KEARIFAN LOKAL DALAM ATONIA UTERI
OLEH DELASARI PERA*
(Tulisan ini terbit di rubrik Fajar, bulan Februari 2012)
Add caption |
Add caption |
Bahasa
dan Sastra. lokal dewasa ini menjadi perbincangan yang hangat sebab
dikhawatirkan akan punah. Globalisasi sangat berperan penting dalam proses
menuju kepunahan. Olah karena itu, dibutuhkan langkah-langkah yang dapat memicu
percepatan dalam mengangkat kembali produk-produk lokal. Meskipun tidak ada
jaminan bahwa pemakaian bahasa, apresiasi sastra dan produk-produk akan
mendapat perhatian lebih banyak dari konsumen sehingga bisa mendatangkan pula
keuntungan lebih. Yang paling marak saat
ini adalah munculnya novel-novel yang berlatar kedaerahan. Salah satunya adalah
Atonia Uteri: Menemukan Jejak Masa Lalu.
Atonia Uteri
adalah sebuah novel kearifan dunia medis yang berlokal setting Kabupaten
Pinrang, Sulawesi Selatan. Ditulis oleh seorang guru bahasa Indonesia di SMA
Negeri 1 Pinrang, Baharuddin Iskandar. Membaca judulny, pembaca bisa dihadapkan
pada tiga kemungkinan. Pertama, pembaca akan mengerutkan kening lalu
mengabaikan novel ini sebab judul yang menggunakan istilah medis hanya dipahami
oleoh sebagian kecil pembaca. Kedua, pembaca akan menggebu-gebu untuk membaca
karena penasaran dengan judul yang terkesan misterius. Ketiga, pembaca akan
mengerutkan keningnya tetapi pada akhirnya tertarik juga untuk membacanya.
Novel ini mengisahkan
seorang dokter perempuan yang kembali ke kampung halamannya untuk mengabdi.
Namun, memasuki pekan kedua pengabdiannya di kampungnya tersebut, tokoh Intan
–yang menjadi tokoh sentral- mengalami kejadian-kejadian mistis yang
diyakininya benar-benar terjadi dan dialaminya sendiri.
Malai kasus atonia
uteri hingga kemudian calon suaminya tepat pada hari ulang tahunnya. Tokoh
digambarkan sebagai sosok yang sebenar-benarnya kuat dan selalu berpikir
positif serta optimis. Sekaligus memiliki sense of humor, tontonannya hanya
satu, yaitu film Mr. Bean. Meskipun pada akhirnya ia menyerah atas kejadian
yang begitu misterius tersebut. Intan, ibaratnya, sedang memegang pisau yang
diarahkannya ke lehernya. Ketika ia menjauhkan pisau itu, maka orang lain harus
rela menjadi korban. Sebaliknya, jika ia terus menerus mengarahkan ke lehernya
maka tentulah ia sendiri yang harus jadi korban.
Dengan alur maju
mundur, Baharuddin cukup pandai untuk memaksa pembaca melahap novelnya hingga
tuntas. Misteri yang disuguhkan berada di ending
cerita. Jangan berharap Anda akan bisa menebaknya di awal cerita ataupun di
pertengahan cerita sebagaimana yang biasa Anda lakukan saat membaca novel horor
ataupun film horor yang sama sekali tidak menakutkan.
Menarik
Nilai-nilai Kearifan Lokal
Meskipun pembaca cukup
dibingungkan beberapa istilah medis (penulis tidak melengkapinya dengan catatan
kaki) dan juga beberapa kesalah EYD yang cukup menganggu, Baharuddin mencoba
menyisipkan nilai-nilai kearfian lokal Bugis dalam novelnya. Bukan hanya
memunculkan salah satu lambang identitas kedaerahannya, bahasa Bugis.
Aja
nasaliyo nyamen-kininawa, Naiya ri asenggi’e nyameng kininnawa
teppasilaingengngi seajinna mawek mabela enreng’e tania’s seyajinna,
nasappareng maneng deceng sininna tau medennungnge realena
(hal.11)
Nyameng-
kininnaawa atau ketulusan hati merupakan modal dasar bagi
masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan lingkunga sekitarnya. Selayaknya,
ketulusan hati ini dimiliki pula oleh orang-orang yang bergelut dengan dunia
medis. Beberapa kali, tokoh Intan mengamali hal yang berkaitan dengan ketulusan
hati. Misalnya, ketika ia harus terbangung tengah malam dan memenuhi panggilan
pasien di rumah sakit. Intan- yang hidup seorang diri- harus menjalankan
tugasnya dengan penuh tanggung jawab disertai hati yang tulus.
Selanjutnnya, assimellereng, sebuah konsep tentang
bagaimana memiliki sebuah rasa kekelurangaan yang tinggi, menyatupadukan antara
satu keluarga dengan keluarga yang lain ataupun dengan orang lain yang berada
di sekitarnya. Assimelereng dalam novel ini dapat ditemukan dalam hubungan yang
begitu kuat antara Intan dengan tantenya, adik dari ibunya. Begitupun ketika
tokoh melakukkan interaksi sebagai mahluk sosial. Konsep ini pulalah yang
sebenarnya meredakan konflik antara tokoh dan direkturnya.
Ketika terjadi konflik
antara tokoh dan direkturnya, pembaca pun disuguhkian nilai yang tidak kalah
pentingnya, yaitu mappasitinaja. Masyarakat Bugis selalu menekankan bagaimana
bersikap wajar. Dalam artian ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan
kedudukannya. Intan yang merasakan diperlakukan tidak sewajarnya kemudian
melakukan pemberontakan terhadap kinerja direkturnya. Barangkali, ia berpegang
teguh pada pesan orang dahulu, aja
mugaukengi padammu tau ri gau tessinaja’e (Jangan engkau melakukan sesuatu
yang tidak patut/ layak terhadap sesama manusia).Dalam kondisi tersebut,
penulis juga menyiratkan bagaimana seharusnya seorang menjadi pemimping (bukan
pimpinan). Etinis Bugis memegang empat hal yang harus dimiliki oleh seorang
pemimpin. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis. (Maccainna,
malempu; warani na magetteng (cendekia dan jujur, berani dan berpendirian
teguh).
Bayangkanlah, sekiranya
apa yang akan terjadi jika seorang pemimpin hanya memiliki kepandaian saja,
tanpa kejujuran dan berani tetapi tidak teguh dalam pendirian?
Olehnya itu, mari kita
memetik kearifan lokal yang disuguhkan oleh novel Atonia Uteri. Punnaiki
nyameng kininnawa padatta rupa tau nenniya simellereng ki sarakkuemmengngi
sukkuki mappasitinaja, napoleni amaccangeng na melempu sibawa warani na magetteng.
Milikilah hati yang tulus dan rasa kekeluargaan yang tinggi kepada sesama
sehingga sempurnalah kita dalam berprilaku wajar, yang menghasilkan kepandaian
(cendekia) dan kejujuran serta berani dan tegus pendirian.
(Delasari Pera, bersama 11 perempuan
Sulsel lainnya
menulis puisi dalam buku,
Sehimpun Puisi KAKI WAKTU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar