip saling menghormati antar sesama warga masyarakat. Prinsip ini berlaku universal, bukan saja terhadap masalah yang bersifat profan, tetapi juga masalah yang bersifat sakral, seperti toleransi dan menghormati agama-agama lain.
Prinsip tawasuth (toleran) dan tasawuth (moderat) juga dipertunjukkan di dalam memaknai dan menempatkan budaya-budaya lokal seperti budaya Jawa. Hal ini karena kehadiran agama (Islam) itu sendiri berfungsi untuk menyempurnakan peradaban dan tidak untuk menghilangkan peradaban seperti tradisi-tradisi masyarakat manusia sebagaimana ungkapan Rasulullah: “Bu’istu li utammima makarimal akhlak” (aku [nabi] diutus Allah untuk menyempurnakan peradaban). Ini artinya, (a) Islam hadir tidak di dalam ruang (sosial) yang kosong tetapi di dalam ruang sosial yang di dalamnya sudah ada peradaban. Karena itu (b) Islam hadir untuk memilah dan memilih tradisi-tradisi mana yang tidak bersesuaian dengan ajaran Islam yang harus ditinggalkan, dan tradisi-tradisi mana yang diyakini bersesuaian dengan ajaran Islam yang masih perlu dilestarikan. Dengan demikian, “membumikan” Islam dalam kehidupan masyarakat, untuk beberapa hal bersifat akulturatif.
Prinsip berfikir substantif dan akulturatif inilah yang memungkinkan kita dengan segala keluhuran jiwa memilih: jika dengan berkata-kata halus masih bisa, mengapa harus dengan kata-kata kasar. Jika dengan berdialog kita bisa menyelesaikan masalah, mengapa harus dengan perang. Jika dengan menghormati orang lain yang berbeda kita masih bisa, mengapa harus dengan menghinakan. Jika dengan perasaan cinta antarsesama, semuanya bisa berakhir dengan baik, mengapa harus dengan menggunakan perasaan kebencian?
6. Strategi Pengembangan Budaya Damai
Bagaimana mendesain suatu kehidupan yang beragam tidaklah dengan memperlawankan satu dengan yang lain dalam sikap yang berhadap-hadapan, melainkan bagaimana mempertemukan titik-titik kesamaan sebagai identitas kultural, dan bersamaan dengan itu, menghidupi dan membiarkan perbedaan-perbedaan spesifikasinya sesuai dengan alam kehidupannya sendiri. ”Meskipun kita berbeda tetapi satu” adalah sebuah keniscayaan untuk dapat hidup dalam kemajemukan tanpa gangguan yang berarti.
Fenomena keberagaman yang punya daya konflik fisik dan kultural di bumi Nusantara ini, pernah dengan cerdas dilerai secara kultural oleh Sultan Agung. Ia melihat ada potensi konflik antara kekuatan Islam yang dipimpin oleh para sufi yang lebih mengutamakan kepada pengembangan Islam dalam akidah, syariah, dan sufisme – yang menjauhkan diri dari kemauan memerebutkan kekuasaan raja-raja Jawa, berhadapan dan dihadapkan dengan pendukung kebudayaan kejawen yang umumnya mereka amat berminat terhadap kedudukan dan kekuasaan. Melihat kondisi demikian, Sultan Agung melakukan antisipasi kultural dengan menghubungkan dua lingkungan budaya dengan mengganti perhitungan tahun Saka yang semula berdasarkan perjalanan matahari, menjadi tahun Jawa yang berdasarkan perjalanan bulan, dan disesuaikan dengan tahun Hijrah, Mingguan Hijrah yang terdiri dari tujuh hari, diintegrasikan dengan Mingguan Jawa yang terdiri dari lima harian, menjadi Senin Wage, Selasa Kliwon dan seterusnya. Demikian juga nama-nama bulan Jawa disesuaikan dengan nama-nama bulan Hijriyah, menjadi Sura, Mulud, dan seterusnya. Strategi yang dicanangkan Sultan Agung di atas, ternyata menggairahkan para sastrawan Kejawen untuk menekuni pokok-pokok ajaran Islam untuk menyusun karya-karya baru dengan menyadap dan mengolah unsur-unsur ajaran Islam untuk memperkaya pengembangan sastra Jawa Dari sini, upaya mempertemukan perbedaan yang berpotensi konflik, diubah menjadi potensi sinergis. Pola penyelesaian masalah secara damai dan berefek kepada lahirnya produktivitas demikian inilah yang seharusnya menjadi dan dijadikan acuan penyelesaian masalah bangsa ke depan.
APA yang bisa kita petik dari kajian di atas adalah pelajaran mengenai sikap manusia yang sering paradoksal. Pengetahuan dan niat baik saja ternyata tidak cukup. Tidak selalu niat baik menghasilkan tujuan baik, karena dalam perjalanannya manusia tergoda dan terbius kepentingan jangka pendek. Begitu pula, niat damai tak selalu dipahami orang agar dicapai dengan jalan damai pula. Sebagian dari mereka cenderung menggunakan jalan kekerasan. Pertanyaannya, sejauh mana jalan kekerasan bisa mewujudkan kedamaian? Dalam kasus masyarakat manakah jalan kekerasan bisa menghasilkan kedamaian?
Itulah sebabnya, kita menjadi sadar bahwa ketika orang atau suatu kelompok melihat kelompok lain sebagai “lawan” dan oleh karena itu, adalah wajar untuk dimusuhi bahkan dilawan – ternyata adalah hasil konstruksi manusia sendiri. Jika demikian halnya, maka tugas kita adalah “membongkar” konstruksi sosial itu, lalu membangun kembali menjadi bangunan di mana setiap manusia merasa nyaman memasuki bangunan tadi. Untuk itu, kita masih perlu belajar bagaimana menumbuhkan kesanggupan bukan saja untuk melihat dan memperlakukan orang lain sebagai saudara, tetapi juga mendesain bangunan persaudaraan itu sendiri.
Tinggal kita sekarang di sini, apa yang bisa kita sumbangkan untuk membangun kedamaian itu. Yang jelas, perbedaan (nurture and culture) adalah desain Sang Creator (Maha Pencipta). Karena itu, perbedaan adalah keindahan, sehingga tugas mulia manusia ialah menghadirkan keindahan kepada setiap hatinurani manusia.
7. Akhir kata
Hadirin yang saya hormati, ijinkanlah saya untuk menyampaikan beberapa hal. Pertama, jabatan sebagai guru besar bagi saya bukanlah segalanya, tetapi menjadi awal bagaimana saya belajar menjadi manusia. Jabatan sebagai guru besar menurut saya hanyalah tahapan di mana setiap dosen mempunyai peluang untuk menggapainya. Jabatan itu tidak berarti bahwa sang pemiliknya tahu semua persoalan ilmu yang ditekuni, melainkan justru baru tahu kalau dirinya belum banyak tahu, sehingga diwajibkan untuk mencari tahu bahwa ilmu itu tidak terbatas, dan saling berkait dengan cabang-cabang ilmu lainnya.
Kedua, saya ingin berpesan kepada mahasiswa bahwa sesungguhnya saya merasa terlambat untuk belajar banyak hal. Karena itu, jangan sia-siakan waktu berjalan tanpa kalian tahu mau kemana tujuannya. Tujuan hidup bukan saja bagaimana menjadi orang baik, tetapi juga bagaimana menghadirkan kebaikan itu di manapun kita berada. Karena itu, ilmu yang engkau pelajari di bangku sekolah, di perguruan tinggi, dan di manapun, adalah sekedar alat (wasilah) yang memungkinkan kita bisa menjadi baik, tetapi belum menjadi kebaikan itu sendiri. Ia menjadi baik atau sebaliknya, tergantung dari cara dan untuk tujuan apa ilmu itu diterapkan.
Kepada kawan-kawan dosen (terutama yang usianya lebih muda dari saya), ilmu Anda sangat berguna apalagi kalau diamalkannya. Untuk itu, amalkanlah ilmu-ilmu kalian ke dalam ranah yang lebih luas. Dunia hari ini adalah dunia menulis. Karena itu, tulisan adalah dokumen yang berumur panjang. Dan insyaallah, dokumen tulisan itu akan menjadi amal jariyah meskipun mungkin kita sendiri sudah tiada.
Dengan pengukuhan ini, saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Mendiknas, Rektor/ Ketua Senat Undip, seluruh anggota Dewan Guru Besar dan Senat Universitas, Dekan Fakultas Sastra, seluruh anggota Senat Fakultas Sastra, Ketua Jurusan Jurusan Sastra Indonesia – atas dukungan dan persetujuan pengangkatan guru besar kepada saya. Ucapan terimakasih yang sama, juga saya sampaikan kepada para anggota per-group dan penyelia naskah pidato pengukuhan ini.
Hadirin yang saya hormati, pada kesempatan baik ini, ijinkan juga saya mengucapkan banyak terimakasih kepada berbagai pihak, yang hadir di sini maupun yang tidak hadir di sini. Yang masih sugeng maupun yang sudah mendahului. Kedua orang tuaku. Ayah almarhum Kiai Haji Thohir, Panjenengan sepertinya memilihkan aku menjadi yatim di usia tiga tahun agar belajar kehidupan. Ibuku, almarhumah Hajjah Qomariyah. Aku belajar banyak tentang kehidupan ini justru dari bagaimana Panjenengan memaknai dan menjalani hidup ini. Bagaimana mencintai orang lain melebihi cintanya kepada dirinya sendiri. Para guru madrasah dan guru ngaji alquran, yang tidak pernah mengeluh meskipun tidak ada yang membayar setimpal atas jasa yang diberikan.
Para guru di SD Negeri Kutoharjo, para Guru SMP Negeri Kaliwungu, dan para guru di SPIAIN Semarang, jabatan guru besar yang hari ini disandangkan kepada saya, adalah hasil untaian pintalan benang-benang keilmuanmu. Semoga bagi yang sudah sumare, Allah mengihlaskan mereka untuk menempati surga yang telah tersediakan. Bagi yang masih sugeng, semoga diberkahi hidup dengan kedamaian. Para dosen-dosen saya di Fakultas Sastra, Jurusan Sastra Indonesia, Universitas Diponegoro. Dengan rasa tulus saya mengucapkan banyak terimakasih atas ilmu yang telah diberikan. Kepada almarhum Profesor Slamet Rahardjo MA, saya merasa bukan saja hutang budi, tetapi juga menjadi tergugah untuk belajar dengan baik justru karena saya terpukau dengan cara Panjenengan mengajar. Semoga Panjenengan dicatat sebagai orang yang sangat baik, dan karenanya tidak ada tempat yang lebih layak kecuali syurga. Profesor Soedjarwo, saya sangat menghargai kesederhanaan dan ketulusan Panjenengan.
Para dosen yang mengajar saya di S2 dan S3 Antropologi UI, saya mengucapkan banyak terimakasih atas ilmu yang diberikan. Almarhum Profesor Koentjaraningrat, saya sangat mengagumi apa yang Panjenengan lakukan sebagai ilmuwan: mengembangkan ilmu Antropologi di Indonesia dan menulis berbagai buku bermutu. Profesor Parsudi Suparlan, strategi mengajar dan dalam melakukan bimbingan, terus terang, memacu saya untuk mencintai ilmu.
Profesor Taufik Abdullah dan Profesor Mattulada, saya mengucapkan banyak terimakasih karena secara diam-diam, saya banyak belajar dari bagaimana cara Anda berdua menyajikan kajian keilmuan.
Di Undip, saya belajar banyak dari cara bagaimana almarhum Profesor Satoto mengatur waktu dan menentukan pilihan-pilihan intelektualnya. Untuk itu, ijinkan saya mengucapkan terimakasih yang tulus. Semoga engkau “di sana”, memperoleh hadiah nan-indah dari Tuhan atas amaliah yang engkau sebar-luaskan. Profesor Eko Budihardjo, saya mengagumi familiaritas yang engkau tanamkan. Mas Darmanto Jatman, Engkau ikon untuk Universitas Diponegoro. Meski guru besar tidak engkau sandang, tetapi kebesaranmu sendiri lebih dari itu. Semoga engkau cepat sembuh . Tuhan mengasihanimu, sebagaimana engkau telah terbiasa mengasihani semua orang yang engkau kenal.
Kawan-kawan di Fakultas Sastra, seperti Suhariyanto, Suryadi, Tutik, dan Mirya Anggrahini. Para staf administrasi Fakultas Sastra, khusunya Sunarno, Asroni, dan Sujono, terimakasih atas layanan dan perhatian kalian.
Kawan-kawan Penerbit Fasindo, seperti Mulya Hadi Purnomo, Redyanto Noor, Surono, dan Rukiyah.
Kawan-kawan komunitas Lengkong Cilik khususnya Agus Maladi Irianto, Somad, dan Ony. terimakasih atas kerjasamanya.
Kawan-kawan di Puslit Sosbud Undip, Endang Susilowati, Ronny Aruben, Mahendra, dan Profesor Juliati Suroyo. Mari kita jaga komitmen intelektualitas.
Kawan-kawan peneliti, seperti Profesor Indah Susilowati, Waridin, Agung, Tri Agustini, dan Profesor Supriyanto.
Kawan-kawan dari IAIN, seperti Profesor Abdul Jamil, Muhsin Jamil, Abu Hafsin, Abdul Hakim, dan Najahan.
Kawan-kawan di Unnes, seperti Profesor Cecep, dan Nugroho.
Kawan-kawan di komunitas Nahdliyyin, seperti Kiai Masruri Mughni, Gus Ubeidillah Sadaqoh, Muhammad Adnan, Aufarul Marom, Agus Fathuddin, Abdillah, dan Suryanto.
Kawan-kawan wartawan, seniman, dan budayawan di Jawatengah.
Kawan-kawan di takmir masjid Kaliwungu, seperti Kiai Khafizin, Kiai Nidlomudin, Kiai Abdul Basith Ibrahim, dan Ali Ridlo.
Kawan-kawan yang menaruh simpati atas pengukuhan ini, seperti Mastur Sholeh, Itos Budisantoso, dan Saifullah Muzaki.
Kawan-kawan seperjuangan di Lakspesdam Jawa Tengah, seperti Sumanto al Qurtubi. Najihah dan Faizah.
Kawan-kawan panitia pengukuhan ini. Saya tidak bisa membalas jasa kalian, kecuali mengucapkan terimakasih yang tulus.
Saudaraku Haji Hisyam, Haji Mukhdlor, Haji Jauhar, dan Haji Asro’ie Thohir. Terimakasih atas kasih sayangnya selama ini.
Isteriku, Sri Wasiyati, terimakasih sekali atas semua persembahanmu.
Kedua anakku, Mizar Yuniar dan Mizwar Agustifar, aku ingin mempersembahkan karya ini untuk kamu berdua. Semoga engkau memaklumi ayahmu atas segala perhatian yang kurang. Semoga engkau berdua, bisa terbang lebih tinggi daripada kami. Ridloku, ridlo Allah jua. Maka mintalah perlindungan kepada-Nya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik
1974 ”Cita dan Corak Reformasi Islam di Indonesia – Sebuah Tafsiran”, kertas kerja disampaikan pada seminar: ”Agama dan Perubahan Sosial”, di IAIN Syarif Hidayatullah, Desember 2-6 1974.
Abubakar, Irfan
2007 ”Paradigma Peace-building Pasca Konflik Kekerasan” dalam Nusantara. gigihnusantaraid@yahoo.com Sun Dec 1. 10:24:07 2002.
Buchori, Moctar
1986 “Radikalisme Agama – Sebuah Catatan Awal”, dalam Pesantren, No. 4/Vol.III. Hlm. 55-69.
Burrel, RM, ed.
1995 Fundamentalisme Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ofsett. (Terjemahan)
Combs, James dan Manfield, Michael W (eds)
1976 Drama in Life. New York: Hating House Publisher.
Effendi, Bahtiar
1998 Islam dan Negara – Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina.
2001 Teologi Baru Politik Islam – Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi. Yogyakarta: Galang Press.
Effendy, Bahtiar dan Sirry, Mun’in A
2003 “Ekstremisme Islam: Bukan Sekadar Persoalan Teologis atau Penafsiran Keagamaan”, dalam Jurnal Demokrasi & Ham. Vol. 3, No. 1, Januari – April. Hlm 105-121.
Fananie, Zainuddin dkk
2002 Radikalisme Keagamaan & Perubahan Sosial. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
Fealy, Greg dan Barton, Greg (eds)
1996 Tradisionalisme Radikal – Persinggungan Nahdlatul Ulama – Negara. Yogyakarta: LkiS.
Front Pembela Islam (FPI)
http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=877
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_aksi_Front_Pembela_Islam
http://www.lampungpost.com/actual/berita.php?id=1715
http://fpi-online.blogspot.com/
http://www.opensubcriber.com/
Gazali, Hatim
2003 ”Agama dalam Cetakan Baru”, dalam http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=454.
Harahap, Mula
2007 “Tentang Konflik”, dalam http://mulaharahap.wordpress.com/2007/04/18/tentang-konflik/
Hall, John R
2001 “Religion and Violance: Social Processes in Comparative Perspective”, dalam jrhall@ucdavis.edu.
Hassan, Sahar L dkk. (eds)
1998 Memilih Partai Islam. Jakarta: Gema Insani.
Hasyim, Syafiq
2002 “Fundamentalisme Islam: Perebutan dan Pergeseran Makna”, dalam Afkar. Edisi No. 13, hlm. 5- 18.
Hefner, Robert W
2002 “Tragedi 11 September dan Perjuangan Muslim Demokrat”, dalam Afkar, Edisi No. 13. Hlm. 104-110.
Hidayat, Komarudin
2006 “Tuhan, Agama, dan Negara”, Kompas. 27 Oktober. Hlm: 6
Jainuri, Achmad
2002 Ideologi Kaum Reformis. Surabaya: LPAM (Terjemahan).
Jamhari
2003 “Radikalisme Islam di Indonesia: Fenomena Sesaat?”, dalam Jurnal Demokrasi & Ham. Vol. 3, No. 1, Januari – April. Hlm: 78-104.
Kasdi, Abdurrahman
2002 “Fundamentalisme Islam Timur Tengah: Akar Teologi, Kritik Wacana dan Politisasi Agama”, dalam Afkar, Edisi No. 13, hlm. 19-35.
Kipp, Rita Smith dan Rodges, Susan. eds.
1987 Indonesian Religions in Transition. USA: The University of Arizona Press.
Makassary, Ridwan al
2007 ”Peace Building untuk Masyarakat Indonesia Pasca Konflik: Suatu Kerangka Konseptual untuk Aksi”. Paper.
Paassen, Y.v
1978 “Kerjasama Antar Agama dan Prospeknya: Kasus Sulawesi Utara”, dalam Prisma 5, Juni . Hlm. 18-27.
Paige, Glenn D, dkk (eds)
1998 Islam Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: LkiS.
Panggalo, Indu Yohanis
1999 “Islam Din Wa Daulah”, dalam Agama dalam Dialog – Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Priyono, AE
2003 “Fenomena ‘Terorisme Agama’ dan Kebangkitan Neo-Fundalisme Islam di Indonesia Pasca Orde Baru”, dalam Jurnal Demokrasi & Ham. Vol. 3, No. 1, Januari – April. Hlm: 6 -34.
Rahman, M Fadjroel
2007 ”Akhir Drama Gertak Sambal”, Kompas, Rabu, 30 Mei 2007: 6.
Rahman, Fazlur
2000 Gelombang Perubahan dalam Islam – Studi tentang Fundamentalisme Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Rakhmat, Jalaluddin
1984 “Fundamentalisme Islam: Mitos dan Realitas”, dalam Prisma Ekstra. Hlm: 78-88.
Ridwan, Nur Khalik
2002 “‘Agama Borjuis’ Islam Fundamentalis: Berdasarkan Kasus Surakarta”, dalam Afkar, Edisi 13, Hlm. 93-103.
Rizq, Jaber
2003 Kisah Duka Ikhwanul Muslimin – Sebuah Nostalgia Perjuangan Dakwah. Yogyakarta: Fahima (Terjemahan).
Robertson, Roland, ed.
1988 Agama: Dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis. (Terjemahan Saifuddin, Akhmad Fedyani). Jakarta: Radjawali Press.
Roy, Oliver
2002 “Neo-Fundamentalisme”, dalam Afkar, Edisi 13. Hlm. 111- 116.
Rumadi
2002 “Jihad: Mengapa Jadi ‘Hantu’ Islam?, dalam Afkar, edisi 13. Hlm. 60-73.
Siddiq, Ahmad
1980 Khittah Nahdliyah. Surabaya: Balai Buku.
1985 “Dari Kitab Kuning sampai Kontak Masyarakat”. Dalam Pesantren. Vol.II. No. 4,. Jakarta: P3M. Hlm. 51-54.
Salam, El Fatih A. Abdel
2007 ”Kerangka Teoritis Penyelesaian Konflik” dalam http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ef.htm
Sammak, Mohammad
2006 “Perang dan Damai” dalam www.dailystar.com.lb
Simuh
2000 ”Keunikan Interaksi Islam dan Budaya Jawa”. Paper Seminar ”Pengaruh Islam terhadap Budaya Jawa”, Yogyakarta. 31 November.
Suady, Ahmad (ed)
2000 Kekerasan dalam Perspektif Pesantren. Jakarta: Grasindo-P3M.
Suparlan, Parsudi
1999 “Konflik Sosial dan Alternatif Pemecahannya”, dalam Antropologi Indonesia. Tahun. XXIII, No. 59, Mei – Agustus. Hlm. 7 -19.
2002 “Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural”, paper untuk Simposium Internasional, di Bali (16-21 Juli 2002). http://www.scripps.ohiou.edu/news/cmdd/artikel_ps.htm
Susetyo Pr, Benny
2003 “Membangun Perdamaian”, dalam gigihnusantaraid@yahoo.com
Suyanto, S
2007 ”Paradigma Peace-building di Indonesia Pasca Konflik Kekerasan”, dalam http://www.csrc.or.id/artikel/?Berita=07200351717&KATEGORI=28.
Thohir, Mudjahirin
1998 Konflik Sosial Masyarakat Kodya Pekalongan Jawa Tengah. Semarang: Limpad & Usaid. (Laporan Penelitian)
2004 Kekerasan Sosial Masyarakat Jawa Pesisir Utara. Semarang: Lengkong Cilik.
Thoyfoer, Achmad
2007 Politik Santri – Santri Berpolitik. Semarang: Sekoci Media.
Wahid, Marzuki dan Nurrohman
2002 “Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syariat Islam”, dalam Afkar, Edisi 13, Hlm. 3459.
Zada, Khamami
2003 “Politik Islam Radikal – Survei Wacana dan Gerakan Islam di Indonesia”, dalam Jurnal Demokrasi & Ham. Vol. 3, No. 1, Januari – April. Hlm 35- 54.
Zarkasyi, Hamid Fahmy
2008 ”Membangun Peradaban Islam yang Bermartabat”, dalam http://banihamzah.wordpress.com/2007/05/07/teori-pengaruh-terhadap-islam/
Zufriendi
“Islam Keras”. http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=966

Tidak ada komentar:

Posting Komentar