Kamis, 16 Februari 2012


IDEOLOGI SIPAKATAU DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN BAHASA

 A.       Ideologi Sipakatau dalam Wacana Budaya
            Pada hakikatnya wacana budaya (Lontara  La Galigo)  ditemukan  salah satu jenis naskah (Lontara), yang  tidak vakum, tidak murni  tetapi di dalamnya direpresentasikan ideologi kultural. Suatu paham yang mempertahankan tatanan kehidupan sosial yang berkaitan dengan konsep Manurungnge. Manurungnge dalam perspektif antropologi merupakan manusia Bugis yang pertama muncul  (diturunkan) ke Bumi (wilayah masyarakat Bugis) untuk meneruskan kemuliaan atas nama To Palanroe (Sang penentu nasib). Paham teograsi inilah yang dipandang kekuasaan segalanya bersifat ketauhidan.
            Ideologi sipakatau dalam wacana budaya dalam perspektif kebahasaan dikategorikan wacana naratif, sedangkan dalam perspektif wacana kritis bercirikan ideologi kultural dan kekuasaan yang direpresentasikan dalam tiga struktur wacana, yaitu (1) struktur super, (2) struktur makro, dan (3) struktur mikro (istilah van Dijk). Ketiga aspek tersebut ditemukan satu kesatuan yang saling mendukung untuk menciptakan realitas sosial dan simbol kebahasaan sebagai mediasinya dalam sistem pemerintahannya (kedatuannya). 
            Struktur super dalam pandangan psikologis ditemukan skematik yang bersifat kronologis, yang secara sistematis membangun wacana kultural yang bersifat abstrak dari berbagai peristiwa dan tema. Keutuhan dan keterpaduan (koheren) yang tematis tersebut dikategorikan suatu usaha sadar secara konstruk untuk mempengaruhi pandangan publik yang diperjuangkan oleh komunitas Manurungnge yang bersifat genealogi dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Konsep kosmologi dalam kerangka wacana tersebut yang terpusat pada manusia Bugis inilah dijadikan pandangan hidup ketika itu untuk meyakinkan masyarakat di muka Bumi agar tercipta kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan.
            Kesadaran atau pikiran manusia Bugis (Manurungnge) menemukan kaidah tentang kondisi sosiol-historis dalam konteks tertentu untuk mendominasi pengetahuan manusia, sehingga mampu mempertahankan sistem kedatuannya beberapa generasi. Salah satu strategi yang ditemukan untuk mencapai tujuannya adalah otokritik dan diskusi terbatas. Pentingnya suatu rasionalitas komunikatif yang menekankan saling pemahaman, kejelasan, kesepakatan, dan kekuatan argumentasi dalam komunitasnya. 
            Pada dasarnya, ideologi kultural tersebut yang  diperankan seseorang atau komunitas  dalam berbagai aktivitas yang ditampilkan dalam wacana budaya. Di samping itu, juga  posisi aktor, dan gagasannya direpresentasikan dengan menggunakan kata, kalimat, paragraf dan wacana yang dirangkai untuk membangun suatu tujuan tertentu. Hal ini terkait dengan status sosial, karisma,  kewenangan, dan kepakarannya.
Pengonstruksian kekuasaan dan pengetahuan mengacu pada ideologi tertentu untuk mempresentasikan realita sosial di dalam praktek institusi. Konstruksi tersebut dikembangkan menjadi tiga aspek pendominasian, (1) pengetahuan dan/atau keyakinan, (2) kaidah  interaksi sosial dalam diskursif, dan (3) peran dan posisi aktor dalam struktur sosial. Kerja ideologi Manurungnge yang genealogi tersebut berdampak terhadap kekuasaannya di muka Bumi. 
Dalam penelitian ditemukan tiga jenis ideologi (paham)  yang dipejuangkan di Ale Lino adalah ideologi kultural siangrebale, ideologi kultural sipakatau, dan ideologi kultural Manurungnge. Paham kultural tersebut mendominasi dan berkuasa karena;  (1) garis keturunan (genealogi) dan/atau karisma;  (2) menberi  hukuman; (3) memberi  imbalan (4) berhak untuk membimbing, menyuruh, atau memberhentikan; (5) memberi pengetahuan tentang cara yang terbaik untuk menyelesaikan masalah; dan (6) memberi penguatan.
Mereka selalu memproduksi bahasa yang dapat menciptakan citra kepada khalayak bahwa  dirinyalah paling layak berkuasa dalam masyarakat. Pilihan bahasa, seperti kata, kalimat  yang lebih bersifat kongkrit menjadi media untuk menunjukkan struktur hierarki kekuasaan dan menetapkan konsepsi tentang kebenaran, aturan, dan realitas sosial. Dibalik pilihan kata dan kalimat tersebut ditemukan ideologi kultural (Manurungnge,  Siangrebale dan Sipakatau). Suatu paham kosmologi, genealogi, dan ketauhidan yang dikonstruksi secara menyeluruh dan mendalam untuk mengisi dunia tengah.
Struktur mikro  digunakan sebagai alat untuk mengklasifikasikan pengalaman dunia dan membangun ide secara sistematis yang berupa kategori ideologi kultural. Dengan demikian, tidak mengherankan kalau komunitas Manurungnge senantiasa memproduksi dan mereproduksi simbol,  baik simbol verbal maupun simbol non-verbal agar memperkuat, memapankan, dan mengukuhkan pendominasiannya.
Ideologi kultural ditemukan  bekerja sebagai perekat hubungan sosial yang mengikat masyarakat Bugis secara bersama dengan menetapkan nilai  dan norma  yang disepakati secara kolektif dalam komunitasnya. Norma dan Nilai edukasi yang ditemukan, yaitu (1) otokritik, (2) solidaritas, (3) kedermawanan (makacua), (4) penegakan hukum adat, (5) kekompakan, (6) demokratis, (7) etos budaya lokal, (8) satu kata dengan perbuatan (adanagau), (8) unjuk kerja (reso), tata krama, kesantunan (malebbi) berbahasa, ketauhidan, dan kepasrahan, serta konstruksi tentang kosmologi. Nilai edukasi tersebut didasarkan pada kecerdasan emosional, spiritual, sosial, dan intelektual.
Peneliti menyatakan bahwa temuan dalam  wacana Lontara La Galigo yang layak  diperjuangkan adalah ideologi sipakatau. Peneliti mengajak masyarakat intelektual Sul-Sel (Bugis, Makassar, tator, dan mandar bersatu untuk mengkaji secara mendalam  dan menyeluruh dan memanfaatkan secara maksimal ideologi sipakatau tersebut dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari, seperti bidang sosial, politik, budaya, ekonomi, dan  pendidikan.

B.       IDEOLOGI SIPAKATAU SEBAGAI WACANA BUDAYA
            Masyarakat dituntut berperan aktif sebagai pembaharu terhadap  produksi budaya, yang mampu membangun proposisi kultural dengan menggunakan bahasa sebagai medianya. Kemudian, diasumsikan bahwa pilihan bahasa dan proposisinya membentuk suatu konstruk sosial. Bahasa, ideologi dan kekuasaan sebagai ciri khas wacana kritis merupakan suatu  pendekatan interdisipliner terhadap suatu kajian produk budaya. Pandangan kritis pada perilaku bahasa yang ada relevansinya dengan rutinitas sosial mengenai ketidakadilan atau terjadinya penindasan, pendominasian,  pada suatu komunitas atas komunitas yang lain. Suatu teks/wacana tidak hanya dipahami dari isi teks itu sendiri, tetapi perlu diperhatikan  latar belakang yang memproduksi teks  budaya tersebut.
`Ideologi sipakatau dalam kajian wacana kritis bertujuan untuk merekonstruksi pola pikir manusia secara komprehensif dalam tatanan sosial-kultural melalui teks.  Paham tersebut dalam  wacana budaya diproduksi oleh komunitas tertentu  yang memposisikan dirinya dalam suatu kelompok sosial. Di dalam kebanyakan interaksi, para pemakai bahasa mengungkapkan pandangannya dan bahasa sebagai media dengan posisi yang berbeda.
Tampak bahwa suatu peristiwa budaya yang di dalamnya terintegrasi suatu  sistem ideologi, yang dinyatakan secara spesifik suatu teks budaya.  Secara konsisten memperkenalkan tema utama suatu peristiwa budaya yang menguntungkan komunitas tertentu dan bersifat dominan terhadap komunitas yang lain dalam masyarakat. Dari satu tema ke tema yang lain merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan sifat koheren dalam suatu wacana kultural. Sebagai akibatnya, dari sudut pandangan kerja ideologi sipakatau, pengungkapan secara signifikan di dalam teks budaya baik aktor  maupun komunitasnya berpengaruh terhadap komunitas yang lain dalam masyarakat.
Di balik struktur wacana  dalam komunitas Bugis  ditemukan  ideologi sipakatau untuk mempertahankan kekuasaan dalam periode pemerintahan (kedatuan). Hal ini menunjukkan  bahwa wacana LLG dalam perspektif kritis adalah setiap manusia memiliki potensi ideologi sipakatau  baik individu maupun secara  kelompok. Ideologi kultural tersebut berpotensi di bawah sejak lahir, dipengaruhi lingkungan, atau bersifat integratif.
Pada hakikatnya, ideologi sipakatau merupakan seperangkat pengetahuan dan keyakinan yang dikonstruksi oleh komunitas tertentu yang bersifat kultural untuk mencapai tujuan tertentu. Ia bekerja untuk menciptakan dan mempertahankan pendominasiannya. Hal ini  dipandang sebagai kerangka penafsiran mengorganisasi  dan merekonstruksi seperangkat keyakinan, pengetahuan, pola berpikir, dan perilaku suatu masyarakat tertentu untuk mencapai  tujuan tertentu. Oleh karena itu, ideologi tersebut sebagai pengikat utama terkait  dalam kekuasaan yang ditetapkan sebagai landasan teoretis untuk menyikapi ragam kelompok dalam masyarakat.
Pengembangan prilaku masyarakat dapat diaplikasikan ideologi tersebut dari berbagai variasi sebagai suatu kreativitas untuk menunjukkan suatu identitas dirinya, tujuan, status,  dan nilai dalam wacana budaya tersebut. Proses relasi pengetahuan dan keyakinan yang panjang tersebut bermanfaat bagi komunitas tertentu untuk mempengaruhi komunitas yang lain dengan konstruksi yang sistematis dan komprehensif. Hal ini penting dalam format kesadaran  masyarakat yang seharusnya memiliki paradigma komunikasi dengan ideologi sipakatau, tetapi bukan sebaliknya.
Penandaan berbagai informasi,  tampak  ada  kecenderungan untuk menyusun  proposisi yang ditafsirkan secara berbeda oleh masyarakat dan di sinilah ideologi sipakatau  bekerja untuk melegitimasi kekuasaannya dalam masyarakat tersebut.  Sistem komunikasi yang diterima secara verbal dan nonverbal adalah sistem budaya sipakatau dengan tujuan tertentu.   
Bahwa sesungguhnya ideologi tersebut ditetapkan sebagai fondasi teoritis untuk menyikapi ragam kelompok masyarakat sebagai tujuannya. Interaksi antara ideologi, kognisi sosial, praktik sosial dan wacana kultural dipresentasikan dalam wujud teks. Kerja ideologi inilah diharapkan  untuk melegitimasi kekuasaan dalam masyarakat agar tercipta suatu tatanan sosial yang berharkat dan bermartabat.
            Berdasarkan hal tersebut, pada hakikatnya Sipakatau adalah seperangkat proposisi keyakinan dan pengetahuan yang dikonstruksi untuk berkomunikasi secara berharkat dan bermartabat dengan tujuan tertentu. 
 C.   Ideologi Sipakatau dalam Skenario Pembelajaran Bahasa
Pada hakikatnya, ideologi sipakatau dalam skenario pembelajaran bahasa  dirangcang sesuai paham kultural tersebut meliputi; struktur super, struktur makro, dan struktur mikro.
Struktur super meliputi struktur skematik dan struktur makna. Struktur skematik dalam pembelajaran bahasa meliputi: (a) bagian awal, (b) bagian tengah, dan (c) bagian akhir, sedangkan struktur makna meliputi tahapan: (a) penemuan pokok bahasan, (b) penentuan tujuan, (c) penenpatan peran peserta didik, (d) penyebaran, dan (e)  pemekaran bahan ajar;
Struktur  makro meliputi: (a) tampilan  aktor yang  meliputi: peserta didik dan guru, (b) tampilan kelompok yang humanis, dan (c) tampilan kaidah interaksi.
Struktur mikro dalam pembelajaran bahasa meliputi: (a)  pilihan kata, (b) pilihan kalimat, (c)   pilihan metafora, dan (e) pilihan sinomin, antonim, dan  (f) hiponim
Pelaksanaan pembelajaran bahasa dalam konstruk bahasa meliputi hirarki bahasa (wacana, kalimat, dan kata), sedangkan dalam konstruk psikologi meliputi koheren, satu kesatuan,  saling mendukung, sistematis, dan tematis. Di samping itu, pembelajaran bahasa dalam konstruk sosiologi meliputi kaidah interaksi, vertikal dan horizontal, top-down, buttom-up, interaktif, dan struktur sosial.  Selanjutnya, pelaksanaan pembelajaran bahasa dalam konstruk pendidikan, meliputi: autokritik, etos kerja/belajar, penegakan adat, solider, kompak, dan humanis.
 D.   Roadmap dan Karakteristik Pendekatan Sipakatau
Pendekatan sipakatau berasumsi  bahwa  pelaksanaan  pembelajaran bahasa sebagai suatu nilai dan norma untuk mencapai sutau tujuan.
1.    Kalau  pendekatan audio-lingual (PAL) dalam pembelajaran bahasa mengutamakan struktur dan bentuk kalimat dan pendekatan komunikatif dan kontekstual menekankan pada makna dan konteks (PKK), maka pendekatan Sipakatau (PS) lebih mengutakan pada nilai.
2.    Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa mengutamakan pengucapan dialog sesuai struktur kalimat  melalui hafalan dan PKK menekankan pada dialog berdasarkan situasi dan fungsi komunikatifnya, maka pendekatan Sipakatau (PS) lebih mengutakan wacana berdasarkan pilihan bahasa.
3.   Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa berarti belajar bunyi, kosakata, struktur dan PKK menekankan pada konteks dan komunikatifnya, maka PS lebih mengutamakan wacana berdasarkan pilihan bahasa.
4.    Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa, khususnya pola kalimat tidak disajikan dari konteks dan PKK menyajikan pola kalimat dalam konteks, maka PS lebih mengutamakan pola kalimat disajikan simbol kultural  berdasarkan pilihan bahasa.
5.   Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa, pengulangan merupakan teknik latihan dan PKK pengulangan, jika diperlukan untuk konteks kalimat yang bersifat komunikatif, maka PS lebih mengutamakan pengulangan merupakan proses pembentukan watak (nilai)/karakter .
6.    Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa, sistem linguistik dipelajari melalui pola kalimat dan PKK - sistem linguistik dipelajari  melalui proses usaha peserta didik untuk berkomunikasi, maka PS - sistem linguistik dipelajari melalui usaha sadar berwacana.
7.     Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa, urutan unit pelajaran dimulai dari yang mudah ke yang sulit  dan PKK - Urutan unit  pelajaran  tergantung  dari minat  peserta didik terhadap topik, fungsi atau isi pelajaran, maka PS - Urutan unit pembelajaran dari kearifan lokal ke global.
8.    Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa, Guru mengawasi agar peserta didik  tidak  menggunakan bahasa yang bertentangan dengan teori  dan PKK - Guru  membantu  peserta didik  agar  bermotivasi untuk berusaha  menggunakan bahasa sesuai kebutuhannya, maka PS - Guru menfasilitasi  peserta didik untuk memilih bahasa yang santun.
9.     Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa, berasumsi,  bahasa  adalah kebiasaan, maka  dari  kesalahan harus dihindari dan PKK berasumsi, bahasa   sebagai  ciptaan pribadi, maka  dibentuk  melalui percobaan  yang berhasil dan tidak berhasil, maka PS - berasumsi, bahasa adalah budi, maka dikonstruksi secara kohesif dan koheren.
10.  Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa,  kesempurnaan mengungkapkan diri secara formal merupakan tujuan utama dan PKK - bahasa  yang  dapat  diterima oleh masyarakat   dan diucapkan  secara lancar merupakan tujuan utama  dan yang dituntut kesempurnaan mengutarakan dalam konteks, maka PS -  tujuan utama berbahasa adalah  kefasihan berkomunikasi yang bermartabat & berharkat   (sikapatau, sipakalebbi, dan sipakainge).
11.  Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa,  peserta didik  diharapkan mengadakan interaksi dengan sistem bahasa berdasarkan materi tertentu secara terpimpin. dan PKK - peserta didik diharapkan mengadakan   interaksi   dalam  situasi   nyata  secara lisan dan tulisan  secara mandiri, maka PS peserta didik  diharapkan mengadakan interaksi sesuai  tatakrama  lingkungan (budaya lokalnya).
12.  Kalau  PAL dalam pembelajaran bahasa, dapat menimbulkan motivasi intrinsik terhadap  struktur bahasa   dan PKK dapat menimbulkan motivasi intrinsik terhadap hal  yang bisa dikomunikasikan dalam bahasa yang dipelajari, maka PS  dapat menimbulkan motivasi intrinsik terhadap kearifan lokal.

 E.   Prinsip Sipakatau dalam Pembelajaran Bahasa
            Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan ketika ideologi sipakatau ingin diimplementasikan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa. Berikut ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan temuan empiris dalam wacana La Galigo.
 1.    Klasifikasi Fungsional
Suatu pengklasifikasian secara fungsional diarahkan untuk membatasi pandangan pada peserta didik tertentu  untuk menampilkan kepada publik. Fungsi peserta didik lain, hanyalah melaksanakan perintah,  tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan sedikit pun untuk menentang kehendak pendidik. Dengan demikian, kelompok tersebut dapat dikategorikan peneliti sebagai komunitas yang dimarjinalkan. Wacana inilah yang diistilahkan oleh Foucault (1977) sebagai wacana komunitas yang  “terpinggirkan” atau “tersembunyi” atas komunitas lainnya. Hal inilah yang ingin dikritik Habermas karena partisipan dan tema dibatasi. Ia menginginkan bentuk komunikasi yang ekslusif dalam diskusi untuk menguji validitas yang dibahas. Menurut Habermas, tidak ada kekuatan dan kekuasaan kecuali argumentasi yang lebih baik dan semua motif dikesampingkan kecuali motif pencarian kebenaran kooperatif (Ritzer dan Goodman, 2003:190). Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa seharusnya argumentasi yang kuat menjadi acuan mencari kebenaran.
 2.    Kaidah interaksional
Kaidah interaksional merupakan suatu kegiatan dengan cara partisipan mengontrol dan mengendalikan pelaku lain dalam interaksi sosial/kelas. Tampaknya, partisipan mengendalikan yang lain untuk mencapai tujuannya.  Dalam perspektif pendidikan bahasa, diharapkan partisipan tidak saling mengontrol dan mengendalikan dalam interaksi sosial. Di samping itu, respon partisipan lain tidak dalam  bentuk penerimaan secara terpaksa. Hal ini dikategorikan oleh Fairclouch (1989), sebagai kekuasaan dalam diskursus sebagai partisipan yang lebih berkuasa dan memberikan ruang lingkup yang sempit untuk mengemukakan pendapatnya terhadap partisipan lain (yang lemah). Partisipan merespon dengan “diam” diistilahkan Fairclouch sebagai pemaksaan keterbukaan. Sehubungan hal tersebut, diharapkan dan direkomendasikan  pembelajaran bahasa diimplementasikan tidak saling mengontrol dan mengendalikan dalam interaksi kelas. 
Dalam penelitian  ditemukan suatu kaidah interaksi yang bersifat dialog.  Sistem pergantian bicara yang dipakai dalam dialog itu, dapat diimplementasikan dalam berbagai kaidah interakasi baik antara guru dan siswa (sebaliknya), maupun antara siswa dengan siswa.   Lee (2002) mengistilahkan jenis kekuasaan sistem pergantian bicara (turn-taking) tersebut, disebut kekuasaan berdasarkan informasi. Pendominasian suatu individu biasanya patuh karena ia mengagumi kepada yang mendominasi dan ingin memperoleh penguatan informasi.
 3.    Representasi Peserta Didik
Dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa, peran peserta agar tidak terjadi aktor sosial yang memiliki karisma dan wibawa diantara temannya karena memiliki kemampuan di atas rata-rata.  Di satu sisi  ada pencitraan yang berlebihan pada peserta didik tertentu. Di sisi lain, ada peserta didik tidak pernah ditampilkan dalam kegiatan pembelajaran bahasa. Dengan demikian, diharapkan dalam pembelajaran bahasa,  peran peserta didik dalam interaksi kelas diaktualisasikan secara manusiawi (sipakatau).  

 Daftar Pustaka

Ambo Enre, F. 1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan dan Sastra Bugis. Ujung Pandang: Pinisi: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni.  Edisi Khusus. 1 No: 1-32.
Budiman Hardiman, Fransisco. 2003. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepenting-an Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas. Yogyakarta. Penerbit Buku Baik.
Fairclough, Norman. 1989. Language and Power.  England: Longman  Group UK. Ali Bahasa oleh Rohmani Indah. 2003. Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. Boyan Publishing. Malang.
Fairclough, Norman. 1995. Critical Discourse Analysis:  the Critical Study of Language.  New York: Longman Publishing.
Fairclough, Norman (Ed). 1992. Critical Languange Awareness.  New York: Longman Publishing. Terjemahan oleh Hartono. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis. Semarang. IKIP Semarang Press.
Foucault, Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan. Penerjemah Rahayu S. Hidayat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Fowler, Roger. 1996. “On Critical Linguistics”. Dalam Carmen Rosa Caldas-Coulthard dan Malcolm Coulthard (ed.), Text dan Practices: Reading in Critical Discourse Analysis. London and New York: Routledge.
Habermas, J. 1971. Knowledge and Human Interests. Boston. Beacon Press.
Halliday, M.A.K and Hasan, Rugaiya. 1996. Cohesion in Englisch. London: Longman
Haq, Hamka. 2003. Nilai Religi dan Kemanusiaan dalam Galigo. Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional Sawerigading. Masamba Sulawesi Selatan. 10-14 Desember.
Jufri. 2002. Prinsip Strategi Pembelajaran Bahasa. Makassar. State University of Makassar Press.
Jufri. 2006. “Struktur Wacana La Galigo”. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.
Jufri.  2007. Penelitian Bahasa, Sastra, dan Budaya. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Jufri. 2008. Analisis Wacana Kritis. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Jufri. 2009. Analisis Wacana Budaya. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Jufri. 2010. Analisis Wacana Politik. Makassar. Laporan penelitian (belum diterbitkan). Lemlit UNM.
Lee, Blaine. 2002. The Power Principle. Diterjemahkan oleh Saputra. A.  Prinsip Kekuasaan. 2002. Jakarta. Binarupa Aksara.
Mill, Sara. 1997. “Knowing Your Place: A Maxist Feminist Stylistic Analysis”. Dalam Michael Toolan (ed.), Language, Text and Context: Essay in Stylistics, London and New York: Routledge.
Ritzer, G., Goodman, D. 2003. Modern Sosiological Theory.  Diterjemahkan Santoso, TB. Teori Sosiologi Modern. 2003. Jakarta: Prenada Media.
van Dijk, T. 2001. Principles of Critical Discourse Analysis, dalam Margaret Wetherell, Stephanie Taylor and Simeon J. Yates. Discourse Theory and Practice A  Reader (hal. 300-317). London: Sage Publications.
Wahab, Abdul. 2003. Masa Depan Bahasa, Sastra, dan Aksara Daerah. Makalah ini disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII. Jakarta, 14-17 Oktober.
Wetherell M, Taylor S, dan Yates S.J. 2001. Discourse Theory and Practice a Reader. London: Sage Publications.

(Tulisan ini diambil dari Pidato Pengukuhan Guru Besar Prof Dr. M.Jufri di Universitas Negeri Makassar)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar