Sabtu, 25 Februari 2012

KEARIFAN LOKAL DALAM ATONIA UTERI
OLEH DELASARI PERA* 
(Tulisan ini terbit di rubrik Fajar, bulan Februari 2012)


Add caption

Add caption
Bahasa dan Sastra. lokal dewasa ini menjadi perbincangan yang hangat sebab dikhawatirkan akan punah. Globalisasi sangat berperan penting dalam proses menuju kepunahan. Olah karena itu, dibutuhkan langkah-langkah yang dapat memicu percepatan dalam mengangkat kembali produk-produk lokal. Meskipun tidak ada jaminan bahwa pemakaian bahasa, apresiasi sastra dan produk-produk akan mendapat perhatian lebih banyak dari konsumen sehingga bisa mendatangkan pula keuntungan  lebih. Yang paling marak saat ini adalah munculnya novel-novel yang berlatar kedaerahan. Salah satunya adalah Atonia Uteri: Menemukan Jejak Masa Lalu.
            Atonia Uteri adalah sebuah novel kearifan dunia medis yang berlokal setting Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Ditulis oleh seorang guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Pinrang, Baharuddin Iskandar. Membaca judulny, pembaca bisa dihadapkan pada tiga kemungkinan. Pertama, pembaca akan mengerutkan kening lalu mengabaikan novel ini sebab judul yang menggunakan istilah medis hanya dipahami oleoh sebagian kecil pembaca. Kedua, pembaca akan menggebu-gebu untuk membaca karena penasaran dengan judul yang terkesan misterius. Ketiga, pembaca akan mengerutkan keningnya tetapi pada akhirnya tertarik juga untuk membacanya.
Novel ini mengisahkan seorang dokter perempuan yang kembali ke kampung halamannya untuk mengabdi. Namun, memasuki pekan kedua pengabdiannya di kampungnya tersebut, tokoh Intan –yang menjadi tokoh sentral- mengalami kejadian-kejadian mistis yang diyakininya benar-benar terjadi dan dialaminya sendiri.
Malai kasus atonia uteri hingga kemudian calon suaminya tepat pada hari ulang tahunnya. Tokoh digambarkan sebagai sosok yang sebenar-benarnya kuat dan selalu berpikir positif serta optimis. Sekaligus memiliki sense of humor, tontonannya hanya satu, yaitu film Mr. Bean. Meskipun pada akhirnya ia menyerah atas kejadian yang begitu misterius tersebut. Intan, ibaratnya, sedang memegang pisau yang diarahkannya ke lehernya. Ketika ia menjauhkan pisau itu, maka orang lain harus rela menjadi korban. Sebaliknya, jika ia terus menerus mengarahkan ke lehernya maka tentulah ia sendiri yang harus jadi korban.
Dengan alur maju mundur, Baharuddin cukup pandai untuk memaksa pembaca melahap novelnya hingga tuntas. Misteri yang disuguhkan berada di ending cerita. Jangan berharap Anda akan bisa menebaknya di awal cerita ataupun di pertengahan cerita sebagaimana yang biasa Anda lakukan saat membaca novel horor ataupun film horor yang sama sekali tidak menakutkan.
Menarik Nilai-nilai Kearifan Lokal
Meskipun pembaca cukup dibingungkan beberapa istilah medis (penulis tidak melengkapinya dengan catatan kaki) dan juga beberapa kesalah EYD yang cukup menganggu, Baharuddin mencoba menyisipkan nilai-nilai kearfian lokal Bugis dalam novelnya. Bukan hanya memunculkan salah satu lambang identitas kedaerahannya, bahasa Bugis.
Aja nasaliyo nyamen-kininawa, Naiya ri asenggi’e nyameng kininnawa teppasilaingengngi seajinna mawek mabela enreng’e tania’s seyajinna, nasappareng maneng deceng sininna tau medennungnge realena (hal.11)
Nyameng- kininnaawa atau ketulusan hati merupakan modal dasar bagi masyarakat Bugis dalam berinteraksi dengan lingkunga sekitarnya. Selayaknya, ketulusan hati ini dimiliki pula oleh orang-orang yang bergelut dengan dunia medis. Beberapa kali, tokoh Intan mengamali hal yang berkaitan dengan ketulusan hati. Misalnya, ketika ia harus terbangung tengah malam dan memenuhi panggilan pasien di rumah sakit. Intan- yang hidup seorang diri- harus menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab disertai hati yang tulus.
Selanjutnnya, assimellereng, sebuah konsep tentang bagaimana memiliki sebuah rasa kekelurangaan yang tinggi, menyatupadukan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain ataupun dengan orang lain yang berada di sekitarnya. Assimelereng dalam novel ini dapat ditemukan dalam hubungan yang begitu kuat antara Intan dengan tantenya, adik dari ibunya. Begitupun ketika tokoh melakukkan interaksi sebagai mahluk sosial. Konsep ini pulalah yang sebenarnya meredakan konflik antara tokoh dan direkturnya.
Ketika terjadi konflik antara tokoh dan direkturnya, pembaca pun disuguhkian nilai yang tidak kalah pentingnya, yaitu mappasitinaja. Masyarakat Bugis selalu menekankan bagaimana bersikap wajar. Dalam artian ia mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kedudukannya. Intan yang merasakan diperlakukan tidak sewajarnya kemudian melakukan pemberontakan terhadap kinerja direkturnya. Barangkali, ia berpegang teguh pada pesan orang dahulu, aja mugaukengi padammu tau ri gau tessinaja’e (Jangan engkau melakukan sesuatu yang tidak patut/ layak terhadap sesama manusia).Dalam kondisi tersebut, penulis juga menyiratkan bagaimana seharusnya seorang menjadi pemimping (bukan pimpinan). Etinis Bugis memegang empat hal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Keempat kualitas itu terungkap dalam ungkapan Bugis. (Maccainna, malempu; warani na magetteng (cendekia dan jujur, berani dan berpendirian teguh).
Bayangkanlah, sekiranya apa yang akan terjadi jika seorang pemimpin hanya memiliki kepandaian saja, tanpa kejujuran dan berani tetapi tidak teguh dalam pendirian?
Olehnya itu, mari kita memetik kearifan lokal yang disuguhkan oleh novel Atonia Uteri. Punnaiki nyameng kininnawa padatta rupa tau nenniya simellereng ki sarakkuemmengngi sukkuki mappasitinaja, napoleni amaccangeng na melempu sibawa warani na magetteng. Milikilah hati yang tulus dan rasa kekeluargaan yang tinggi kepada sesama sehingga sempurnalah kita dalam berprilaku wajar, yang menghasilkan kepandaian (cendekia) dan kejujuran serta berani dan tegus pendirian.
            (Delasari Pera, bersama 11 perempuan
Sulsel lainnya menulis puisi dalam buku,
 Sehimpun Puisi KAKI WAKTU)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar