IDEOLOGI SIPAKATAU
DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN BAHASA
A. Ideologi
Sipakatau dalam Wacana Budaya
Pada hakikatnya wacana budaya (Lontara La Galigo)
ditemukan salah satu jenis naskah (Lontara), yang
tidak vakum, tidak murni tetapi
di dalamnya direpresentasikan ideologi kultural. Suatu paham yang
mempertahankan tatanan kehidupan sosial yang berkaitan dengan konsep Manurungnge. Manurungnge dalam perspektif antropologi merupakan manusia Bugis
yang pertama muncul (diturunkan) ke Bumi (wilayah
masyarakat Bugis) untuk meneruskan kemuliaan atas nama To Palanroe (Sang penentu nasib).
Paham teograsi inilah yang dipandang kekuasaan segalanya bersifat ketauhidan.
Ideologi sipakatau dalam wacana budaya dalam
perspektif kebahasaan dikategorikan wacana naratif, sedangkan dalam perspektif
wacana kritis bercirikan ideologi kultural dan kekuasaan yang direpresentasikan
dalam tiga struktur wacana, yaitu (1)
struktur super,
(2) struktur makro, dan (3) struktur mikro (istilah van Dijk). Ketiga aspek
tersebut ditemukan satu kesatuan yang saling mendukung untuk menciptakan
realitas sosial dan simbol kebahasaan sebagai mediasinya dalam sistem
pemerintahannya (kedatuannya).
Struktur super dalam pandangan
psikologis ditemukan skematik yang bersifat kronologis, yang secara sistematis
membangun wacana kultural yang bersifat abstrak dari berbagai peristiwa dan
tema. Keutuhan dan keterpaduan (koheren) yang
tematis tersebut dikategorikan suatu usaha sadar secara konstruk untuk
mempengaruhi pandangan publik yang diperjuangkan oleh komunitas Manurungnge yang bersifat genealogi dari
satu generasi ke generasi selanjutnya. Konsep kosmologi dalam kerangka wacana
tersebut yang terpusat pada manusia Bugis inilah dijadikan pandangan hidup
ketika itu untuk meyakinkan masyarakat di muka Bumi agar tercipta kedamaian,
keadilan, dan kesejahteraan.
Kesadaran atau pikiran manusia Bugis (Manurungnge) menemukan kaidah tentang
kondisi sosiol-historis dalam konteks tertentu untuk mendominasi pengetahuan manusia, sehingga mampu mempertahankan
sistem kedatuannya beberapa generasi.
Salah satu strategi yang ditemukan untuk mencapai tujuannya adalah otokritik dan diskusi
terbatas. Pentingnya suatu rasionalitas komunikatif yang menekankan saling pemahaman,
kejelasan, kesepakatan, dan kekuatan argumentasi dalam komunitasnya.
Pada dasarnya, ideologi kultural tersebut yang diperankan
seseorang atau komunitas dalam berbagai aktivitas yang ditampilkan
dalam wacana budaya. Di samping itu, juga posisi aktor, dan gagasannya
direpresentasikan dengan menggunakan kata, kalimat, paragraf dan wacana yang dirangkai untuk membangun suatu tujuan
tertentu. Hal ini terkait dengan status sosial,
karisma, kewenangan, dan kepakarannya.
Pengonstruksian kekuasaan dan pengetahuan mengacu pada
ideologi tertentu untuk mempresentasikan realita sosial di dalam praktek
institusi. Konstruksi tersebut dikembangkan menjadi tiga aspek pendominasian,
(1) pengetahuan dan/atau keyakinan, (2) kaidah interaksi sosial dalam diskursif, dan (3)
peran dan posisi aktor dalam struktur sosial. Kerja ideologi Manurungnge yang genealogi tersebut
berdampak terhadap kekuasaannya di muka Bumi.
Dalam
penelitian ditemukan tiga jenis ideologi (paham) yang
dipejuangkan di Ale Lino adalah ideologi
kultural siangrebale, ideologi
kultural sipakatau, dan ideologi
kultural Manurungnge. Paham kultural tersebut mendominasi dan berkuasa karena; (1) garis keturunan (genealogi) dan/atau karisma; (2) menberi
hukuman; (3) memberi imbalan (4) berhak untuk membimbing, menyuruh, atau memberhentikan; (5) memberi pengetahuan tentang cara yang terbaik
untuk menyelesaikan masalah; dan (6)
memberi penguatan.
Mereka selalu memproduksi bahasa yang dapat menciptakan
citra kepada khalayak bahwa dirinyalah
paling layak berkuasa dalam masyarakat. Pilihan bahasa, seperti kata, kalimat yang lebih bersifat kongkrit menjadi media untuk menunjukkan
struktur hierarki kekuasaan dan menetapkan konsepsi tentang kebenaran, aturan,
dan realitas sosial. Dibalik pilihan kata dan kalimat
tersebut ditemukan ideologi kultural (Manurungnge, Siangrebale dan Sipakatau). Suatu paham kosmologi, genealogi, dan ketauhidan yang dikonstruksi secara menyeluruh dan mendalam untuk mengisi dunia tengah.
Struktur
mikro digunakan sebagai alat untuk mengklasifikasikan pengalaman dunia dan membangun ide
secara sistematis yang berupa kategori ideologi kultural. Dengan demikian,
tidak mengherankan kalau komunitas Manurungnge
senantiasa memproduksi dan mereproduksi simbol,
baik simbol verbal maupun simbol non-verbal agar memperkuat, memapankan, dan mengukuhkan pendominasiannya.
Ideologi kultural ditemukan bekerja sebagai perekat hubungan sosial yang
mengikat masyarakat Bugis secara bersama dengan menetapkan nilai dan norma
yang disepakati secara kolektif dalam komunitasnya. Norma dan Nilai
edukasi yang ditemukan, yaitu (1)
otokritik, (2) solidaritas, (3) kedermawanan (makacua), (4) penegakan hukum adat, (5) kekompakan, (6) demokratis, (7) etos budaya
lokal, (8) satu kata dengan perbuatan (adanagau), (8) unjuk kerja (reso), tata krama, kesantunan (malebbi) berbahasa, ketauhidan, dan kepasrahan,
serta konstruksi tentang kosmologi. Nilai edukasi tersebut didasarkan pada
kecerdasan emosional, spiritual, sosial, dan intelektual.
Peneliti menyatakan bahwa temuan dalam wacana Lontara La Galigo yang layak diperjuangkan adalah ideologi sipakatau.
Peneliti mengajak masyarakat intelektual Sul-Sel (Bugis, Makassar, tator, dan
mandar bersatu untuk mengkaji secara mendalam
dan menyeluruh dan memanfaatkan secara maksimal ideologi sipakatau tersebut dalam berbagai aspek
kehidupan sehari-hari, seperti bidang sosial, politik, budaya, ekonomi,
dan pendidikan.
B. IDEOLOGI SIPAKATAU SEBAGAI WACANA BUDAYA
Masyarakat dituntut
berperan aktif sebagai pembaharu terhadap
produksi budaya, yang mampu membangun proposisi kultural dengan
menggunakan bahasa sebagai medianya. Kemudian, diasumsikan bahwa
pilihan bahasa dan proposisinya membentuk suatu konstruk sosial. Bahasa, ideologi dan kekuasaan
sebagai ciri khas wacana kritis merupakan
suatu pendekatan interdisipliner terhadap suatu
kajian produk budaya. Pandangan kritis pada perilaku bahasa yang ada
relevansinya dengan rutinitas sosial mengenai ketidakadilan atau terjadinya
penindasan, pendominasian, pada
suatu komunitas atas komunitas yang lain. Suatu teks/wacana tidak hanya dipahami dari isi teks itu sendiri, tetapi perlu
diperhatikan latar belakang yang
memproduksi teks budaya tersebut.
`Ideologi
sipakatau dalam kajian wacana kritis
bertujuan untuk merekonstruksi pola pikir manusia secara
komprehensif dalam tatanan sosial-kultural melalui teks. Paham tersebut dalam wacana budaya diproduksi oleh komunitas tertentu
yang memposisikan dirinya dalam suatu kelompok sosial. Di dalam
kebanyakan interaksi, para pemakai bahasa mengungkapkan pandangannya dan bahasa
sebagai media dengan posisi yang berbeda.
Tampak bahwa suatu
peristiwa budaya yang di dalamnya terintegrasi suatu sistem ideologi, yang dinyatakan secara
spesifik suatu teks budaya. Secara
konsisten memperkenalkan tema utama suatu peristiwa budaya yang menguntungkan
komunitas tertentu dan bersifat dominan terhadap komunitas yang lain dalam
masyarakat. Dari satu tema ke tema yang lain merupakan satu kesatuan yang
saling mendukung dan sifat koheren dalam suatu wacana kultural. Sebagai
akibatnya, dari sudut pandangan kerja ideologi sipakatau, pengungkapan secara signifikan di dalam
teks budaya baik aktor maupun
komunitasnya berpengaruh terhadap komunitas yang lain dalam masyarakat.
Di balik struktur
wacana dalam komunitas Bugis ditemukan
ideologi sipakatau untuk mempertahankan
kekuasaan dalam periode pemerintahan (kedatuan).
Hal ini menunjukkan bahwa wacana LLG dalam perspektif kritis adalah
setiap manusia memiliki potensi ideologi sipakatau baik individu maupun secara kelompok. Ideologi kultural tersebut berpotensi di bawah sejak lahir, dipengaruhi lingkungan,
atau bersifat integratif.
Pada
hakikatnya, ideologi sipakatau merupakan
seperangkat pengetahuan dan keyakinan yang dikonstruksi oleh komunitas tertentu
yang bersifat kultural untuk mencapai tujuan tertentu. Ia bekerja untuk menciptakan dan mempertahankan pendominasiannya. Hal ini dipandang sebagai kerangka penafsiran
mengorganisasi dan merekonstruksi
seperangkat keyakinan, pengetahuan, pola berpikir, dan perilaku suatu
masyarakat tertentu untuk mencapai
tujuan tertentu. Oleh karena itu, ideologi tersebut sebagai pengikat utama terkait dalam
kekuasaan yang ditetapkan sebagai landasan teoretis untuk
menyikapi ragam kelompok dalam masyarakat.
Pengembangan prilaku masyarakat dapat diaplikasikan ideologi tersebut
dari berbagai variasi sebagai suatu kreativitas untuk menunjukkan suatu identitas
dirinya, tujuan, status, dan nilai dalam
wacana budaya tersebut. Proses relasi pengetahuan dan keyakinan yang panjang
tersebut bermanfaat bagi komunitas tertentu untuk mempengaruhi komunitas yang lain dengan konstruksi yang sistematis dan komprehensif. Hal ini penting dalam format kesadaran
masyarakat yang seharusnya memiliki paradigma komunikasi dengan ideologi
sipakatau, tetapi
bukan sebaliknya.
Penandaan berbagai informasi, tampak
ada kecenderungan untuk menyusun proposisi yang ditafsirkan secara berbeda oleh masyarakat dan di sinilah ideologi sipakatau
bekerja untuk melegitimasi kekuasaannya dalam
masyarakat tersebut.
Sistem komunikasi yang diterima secara verbal
dan nonverbal adalah sistem budaya
sipakatau dengan tujuan tertentu.
Bahwa sesungguhnya ideologi tersebut ditetapkan sebagai
fondasi teoritis untuk menyikapi ragam kelompok masyarakat sebagai tujuannya.
Interaksi antara ideologi, kognisi sosial, praktik sosial dan wacana kultural
dipresentasikan dalam wujud teks. Kerja ideologi inilah
diharapkan untuk melegitimasi kekuasaan dalam masyarakat
agar tercipta suatu tatanan sosial yang
berharkat dan bermartabat.
Berdasarkan
hal tersebut, pada hakikatnya Sipakatau
adalah seperangkat proposisi keyakinan dan pengetahuan yang dikonstruksi untuk
berkomunikasi secara berharkat dan bermartabat dengan tujuan tertentu.
C.
Ideologi
Sipakatau dalam Skenario Pembelajaran Bahasa
Pada
hakikatnya, ideologi sipakatau dalam
skenario pembelajaran bahasa dirangcang
sesuai paham kultural tersebut meliputi; struktur super, struktur makro, dan
struktur mikro.
Struktur
super meliputi struktur skematik dan struktur makna. Struktur skematik dalam
pembelajaran bahasa meliputi: (a) bagian awal, (b) bagian tengah, dan (c)
bagian akhir, sedangkan struktur makna meliputi tahapan: (a) penemuan pokok
bahasan, (b) penentuan tujuan, (c) penenpatan peran peserta didik, (d)
penyebaran, dan (e) pemekaran bahan
ajar;
Struktur makro meliputi: (a) tampilan aktor yang
meliputi: peserta didik dan guru, (b) tampilan kelompok yang humanis,
dan (c) tampilan kaidah interaksi.
Struktur
mikro dalam pembelajaran bahasa meliputi: (a)
pilihan kata, (b) pilihan kalimat, (c)
pilihan metafora, dan (e) pilihan sinomin, antonim, dan (f) hiponim
Pelaksanaan
pembelajaran bahasa dalam konstruk
bahasa meliputi hirarki bahasa (wacana, kalimat, dan kata), sedangkan dalam
konstruk psikologi meliputi koheren,
satu kesatuan, saling mendukung, sistematis,
dan tematis. Di samping itu, pembelajaran bahasa dalam konstruk sosiologi meliputi kaidah interaksi, vertikal dan
horizontal, top-down, buttom-up,
interaktif, dan struktur sosial.
Selanjutnya, pelaksanaan pembelajaran bahasa dalam konstruk pendidikan, meliputi: autokritik, etos kerja/belajar,
penegakan adat, solider, kompak, dan humanis.
D.
Roadmap dan
Karakteristik Pendekatan Sipakatau
Pendekatan sipakatau berasumsi bahwa
pelaksanaan pembelajaran bahasa
sebagai suatu nilai dan norma untuk mencapai sutau tujuan.
1. Kalau pendekatan audio-lingual (PAL) dalam
pembelajaran bahasa mengutamakan struktur dan bentuk kalimat dan pendekatan
komunikatif dan kontekstual menekankan pada makna dan konteks (PKK), maka
pendekatan Sipakatau (PS) lebih
mengutakan pada nilai.
2. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa mengutamakan
pengucapan dialog sesuai struktur kalimat
melalui hafalan dan PKK menekankan pada dialog berdasarkan situasi dan
fungsi komunikatifnya, maka pendekatan Sipakatau
(PS) lebih mengutakan wacana berdasarkan pilihan bahasa.
3. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa berarti belajar
bunyi, kosakata, struktur dan PKK menekankan pada konteks dan komunikatifnya,
maka PS lebih mengutamakan wacana berdasarkan pilihan bahasa.
4. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, khususnya pola
kalimat tidak disajikan dari konteks dan PKK menyajikan pola kalimat dalam
konteks, maka PS lebih mengutamakan pola kalimat disajikan simbol kultural berdasarkan pilihan bahasa.
5. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, pengulangan
merupakan teknik latihan dan PKK pengulangan, jika diperlukan untuk konteks
kalimat yang bersifat komunikatif, maka PS lebih mengutamakan pengulangan merupakan
proses pembentukan watak (nilai)/karakter .
6. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, sistem
linguistik dipelajari melalui pola kalimat dan PKK - sistem linguistik
dipelajari melalui proses usaha peserta
didik untuk berkomunikasi, maka PS - sistem linguistik dipelajari melalui usaha
sadar berwacana.
7. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, urutan unit
pelajaran dimulai dari yang mudah ke yang sulit
dan PKK - Urutan unit pelajaran tergantung
dari minat peserta didik terhadap topik, fungsi atau isi
pelajaran, maka PS - Urutan unit pembelajaran dari kearifan lokal ke global.
8. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, Guru mengawasi
agar peserta didik tidak menggunakan bahasa yang bertentangan
dengan teori dan PKK - Guru membantu
peserta didik agar bermotivasi untuk berusaha
menggunakan bahasa sesuai kebutuhannya, maka PS - Guru menfasilitasi peserta didik untuk memilih bahasa yang
santun.
9. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, berasumsi,
bahasa adalah kebiasaan, maka dari kesalahan harus
dihindari dan PKK berasumsi, bahasa
sebagai ciptaan pribadi, maka
dibentuk melalui percobaan yang berhasil dan tidak berhasil,
maka PS - berasumsi, bahasa adalah budi, maka dikonstruksi secara kohesif dan
koheren.
10. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, kesempurnaan mengungkapkan diri secara formal
merupakan tujuan utama dan PKK - bahasa yang dapat diterima oleh masyarakat dan
diucapkan secara lancar merupakan tujuan utama dan yang dituntut
kesempurnaan mengutarakan dalam konteks, maka PS - tujuan utama berbahasa adalah kefasihan berkomunikasi yang bermartabat
& berharkat (sikapatau, sipakalebbi,
dan sipakainge).
11. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, peserta didik
diharapkan mengadakan interaksi dengan sistem bahasa berdasarkan materi
tertentu secara terpimpin. dan PKK - peserta didik diharapkan mengadakan
interaksi dalam
situasi nyata secara lisan dan tulisan secara
mandiri, maka PS peserta didik diharapkan
mengadakan interaksi sesuai
tatakrama lingkungan (budaya
lokalnya).
12. Kalau PAL dalam pembelajaran bahasa, dapat
menimbulkan motivasi intrinsik terhadap struktur bahasa dan PKK dapat menimbulkan motivasi intrinsik
terhadap hal yang bisa dikomunikasikan dalam bahasa yang dipelajari, maka
PS dapat menimbulkan motivasi intrinsik
terhadap kearifan lokal.
E.
Prinsip
Sipakatau dalam Pembelajaran Bahasa
Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan ketika ideologi
sipakatau ingin diimplementasikan dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa.
Berikut ini diuraikan beberapa hal yang berkaitan dengan temuan empiris dalam
wacana La Galigo.
1.
Klasifikasi Fungsional
Suatu
pengklasifikasian secara fungsional diarahkan untuk membatasi pandangan pada peserta didik tertentu untuk menampilkan kepada publik. Fungsi peserta didik lain, hanyalah melaksanakan perintah, tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan sedikit
pun untuk menentang kehendak pendidik. Dengan
demikian, kelompok tersebut dapat dikategorikan peneliti sebagai komunitas yang
dimarjinalkan. Wacana inilah yang diistilahkan oleh
Foucault (1977) sebagai wacana komunitas yang
“terpinggirkan” atau “tersembunyi” atas komunitas lainnya. Hal inilah
yang ingin dikritik Habermas karena partisipan dan tema dibatasi. Ia
menginginkan bentuk komunikasi yang ekslusif dalam diskusi untuk menguji
validitas yang dibahas. Menurut Habermas, tidak ada kekuatan dan kekuasaan
kecuali argumentasi yang lebih baik dan semua motif dikesampingkan kecuali
motif pencarian kebenaran kooperatif (Ritzer dan Goodman, 2003:190). Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pembelajaran bahasa
seharusnya argumentasi yang kuat menjadi acuan mencari kebenaran.
2.
Kaidah interaksional
Kaidah interaksional merupakan suatu
kegiatan dengan cara
partisipan mengontrol dan mengendalikan pelaku lain dalam interaksi sosial/kelas. Tampaknya, partisipan
mengendalikan yang lain untuk mencapai tujuannya.
Dalam
perspektif pendidikan bahasa, diharapkan partisipan tidak saling mengontrol dan
mengendalikan dalam interaksi sosial. Di samping itu, respon partisipan lain
tidak dalam bentuk penerimaan secara terpaksa. Hal ini
dikategorikan oleh Fairclouch (1989), sebagai kekuasaan dalam diskursus sebagai
partisipan yang lebih berkuasa dan memberikan
ruang lingkup yang sempit untuk mengemukakan pendapatnya terhadap partisipan
lain (yang lemah). Partisipan merespon dengan “diam” diistilahkan Fairclouch sebagai pemaksaan keterbukaan. Sehubungan
hal tersebut, diharapkan dan direkomendasikan
pembelajaran bahasa diimplementasikan tidak saling mengontrol dan
mengendalikan dalam interaksi kelas.
Dalam penelitian ditemukan suatu kaidah interaksi yang bersifat
dialog. Sistem pergantian bicara yang
dipakai dalam dialog itu, dapat
diimplementasikan dalam berbagai kaidah interakasi baik antara guru dan siswa
(sebaliknya), maupun antara siswa dengan siswa. Lee (2002) mengistilahkan jenis kekuasaan sistem pergantian bicara (turn-taking) tersebut, disebut kekuasaan
berdasarkan informasi. Pendominasian suatu individu biasanya patuh karena ia
mengagumi kepada yang mendominasi dan ingin memperoleh penguatan informasi.
3. Representasi Peserta
Didik
Dalam pelaksanaan
pembelajaran bahasa, peran peserta agar tidak terjadi aktor sosial yang
memiliki karisma
dan wibawa diantara temannya karena memiliki
kemampuan di atas rata-rata. Di
satu sisi ada pencitraan yang berlebihan
pada peserta didik tertentu. Di sisi lain, ada peserta didik tidak pernah
ditampilkan dalam kegiatan pembelajaran bahasa. Dengan demikian, diharapkan
dalam pembelajaran bahasa, peran peserta
didik dalam interaksi kelas diaktualisasikan secara manusiawi (sipakatau).
Daftar Pustaka
Ambo Enre, F.
1992. Beberapa Nilai Sosial Budaya dalam Ungkapan dan Sastra Bugis. Ujung
Pandang: Pinisi: Jurnal Pendidikan Bahasa
dan Seni. Edisi Khusus. 1 No: 1-32.
Budiman
Hardiman, Fransisco. 2003. Kritik
Ideologi: Menyingkap Kepenting-an Pengetahuan Bersama Jurgen Habermas.
Yogyakarta. Penerbit Buku Baik.
Fairclough,
Norman. 1989. Language and Power. England: Longman Group UK. Ali Bahasa oleh Rohmani Indah.
2003. Relasi Bahasa, Kekuasaan dan Ideologi. Boyan Publishing. Malang.
Fairclough,
Norman. 1995. Critical Discourse
Analysis: the Critical Study of Language. New York: Longman Publishing.
Fairclough,
Norman (Ed). 1992. Critical Languange
Awareness. New York: Longman
Publishing. Terjemahan oleh Hartono. 1995. Kesadaran Bahasa Kritis. Semarang.
IKIP Semarang Press.
Foucault,
Michel. 1997. Seks dan Kekuasaan. Penerjemah Rahayu S. Hidayat. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Fowler, Roger.
1996. “On Critical Linguistics”. Dalam Carmen Rosa Caldas-Coulthard dan Malcolm
Coulthard (ed.), Text dan Practices:
Reading in Critical Discourse Analysis. London and New York: Routledge.
Habermas, J.
1971. Knowledge and Human Interests.
Boston. Beacon Press.
Halliday, M.A.K
and Hasan, Rugaiya. 1996. Cohesion in
Englisch. London: Longman
Haq, Hamka.
2003. Nilai Religi dan Kemanusiaan dalam
Galigo. Makalah ini disajikan dalam Seminar Internasional Sawerigading.
Masamba Sulawesi Selatan. 10-14 Desember.
Jufri. 2002. Prinsip
Strategi Pembelajaran Bahasa. Makassar. State University of Makassar Press.
Jufri. 2006. “Struktur
Wacana La Galigo”. Disertasi. Malang: Program Pascasarjana Universitas
Negeri Malang.
Jufri. 2007. Penelitian Bahasa, Sastra, dan Budaya.
Makassar: Badan Penerbit UNM.
Jufri. 2008. Analisis
Wacana Kritis. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Jufri. 2009. Analisis
Wacana Budaya. Makassar: Badan Penerbit UNM.
Jufri. 2010. Analisis
Wacana Politik. Makassar. Laporan penelitian (belum diterbitkan). Lemlit
UNM.
Lee, Blaine.
2002. The Power Principle.
Diterjemahkan oleh Saputra. A. Prinsip
Kekuasaan. 2002. Jakarta. Binarupa Aksara.
Mill, Sara.
1997. “Knowing Your Place: A Maxist Feminist Stylistic Analysis”. Dalam Michael
Toolan (ed.), Language, Text and Context:
Essay in Stylistics, London and New York: Routledge.
Ritzer, G.,
Goodman, D. 2003. Modern Sosiological
Theory. Diterjemahkan Santoso, TB.
Teori Sosiologi Modern. 2003. Jakarta: Prenada Media.
van Dijk, T.
2001. Principles of Critical Discourse Analysis, dalam Margaret Wetherell,
Stephanie Taylor and Simeon J. Yates. Discourse
Theory and Practice A Reader (hal.
300-317). London: Sage Publications.
Wahab, Abdul.
2003. Masa Depan Bahasa, Sastra, dan
Aksara Daerah. Makalah ini disajikan dalam Kongres Bahasa Indonesia VIII.
Jakarta, 14-17 Oktober.
Wetherell M,
Taylor S, dan Yates S.J. 2001. Discourse
Theory and Practice a Reader. London: Sage Publications.
(Tulisan ini diambil dari Pidato Pengukuhan Guru
Besar Prof Dr. M.Jufri di Universitas Negeri Makassar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar