Sabtu, 10 Maret 2012

Karangan Argumentasi, Sebuah Pembelajaran Maha Penarik

Tanggal 10 Maret 2012 ini jam 10.15, seperti membebaskan anak-anakku dari belenggu. Ya, selama ini anak-anak itu belajar lewat lembaran-lembaran dari buku latihan. Kadang berguna, malah pasti tidak berguna. Alasan utama karena usai lembaran kerja itu ditulis, jarang di antara mereka mau melihat hasil latihan dari buku latihan tersebut. Hari ini, aku selaku guru dari mereka mencoba untuk membebaskan keterpurukannya, akibat mendulang emas di air keruh. Tidak mungkin mereka menjadi emas jika tidak pernah diberikan tempat paling baik untuk aktualisasi diri.
Sekarang, tersenyum-senyum di kursi empuk mengajarku. Mungkin, redaksi budaya “Fajar” yang dimotori oleh Muhammad Basri akan kewalahann menerima e-mail dari materi argumentasi yang aku ajarkan hari ini. Ya, anak-anak itu secara serentak mengirim email ke harian lokal basis Sulawesi Selatan, atas tulisan-tulisan dari siswa saya.
Untuk konteks awal, saya selaku guru harus digugu dulu. Artinya, aku tampil terlebh dahulu agar percect di mata mereka. Jadinya, setelah sebuha tulisan terbit di surat kabar maka menjadi lahan lanjutan untuk mengajak mereka menulis. Ya, tanggal 19 Februari 2012 sebuah puisi “To Lenge To Kipa’ yang dibuat khusus untuk memeringati Hut Pinrang terbit di edisi Minggu Fajar. Sebuah bentuk perayaan lain, daripada sekedar berdiri upaya untuk mengenang kelahiran daerah ini.
Itu sumber inspirasinya. Setali dua uang, selain belajar dan kemudian mereka mengirim ke media, juga puisi berbahasa Bugis itu harus diapresiasi. Ya, aku sejak awal ini memberikan pondasi kepada anak-anak saya di kelas agar mencintai daerahnya, mencintai sastra lokalnya secara awal. Jangan mau dihimpit oleh sastra dan budaya global, belum tentu cocok dan sesuai dengan pikiran dan hati anak-anak Kelas X.10 SMA Negeri 1 Pinrang.
Baiklah, berikut ini aku pajang beberapa dari naskah anak-anak tersebut yang dikirim bersama ke rubrik budaya harian Fajar hari ini, detik ini:
======================================
UlasanMengenai Puisi To lengo To kipa
Olej: “Fathu Rahmah”
Sejarah akan terlupakan jika sejarah tak pernah dibagi atau diceritakann ke generasi selanjutnya. Hal ini dapat menyebabkan suatu generasi tidak mengerti dengan sejarah, seperti halnya yang terjadi pada masa dewasa ini sangat banyak generasi muda tidak tahu-menahu akan sejarah terutama pada sejarah kota tempat tinggalnya atau kota tempat dilahirkannya. Serta  tidak dapat dipunkiri saya pribadi tidak banyak mengetahui mengenai sejarah dan budaya kota tempat saya tinggal dan dibesarkan.
 Oleh karena itu, untuk mencegah hal ini terjadi dibutuhkan langkah-langkah yang efisien untuk menyampaikan sejarah selain dengan suguhan cerita-cerita sejarah (cerita masa lampau). Meskipun hal ini tidak menjamin semua generasi dapat langsung mengerti atau mengetahui suatu sejarah.
suatu langkah awal yakni  dengan menyuguhkan sebuah  sejarah  tapi itu  dalam bentuk puisi sastra. Hal tersebut telah dilakukan oleh Baharuddin Iskandar, seorang yang mengabdikan diri sebagai seorang guru bahasa dan sastra Indonesia di SMA Negeri 1 Pinrang,  sekaligus penulis dari novel Atonia Uteri : Menemukan Jejak Masa Lalu. Ia memeberikan angin sejuk bagi para generasi muda yang ingin belajar mengenai asal mula kota Pinrang.
Baharuddin Iskandar menulis puisi yang berjudul To lengo To kipa yang telah dimuat  budaya harian fajar tanggal 19 februari 2012 beberapa minggu yang lalu. Puisi To Lengo To Kipa dibuat untuk ulang tahun kota Pinrang dengan alur yang mengikuti kisah tentang dua pejuang tanah Sawitto. Puisi To Lengo To Kipa adalah puisi mengenai kearifan lokal  yang membahas tentang asal mula nama kota Pinrang. Puisi ini betul-betul mengangkat budaya kerifan lokal kabupaten Pinrang, Sulawaesi Selatan.
Puisi To lengo To kipa, mengisahkan tentang kekalahan Kerajaan Sawitto di Pinrang dari Kerajaan Gowa yang menyebabkan raja La paletenag  (adatuang) meninggalkan daerah kelahirannya (tanah Sawitto) karena dibawa ke Gowa lalu disangra di sana. Setelah mendengar berita tersebut  diutuslah dua tokoh gagah pemberani yang bernama, To Lengo dan To Kipa untuk membawa kembali  raja La paleteang (adatuang) ke tanah Sawitto.  
Saat mereka berhasil sampai di Gowa dan masuk ke ruanga di mana raja La paleteang ditawan, To loengo To kipa  terkejut  menemukan Raja la paleteng yang bertubuh kurus kering.  To lengo to kipa langsung membopong la paleteng pergi keluar dari ruang tahanan dan membawanya kabur dengan memnggunakan perahu. Akan tetapi aksi mereka diketahui oleh prajurit kerajaan Gowa lalu mengejarnya tapi usaha mereka gagal karena sebelum menyelamatka
n La paleteang, To lego To kipa telah melubangi semua perahu prajurit Gowa terlebih dahulu. Hingga pada akhirya mereka berhasil membawa raja La paleteang kembali ke tanah Sawitto. 
Setelah berhasil sampai di tanah sawitto, La paleteang mengatakan “Pinra, pinra tongen ni wanuakku ”. dari kata pinra-lah yang menjadi pinrang dan menjadi nama kabupaten Pinrang. Itulah asal mula nama kota Pinrang.
            Jika kita malihat pada pragraf pertama dan kedua dari puisi To lengo To kipa         
Tettokka ri bittara’e
Mitti wae mata, mate ele’i addatuangengku
Mangittu aro, nakenn,i sussa wanuaku

Tudanganga ri ati macinnong.
                Luttu masuwaja sumangeku
                Mappettu oli koli’e

To lengo to kipa merasa hatinya sangat teriris karena kehilangan  rajanya La paleteang (saat La paleteang ditawan oleh kerajaan Gowa)  itulah yang menyababkan keresahan di daerahnya. Rasa kehilangan inilah yang mendatangkan kepiluan dan tetesan air mata. Tapi To lengo To kipa tidak ingin tenggelam dalam kesedihan, mereka memiliki semangat yang mengebu-gebuh untuk melepaskan raja La paleteang. Hal inilah yang patut dicontoh oleh masyarakat karena jika melihat sisi sederhana masyarakat (kaum muda) saat ini, rasa nasionalismenya sudah pudar di hempas angin globalisasi, sehingga puisi ini sangat berposisi sebagai subjek pembangun kembali pondasi nasionalisme .
Puisi To lengo To kipa  memang mempunyai daya tarik tersendiri bagi peminatnya serta pembaca yang mengerti dengan bahasa Bugis karena makna yang terkandung dari puisi To lengo To kipa. Tapi di satu sisi, mungkin tidak jarang membuat minat pembaca hilang karena tidak seluruh pembaca mengerti dengan bahasa yang digunakan. Terlebih lagi dengan generasi muda sekarang ini yang dalam keseharianya tidak menggunakan bahasa lokal melainkan mengunakan bahasa yang kurang jelas penggunaanya (bahasa Slank) dan merasa itu kuno. Dampaknya meraka sama sekali tidak tertarik untuk memebacanya.
Oleh karena itu, ada baiknya jika puisi To lengo To kipa dibuat dalam dua versi yakni versi dalam bahasa lokal dan versi dalam bahasa Indonesia  tapi tidak meninggalkan ciri khasan daerah sendiri.

=====================================
Menggali Puisi To Lengo To Kipa
Oleh: Fitri Syarifuddin
Bahasa dan sastra telah mendarah daging dikehidupan sehari-hari. Seiring berjalannya waktu, sudah berbagai macam tulisan yang kita temui. Sebuah karya dalam bahasa dan sastra mampu mengubah pola pikir kita sebagai pembaca. Dengan adanya bahasa dan sastra dapat mengekspresikan diri dan pikiran. Sehingga menjadi prasarana untuk memperkenalkan suatu daerah ke masyarakat luas. Namun, di zaman sekarang sudah banyak orang yang tidak mengetahui sejarah dan bahasa asli daerahnya sendiri.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, sudah sangat jarang ditemui  karya-karya bahasa dan sastra bernuansa kedaerahan. Masyarakat mudah terpengaruh oleh benturan-benturan dari luar, mereka tidak dibentengi oleh rasa percaya diri akan budayanya sendiri. Mereka lebih menganggap budaya orang lain itu bagus dibandingkan budayanya sendiri. Sungguh terpuruknya budaya kita. Rasa ketidakpedulian dan kelalaian dari masyarakat  terhadap hal-hal kecil seperti itu dapat berakibat fatal, karena dapat memicu kepunahan akan budaya tersebut. Namun, hal itu telah dianggap remeh oleh masyarakat.
Bahasa dan sastra lokal telah diacuhkan oleh pemiliknya sendiri yaitu masyarakat yang ada dalam ruang lingkup budaya tersebut. Jangan sampai mengikuti budaya orang lain sementara budaya sendiri dilupakan. Apa kita tidak malu bila ditanya mengenai budayanya sendiri tapi tidak tahu, sedangkan budaya orang lain sangat diperhatikan sampai-sampai meniru budayanya?  Kita sepantasnya malu akan itu.  
Puisi adalah salah satu contoh bahasa dan sastra. Puisi adalah deretan kata yang dimainkan dalam suatu kalimat. Sehingga membuat suatu tulisan yang bermakna. Puisi merupakan wujud dari imajinasi seseorang.
Seorang guru bahasa Indonesia dari SMA Negeri 1 Pinrang, Baharuddin Iskandar mencoba mengapresiasikan tulisannya dalam sebuah Puisi berbahasa Bugis yaitu “To Lengo To Kipa”. Puisi ini dibuat untuk memeringati hari ulang tahun Pinrang.
Dalam puisi tersebut, diceritakan mengenai dua orang pemberani bernama To Lengo dan To Kipa yang berasal dari tanah Sawitto. Mereka adalah utusan dari kerajaan Sawitto untuk menyelamatkan rajanya yaitu La Paleteang yang menjadi tawanan kerajaan Gowa. Dari awal sampai akhir, cerita pada puisi tersebut sangat menyentuh dan didukung dengan kata-kata indah sehingga mampu menyihir pembaca. Seperti : “Tettokka ri bittara’e/ Mitti wae mata, mate ele’i addatuangengku/ Mangittu aro, nakennai sussa wanuaku.”. Artinya: ‘Saya berdiri di langit/ Menetes air mata, Rajaku meninggal di pagi hari/ Pedih dada, tertimpa susah tanah kelahiranku’. Kesan yang ditunjukkan dari kalimat tersebut yaitu kedua pemberani dari Kerajaan Sawitto To Lengo dan To Kipa  sangat sedih dan meneteskan air mata karena kehilangan Raja mereka. Dengan semangat juang yang begitu besar mengantarkan mereka berdua sampai di kerajaan Gowa untuk  menyelamatkan Rajanya. Mereka sangat terkejut melihat Rajanya berbadan kurus kering. Mereka menculik Raja mereka kembali dan membawanya ke tanah Sawitto. Akhirnya, usaha mereka pun berbuah keberhasilan. Ketika mereka berhasil sampai ke tanah Sawitto, La Paleteang mengatakan: "Pinra, pinra, tongeng ni wanuaku". Dari kata "Pinra"-lah menjadi kata Pinrang. Itulah sejarah awal mula terjadinya kota Pinrang.
Dengan adanya Puisi To Lengo To Kipa diharapkan mampu menggugah hati pembaca untuk tetap menjaga kelestarian bahasa dan sastra lokal, agar tidak hilang di telan zaman. Juga diharapkan mampu menyadarkan kita selaku masyarakat untuk menjaga budaya yang telah dimiliki. Puisi ini dilatarbelakangi oleh bahasa daerah si penulis.
Akan tetapi, dalam puisi tersebut penulis menggunakan bahasa daerah yang sudah sangat jarang ditemui dan kurang dimengerti oleh banyak orang. Bagi pembaca yang kurang mengerti bisa saja tidak memedulikan tulisan tersebut karena tidak mengetahui apa makna dari kosa kata yang ada didalamnya. Ada baiknya, bila puisi tersebut disertai dengan arti dalam bahasa Indonesia jika ingin dipublikasikan.
Dewasa ini, perbedaan bahasa menjadi salah satu kendala dalam membuat suatu karya yang ingin dipublikasikan. Sehingga hal ini membuat para penulis baru ataupun pemula akan enggan menulis sesuatu yang mengenai kejadian daerahnya. Tentu saja, hal ini berdampak negatif pada perkembangan suatu daerah maupun bahasa. Bahasa yang mengikuti perubahan waktu, akan semakin menjadi-jadi. Sehingga, orang-orang rela meninggalkan budayanya sendiri untuk mengikuti budaya orang lain. 
Puisi memang memiliki daya tarik tersendiri bagi peminatnya. Mungkin karena kata yang terus-menerus diulang, membuat puisi menjadi lebih menarik saat dibaca. Puisi memiliki makna di setiap kata-katanya. Pada puisi “To Lengi To Kipa” ini, bahasa bisa saja kembali ke bahasa yang semestinya(lokal).
======================================
Menbubuhi  Puisi To Lego To Kipa
Oleh: Auditalia
Dalam bahasa dan sastra lokal sekarang ini banyak yang dipermasalahkan, karena  ketakutkan dan kekhawatiran masyarakat untuk menulis. Namun, ketakutan dan kekhawatiran itu mungkin bisa diatasi sementara, dengan melakukan syarat-syarat dan ketentuannya. Meskipun tak dijamin semuanya akan berjalan seperti  rencana, namun bahasa dan sastra lokal sekarang ini sangat membutuhkan penggunaan bahasa dan apresiasi sastra yang jelas dan benar. Dalam dunia bahasa dan sastra lokal sangat jarang ditemukan sebuah naskah yang berlatar belakang kedaerahan atau kebudayaan lokal.
Perbincangan masyarakat sudah tidak membahas kebudayaan lokal, sehingga khawatir masyarakat tidak memperhatikan bahasa dan sastra lokal. Ditakutkannya hal ini akan mengalami kepunahan. Di setiap daerah memiliki ciri khas masing-masing, masyarakat bisa membuat naskah seperti puisi To Lengo To Kipa.
            To Lengo To Kipa adalah sebuah puisi setting Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan. Ditulis oleh seorang guru Bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Pinrang sekaligus penulis novel Atonia Uteri : menemukan Jejak Masa Lalu, yaitu Baharuddin Iskandar,. To Lengo To Kipa dibuat untuk ulang tahun kota Pinrang yang mengikuti kisah tentang dua pejuang dari tanah Sawitto. Apabila pembaca atau konsumen membaca puisi tersebut akan sedikit bingung karena bahasa yang digunakan adalah bahasa Bugis, yaitu bahasa yang jarang digunakan oleh kaum muda khususnya kaum muda Pinrang. Seperti , iyana To Lengo...Iyana To Kipa ( saya to lengo, saya to Kipa). Dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata ( darah setetes La Paleteang menjadi air ). Mauso tappi’ku, sanresengngi tassibeleang ( tajam badikku, bersandar dalam keberanian ). Matareng attiku, makkkado ri saliweng lino ( tajam hati, keras hingga luar bumi ).Mappasau aro loppo ( dada sungguh kekar). Puisi ini mengisahkan tentang kekalahan Kerajaan Sawitto dari Kerajaan Gowa yang menyebabkan raja La Paleteang dibawa ke Gowa lalu menjadi tawanan disana. Saat itulah, dua orang pemberani dari tanah Sawitto yaitu To Lengo dan To Kipa yang diutus untuk membebaskan Sang Raja La Paleteang dan permaisurinya dari tawanan kerajaan Gowa. Tanpa ada sedikit pertumpahan darah. Dan setelah La Paleteang kembali ke tanah Sawitto (Pinra) rakyatnya merasa sedih dengan perubahan Sang Raja selama di tawanan Gowa. Seperti,  yang ada dikatakan di puisi tersebu, tettokka ri bittara’e ( saya berdiri di langit).Mitti wae mata, mate ele’i addatuangengku ( menetes air mata, rajaku meninggal di pagi hari). Mangittu aro, nakenn,i sussa wanuaku ( pedih didada, terkena susah tanah kelahiranku). Rakyat tanah Sawitto merasa sangat teriris hati, karena kehilangan Rajanya La Paleteang  dan menyebabkan keresahan di daerahnya. Tetapi setelah rajanya kembali ke Pinra, La Paleteang sedih melihat rakyatnya.
            Puisi diatas mempunyai daya tarik yang khas, bagi pembaca yang mengerti dengan bahasa Bugis akan tahu makna yang terkandung dari puisi To Lengo To Kipa. Tetapi mungkin saja ada juga pembaca yang hilang selera untuk membaca puisi tersebut karena bahasa yang digunakan mereka tidak mengerti. Oleh karena itu, dengan puisi To Lengo To Kipa  diharapkan kita selaku masyarakat dapat melestarikan kebudayaan lokal di daerah masing-masing. Dan masyarakat bisa membuat puisi atau naskah lain yang membahas daerah masing-masing.
=====================================
Mencari Kesalahan To Lengo To Kipa
Oleh: Irwan
        Bahasa dan sastra lokal yang ini menjadi perbincangan yang hangat sebab dikhawatirkan akan punah .Globalisai sangat berpean penting dalam proses menuju kepunahan .Oleh karena itu, dubutuhkan langka-langka yang dapat yang dapat memicu percepatan dalam mengangkat kembali produk-produk lokal .Meskipun tidak ada  jaminan bahwa pemakaian bahasa,apresiasi sastra dan produk-produk akan mendapat perhatian lebih banyak dari konsumen sehingga bisa mendatangkan pula keuntungan lebin, yang paling marak saat ini adalah munculnya puisi –puisi yang bertemakan kedaerahan ,salah satunya To Kipa dan To Lengo
       Bahasa dan sastra lokal masyarakat sekarang mulai hilang di telan waktu ,itu disebabkan oleh  mulainya  hilang ditelan waktu dan dihempas oleh teknologi , sekarang banyak yang tidak menggunakan bahasa daerahnya terutama di daerah kota pinrang , kalau kita tanya orang di kota tesebut mungkin tidak bisa bahasa asli pinrang yaitu,  tetapi lebih banyak menggunakan bahasa melayu ,”apakah masyaakat lupa atau mereka memang tidak tau “, tetapi desa yang baerada di pingiran kota pinrang munkin ada yang bisa menggunakan bahasa bugis .
     “Apakah sekarang orang-orng tidak tau bahasa daerahnya “,sangat malang kahidupan kita karena bahasanya sendiri ia tidak tau , apakah anda bisa tejemahkan kata ini “laoni “ arrtinya itu adalah pergimi
       To Kipa dan To Lengo adalah sebuah puisi tentang pemberaninyan kota pinrang ,Sulawesi Selatan .Ditulis oleh seorang guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Pinrang ,yang bernama Baharuddin Iskandar ,
         Dilihat dari judulnya pembaca sudah dihadapkan pada  kebingungan sambil mengerutkan kening dan menggaruk-garuk kepala, mungkin sebagian orang bisa mengerti arti dari judul puisi tersebut ,puisi yang sepenuhnya menggunakan bahasa bahasa bugis ,tetepi bagi orang yang ingin tau pasti penasaan dan berusah mencari apa makna dari judul puisi tersebut.
         Puisi yang mengisahkan tentang seorang raja sawitto yang ditawan oleh raja gowa ,dan dua orang pemberani yang pergi untuk menyelamatkan raja sawitto , orang itu dipanggil To Kipa dan To Lengo, dua orang yang berejuang untuk tanah sawitto. Mereka berdua pergi untuk menyelamatkan raja mereka yaitu La Paleteang yang diculik di kerajaan Gowa. Saat mereka berhasil masuk ke ruang tahananan, mereka menemukan rajanya, yaitu La Paleteang. Namun, To Lengo dan To Kipa sangat terkejut melihat rajanya bertubuh kurus kering. Tanpa berpikir panjang lagi, To Lengo dan To Kipa segera membopong rajanya pergi keluar tahanan dan membawanya kabur menggunakan perahu. Namun, aksi mereka diketahui. Sehingga, para prajurit kerajaan Gowa mengejarnya menggunakan perahu. Tetapi, usaha prajurit tersebut gagal. Karena sebelum menyelamatkan rajanya, To Lengo dan To Kipa telah melubangi semua perahu para prajurit tersebut. Jadi, akhirnya mereka berhasil membawa pulang kembali rajanya ke tanah sawitto.
            Ketika mereka bertiga berhasil sampai ke tanah sawitto, La Paleteang mengatakan: "Pinra, pinra, tongeng ni wanuaku". Dari kata "Pinra"-lah menjadi kata Pinrang. Di kota Pinrang terdapat gunung yang amat besar dan diberi nama Gunung Paleteang guna untuk mengingat raja tanah sawitto. Itulah sejarah awal mula terjadinya kota Pinrang.
         Puisi yang sangat membingunkan karana menggunakan bahasa bugis yang belaku pada zaman dahulu , padahal sekarang zaman yang mulai modern ,pada zaman sekarang tidak banyak orang yang bisa mengerti atau mengetahui makna dari puisi tersebut .
       Meskipun pembaca kebingungan dengan bahasa yang di gunakan dalam puisi karena tidak mengerti,dan juga Baharuddin mencoba memprlihatkan daerah asalnya yang dia gunakan sebagai latar tempat puisi tersebut  Oleh karena itu ,marilah kita memeti hikama dari kearifan lokal yang di suguhakn ole puisi To Kipa dan To Lengo.
===========================================
Menerawang Kearifan yang Tertanam dalam Puisi To Lengo To Kipa
Oleh: Khaeriyah Nasruddin

Aura modern semakin meluas sampai ke Indonesia. Begitu juga dengan dunia sastra.  Dalam dunia sastra begitu jarang kita temui sebuah tulisan atau karangan yang menggunakan bahasa daerah. Dalam masyarakat saja sangat minim ditemui membaca buku, yang ada mereka lebih tertarik dengan sebuah tontonan seperti layaknya sinetron. Dengan minimnya suatu karangan atau tulisan yang menggunakan bahasa daerah ditakutkan hal itu sedikit-sedikit akan menghilang.
Salah satu aura meredup kemudian mulai dikobarkan adalah puisi “To  Lengo To Kipa” Puisi yang dipublikasikan di Fajar, rubrik budaya Minggu, 19 Februari 2012. Puisi tersebut ditulis oleh seorang guru bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Pinrang. Sebut saja dia Baharuddin Iskandar. Puisi yang dia tulis mengangkat latar daerahnya sendiri, yaitu kabupaten Pinrang. Baharuddin menghadirkan sebuah puisi Bugis yang selama ini sangat jarang ditemui bahkan bisa dihitung jari di era berkembangnya bahasa globalisasi.
Ditengah maraknya kesibukan yang dialami penulis, dia masih menyisahkan waktu duduk manis di depan laptopnya untuk menulis sebuah puisi. Mungkin saat ini kebanyakan kaum-kaum remaja khususnya remaja Bugis—Pinrang tidak mengetahui asal usul daerahnya sendiri. Begitu juga dengan saya. Namun, dengan adanya puisi ini kaum-kaum remaja Pinrang dapat mengenal lebih dalam asal usul daerah tanah kelahirannya. Pahlawan To Lengo To Kipa, yang menjadi tokoh utama dalam puisi ini menjadi sesosok pahlawan baru dari Tanah Sawitto. Yang selama ini namanya belum pernah diagung-agungkan.

Deretan-deretan bait pertama puisi ini sempat menyentuh hati saya.
Tettoka ri bittara'e, mitti wae mata, mate ele’i addatuangengku mangitto aro, nakenna’i sussa wanuaku” yang berarti saya berdiri di bibir langit, air mata jatuh menitik, Rajaku pergi di pagi hari, membuat dada pedih karena tanah kelahiranku merasa keresahan. Selanjutnya pada bait berikutnya “Dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata” setetes darah LaPaleteang menjadi air mata.
Dapat disimpulakan To Lengo To Kipa, dua orang pria perkasa—pemberani dari Tanah Sawitto ini begitu hormat terhadap Rajanya, yaitu LaPaleteang. Keduanya memiliki semangat juang yang luar biasa untuk memberikan kebebasan kepada rajanya dari tangan raja Gowa. Impian keduanya untuk membebaskan LaPaleteang dari tangan raja Gowa akhirnya berhasil. Ketika perjalanan mereka berakhir di tempat tujuan, LaPaleteng menatap perubahan terhadap Tanah Sawitto-Pinrang. LaPaleteang melontarkan sebuah kalimat, seperti yang dikutip dari puisi To Lengo To Kipa: "Pinra, pinra, tongeng ni wanuaku" atau berubah, berubah, sudah tanah kelahiranku. Dari asal kata “Pinra, pinra” inilah yang menjadi nama bagi kota Pinrang.
Walaupun pembaca mengalami kesulitan dalam memahami setiap kata yang disodorkan oleh penulis karena bahasa yang digunakan sulit dijangkau oleh pembaca terlebih lagi kaum muda. Tapi, penulis begitu pintar mempermainkan bait-bait puisinya sehingga mampu memberikan sugesti kepada pembaca. Sungguh menakjubkan.
Awalnya, jika pembaca melihat judul puisi ini pembaca akan mengabaikannya- hanya sedikit saja orang yang dapat memahaminya karena bahasa yang dipakai menggunakan bahasa Bugis.
Kedua, rasa penasaran yang mengendor-ngendor hati akhirnya membuat pembaca ingin membacanya. Pembaca akan merasa penasaran dengan judul yang disuguhkan penulis. Berbagai rasa ingin tahu akan menghampiri pembaca. Mereka akan bertanya-tanya apa yang dimaksud To Lengo To Kipa? Siapa To Lengo To Kipa ini? Apakah mereka seorang pahlawan?
 Ketiga, pembaca akan menyernyitkan keningnya karena jenis bahasa yang sulit dipahami. Namun, beberapa orang yang memahami bahasa yang disodorkan oleh penulis mereka akan menghembuskan napas lega disertai geleng-geleng kepala. Setelah membaca puisi ini pertanyaan-pertanyaan yang sempat berkecamuk dibenak pembaca akan terjawab. Mereka akan mengetahui bahawa To Lengo To Kipa ini juga merupakan seorang pahlawan.

Selanjutnya, dalam puisi terkandung banyak nilai kearifan bahasa sehingga puisi ini berperan sebagai penyadaran. Selama ini sudah banyak kaum-kaum remaja yang sudah tidak mau ambil pusing alias mereka sudah tidak mau lagi belajar tentang bahasa daerahnya sendiri. Namun, adanya puisi ini dapat memberikan pelajaran baru bagi pembaca. Tetapi, tidak sebagian pembaca yang dapat mengetahui setiap deretan kata dari puisi yang disodorkan oleh penulis. Adakalanya, jika sebaiknya penulis memberikan arti dari kata-kata tersebut. Agar pembaca bisa memahaminya.
Oleh karena itu, dengan tidak menyia-nyiakannya kearifan yang disiratkan oleh penulis, mari kita menjunjung tinggi apa yang menjadi peradaban lokal namun disamping itu tetap mengikuti zaman modern ini sehingga terjadi kombinasi  yang baik serat tidak adanya yang merasa terlengserkan antara kebudayaan lokal dengan globalisasi masa kini.
==================================
PINRANG… KOTA YANG KAYA AKAN BUDAYA
NAMUN LANGKA UNTUK DITEMUKAN
Oleh: Muhammad Zubair
Budaya….budaya adalah salah satu unsur yang hidup dan mengalir di dalam darah kita, di Pinrang sendiri terdapat banyak budaya misalnya budaya mappadendang. Budaya mappadendang ini merupakan kegiatan yang dilaksanakan setiap masyarakat panen, hal ini bertujuan untuk menunjukkan rasa syukur kepada yang maha kuasa.
Walaupun di Pinrang terdapat banyak budaya namun, hanya sebagian kecil yang mengetahui atau mengerti tentang budaya tersebut, baik itu tentang kegunaan ataupun sejarahnya.
Berbicara tentang sejarah, banyak masyarakat yang tidak tahu-menahu tentang sejarah terciptanya budaya-budaya yang ada di sekitar mereka, bahkan sejarah akan berdirinya kota Pinrang pun juga mereka tidak ketahui. Di era globalisasi saat ini generasi-generasi muda hanya memperhatikan masalah-masalah yang berkaitan dengan jaman sekarang, tidak mempedulikan hal-hal yang sudah lampau maupun yang akan datang. Padahal, ketiga hal ini saling berkaitan dan dapat menunjang kehidupan.
Walaupun sekolah atau institut-institut pendidikan lainnya tidak memberikan pembelajaran mengenai sejarah-sejarah akan budaya-budaya yang ada di sekitar kita, kita masih bisa  mempelajari atau mencari tahu tentang sejarah-sejarah tersebut melalui berbagai media, baik itu media cetak maupun media elektronik seperti buku, surat kabar, radio, dan televisi, atau kita bisa mencarinya di internet. Jalan selalu ada, namun, kita memiliki kesadaran dan keinginan yang kurang untuk mencari data-data tentang sejarah-sejarah yang ada di sekitar kita sehingga, pengetahuan akan sejarah-sejarah yang ada sangatlah kurang.
Ada beberapa orang yang rela meluangkan waktunya untuk menyuguhkan pengetahuan tentang sejarah dan budaya yang ada di sekitar kita. Salah satunya yaitu: Pak Baharuddin Iskandar, seorang guru SMA yang telah menulis berbagai macam karya sastra. Salah satu karya terbaiknya adalah novel kearifan dunia medis Autonia Uteri: Menemukan Jejak Masa Lalu, dan baru-baru ini ia telah menerbitkan sebuah puisi tentang kearifan lokal budaya yang berjudul To LengoTo Kipa di surat kabar fajar.
Puisi ini menceritakan tentang kekalahan Kerajaan Sawitto di Pinrang dari Kerajaan Gowa, yang menyebabkan raja (addatuang) Lapaleteang ditawan dan dibawa ke Makassar. Dua pemuda yang gagah perkasa dan pemberani diutus oleh kerajaan Sawitto untuk membawa raja Lapaleteang, kedua pemuda ini adalah To Lengo dan To Kipa. Namun, selama perjalanan, mereka kasihan dengan keadaan raja Lapaleteang, Sehingga menyusun strategi untuk membebaskannya. Setelah berhasil membebaskan raja Lapaleteang, mereka kembali ke Kerajaan Sawitto, sesampainya di sana, rakyat menyambut mereka dengan haru dan terkejut akan keadaan raja mereka yang kurus kering sahingga membuat mereka serentak mengatakan “Pinra…pinra kana’ni addatuange’ta”. Dari kata “pinra” inilah berubah menjadi Pinrang.
Di dalam puisi ini terdapat dua kalimat yang dapat memberikan pembelajaran penting dalam kehidupan, dan bisa membuat kita hidup bahagia yaitu: yang pertama, “Tudangnga ri ati macinnong” (bait 4) yang artinya saya duduk di hati yang jernih. Dari kalimat ini dapat dipetik bahwa sebagai manusia kita harus memiliki hati yang jernih agar dapat disukai banyak orang sehingga dapat hidup sejahtera. Jika, kita tidak memiliki hati yang jernih dan bersih maka orang-orang akan menjauhi kita dan tidak akan menolong jika kita dalam masalah, kita akan hidup dalam kesendirian.
Yang kedua, “Dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata” (bait 20) yang artinya setetes darah La Paleteang menjadi air mata. Dari kalimat ini dapat dipetik bahwa jika kita melakukan hal baik atau memimpin dengan baik maka kita akan dihormati orang lain, sehingga kita akan selalu berada di hati mereka. Jadi, ketika dalam masalah mereka senantiasa memberikan pertolongan.
Pak Bahar telah memberikan pembelajaran yang sangat berguna bagi kita melalui puisinya. Puisi ini pun bisa dijadikan sebagai motivasi agar para sastrawan ataupun penulis juga ikut menulis tentang hal-hal yang berbaur budaya atau sejarah-sejarah yang ada di sekitar.
Bahasa yang digunakan Pak Bahar pun adalah bahasa asli bugis. Sehingga, dapat memberikan keunikan tersendiri dan dapat membuat kita tidak akan lupa dengan bahasa asli kita, walaupun dengan digunakannya bahasa bugis asli dapat membuat para generasi muda belajar dan termotivasi untuk lebih mendalami bahasa ini. Namun, bahasa ini juga bisa menjadi kelemahan karna, hanya sebagian kecil masyarakat Pinrang yang mengerti betul bahasa bugis. Jadi, pembaca yang sama sekali tidak mengerti dan memahami bahasa bugis tidak akan tertarik membacanya.
Apalagi di era globalisasi seperti saat ini, posisi bahasa-bahasa daerah sudah semakin menggerut digantikan oleh bahasa-bahasa asing utamanya bahasa inggris. Karena, bahasa asing adalah bahasa yang sudah menguniversal maka, bahasa-bahasa daerah sudah tidak diperhatikan lagi padahal, bahasa-bahasa daerah memilki ciri khas tertentu dan menjadi keunikan daerah daerah tersebut dengan logat yang bisa mengundang tawa.
Di dalam benak penulis pernah terpikirkan kenapa harus bahasa inggris, kenapa bukan bahasa bugis padahal inggris dan bugis sama-sama bahasa tapi mengapa harus inggris. Jika kita ingin mengembangkan dan melestarikan budaya, maka harus dimulai dari yang mendasar, yaitu bahasa. Kita harus membudidayakan bahasa bugis untuk mengembangkan budaya-budaya Pinrang. Mungkin inilah yang coba dilakukan oleh pak Bahar, sehingga bahasa bugis tidak akan hilang dalam kehidupan. Sehingga, walaupun bahasa bugis tidak dianggap di dunia, kita tidak akan lupa bahwa kita hidup, kita menginjakkan kaki di atas tanah bugis.
Para generasi muda juga harus ikut mengapresiasikan karyanya untuk mengharumkan nama Pinrang. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh pak Bahar. Ketika kita membuat sebuah karya sastra yang bertemakan atau mengangkat budaya-budaya ataupun sejarah-sejarah yang ada di Pinrang, bukan hanya dapat memperkenalkan budaya atau sejarah tersebut tetapi juga dapat menyejahterakan masyarakat. Misalnya, ketika kita membuat sebuah KTI (Karya Tulis Ilmiah) yang bertemakan tempat wisata seperti permandian air panas maka, otomatis permandian air panas tersebut akan dikenal oleh manyarakat luar dan akan mendapat bayak pengunjung sehingga pengelola permandian air panas ini akan hidup makmur dan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar permandian dapat berdagang di sekitar permandian. Jadi, marilah lestarikan budaya-budaya yang ada di sekitar karena, ada banyak jalan yang dapat ditempuh untuk melakukannya…
========================================
APRESIASI PUISI DAERAH
Oleh : FINY LISTIANTI S
Dalam dunia kesastraan sebuah tulisan atau karangan yang termasuk ke dalam jenis puisi sudah jarang ditemukan. Masyarakat hanya terfokus dengan tontonan serta membaca sebuah koran berita dan tidak pernah melirik karya sastra puisi. Maka dari itu tulisan yang berjenis puisi akan punah dengan tingkat globalisasi yang semakin modern. Terutama pada puisi yang mengangkat budaya  kearifan lokal daerah. Masyarakat sekarang tidak peduli dengan karya dan kebudayaan daerahnya. Mereka hanya mengikuti arus modernisasi yang berkembang di tengah kalangan masyarakat saat ini.
Bahasa asing (bahasa gaul) yang berkembang bersamaan dengan tingkat globalisasi yang semakin modern dan mendekati kepunahan terhadap bahasa daerah sangat berpengaruh dikalangan remaja saat ini. dengan perilaku mereka yang tidak peduli dengan bahasa daerahnya maka kepunahan akan mendekati bahasa daerah. Sepertinya mereka gengsi (malu) menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa komunikasi antar sesamanya. Serta bukan hanya dikalangan remaja terjadi hal yang mengkhawatirkan tersebut. Dikalangan masyrakat luas pun terjadi hal seperti itu.  
Namun ada seorang guru sastra bahasa Indonesia yang mengangkat sebuah tulisan puisi lokal daerah di tengah merosotnya karya tulis berjenis puisi yang membudidayakan sebuah tulisan mengenai kearifan lokal daerahnya. TO Lengo TO Kipa, puisi yang berlatar belakang daerah pinrang diangkat oleh seorang guru sastra bahasa Indonesia yaitu Baharuddin Iskandar.Dengan diangkatnya puisi daerah ini saya sebagai penulis, baru menyadari sejarah kota kelahiran sendiri.
Melirik sebuah karya tulis daerah jenis puisi yang terlintas dibenak pembaca adalah tanda Tanya besar yang Nampak diatas kepala si pembaca. Mereka juga akan bertanya Tanya dalam hati “apa maksud dari tulisan/puisi ini?” . apalagi masyarakat bugis juga tidak terlalu mengerti dengan bahasa daerahnya sendiri. Di tambah lagi dengan gaya penulisan daerah (lontara) yang kurang dimengerti masyarakat bugis contoh kecilnya saya sendiri selaku penulis asli bugis kurang paham dengan bahasa lontara. Namun dengan munculnya puisi yang bersetting kearifan lokal daerah semoga kalangan masyarakat akan tersadar dengan kebudayaan yang dimiliki daerahnya. 
Puisi To Lengo To Kipa yang diangkat oleh guru bahasa sastra Indonesia ini ialah  mengisahkan zaman kerajaan La Paleteang. Pada zaman ini raja La Paleteang kalah perang dengan raja Gowa. Sehingga, raja di tanah sawitto ini dibawa ke kerajaan gowa untuk ditahan atas perintah raja gowa. Namun diantara beberapa rakyat La Paleteang ada dua lelaki pemberani yang siap membebaskan rajanya. Walaupun nyawa taruhannya mereka berdua siap menumpahkan darahnya demi raja yang sangat mereka hormati. Kedua leleki ini sangat pemberani serta mempunyai semangat yang luar biasa untuk membebaskan rajanya di tangan raja gowa. Kedua lelaki ini bersumpah semangatnya tidak akan turun untuk mengembalika rajanya kembali ke tanah kelahiran.
kedua lelaki pemberani dari tanah Sawitto yang sangat hormat dan menghargai rajanya berkata “Dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata” (darah setetes La Paleteang menjadi air mata). Artinya adalah setetes darah yang keluar dari tubuh La Paleteang akan menghadirkan air mata bagi rakyatnya. Itulah mereka pada zaman itu. Rela berkorban demi rajanya serta hormat dan menghargai pemimpinnya. Perjuangan mereka tidak sia sia dalam membebaskan rajanya dan membuahkan hasil yang mengembirakan rakyat. Raja La Paleteang berhasil dibebaskan oleh kedua lelaki yaitu To Lengo To Kipa. Namun, sesampai di tanah kelahiran raja La Paleteang tidak menyangka kerajaannya kini berubah dari nama “pinra” menjadi “pinrang”. Itulah nama daerah La Paleteang hingga saat ini.
==================================
Nilai-nilai Kearifan Lokal
Oleh: ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,
Walaupun bahasa daerah (lontara) yang digunakan dalam puisi lokal daerah ini yang cukup membuat pembaca bingung dan kurang mengetahui arti dari kata tersebut. Tetapi, bapak Baharuddin Iskandar dapat memberikan nilai nilai kearifan lokal daerah bugis yang dapat di petik maknanya.
Pertama mangittu  aro na kennai sussa wanuaku (pedih dada terkena susah tanah kelahiranku) artinya rakyat sawitto hatinya begitu pedih karena tanah kelahiran mereka terkena musibah. Namun rakyat sawitto tidak pernah putus asa mereka tetap semangat menghadapi musibah tanah mereka.
Selanjutnya, dua lelaki pemberani dari tanah sawitto mempunyai semangat yang luar biasa. Mereka bersumpah akan membebaskan penderitaan rajanya di tangan raja gowa dan membawanya kembali ke tanah kelahiran. Sumpah itu mereka katakan sebelum mereka berangkat ke tanah gowa. “iyana To Lengo To Kipa dara sitetti la paleteang mencaji wae mata mauso tappi’ku, sanresenggi tassibeleang matareng atikku makaddo risaliweng lino sompa nawa nawa siruntu tana tudangeng ku. (saya to lengo to kipa darah setetes la paleteang menjadi air mata. Tajam hatiku bersandar dalam keberanian tajam hati keras hingga luar bumi. Sumpah batin bertemu kembali dengan tanah kelahiran). Artinya mereka sangat ingin rajanya bebaskan berjanji akan membebaskan rajanya dari penderitaannya di gowa.
Nilai yang sangat baik yang dapat dipetik maknanya yaitu dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata (darah setetes la paleteang manjadi air mata). Artinya setetes darah dari La Paleteang akan menghadirkan air mata bagi seluruh rakyatnya. Makna ini sangat penting ditanamkan dalam setiap warga negara agar mereka dapat menghargai pemimpinnya dan rela berkorban demi pemimpinnya.
Bayangkan apabila seorang pemimpin akan jujur dan bijak pasti apa yang terjadi dengan rakyatnya ?
Yah tentu memiliki pemimpin yang jujur dan bijak pastilah rakyatnya akan patuh dan menghormatinya. Oleh karena itu kita sebagai rakyat harus menghormati pemimpin kita dan tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan daerah kita utamanya bahasa daerah(lontara).
==================================
Mengulas Puisi To Lengo To Kipa                                                                
Oleh: Andhyka Saputra
        Bahasa dan sastra lokal merupakan bahasa yang sering di pakai masyarakat sedangkan puisi adalah seni tertulis di mana bahasa yang digunakan mengandung ciri semantik. Puisi juga terbagi dua, yaitu: puisi lama dan puisi baru. Baris-baris pada puisi. Hal ini merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan isi pemikirannnya. Puisi menjadi salah satu kreativitas yang dituangkan sebagai wujud dari imajinasi seseorang. Kinesik, kejelasan artikulasi juga menambah penjiwaan yang maksimal untuk membaca puisi. Kebanyakan penyair yang aktif sekarang baik pemula ataupun bukan, lebih mementingkan gaya bahasanya dan bukan makna pokok yang terkandung dalam puisi tersebut. Sehingga menghilangkan asal usul puisi daerah tersebut.
        
         Puisi  merupakan  salah satu curahan hati seseorang, yang mampu membawa orang lain masuk ke dalam suasana hatinya.seseorang yang membaca puisi harus mengerti bagaimana cara membaca puisi itu dengan baik.ada beberapa hal yang harus di perhatikan dalam membaca puisi. yaitu cara membaca puisi, penekanan suara dan kesesuaian mimik wajah.sehingga puisi jadi lebih menarik di baca dan dipertontonkan kepada warga masyarakat.biasanya puisi berisi satu suku kata yang terus menerus di ulang. sehingga puisi tersebut mungkin dapat membuat pembaca jadi kurang mengerti atau sama sekali tidak mengerti apa arti puisi yang dia baca. walaupun begitu,penulis tetap mengerti dengan apa yang dia tulis atau apa puisi yang dia ciptakan .

    Puisi yang di latar belakangi oleh bahasa daerah atau bahasa lokal mungkin tidak memampu menarik perhatian seseorang untuk membacanya jika puisi tersebut di publikasikan. Mengapa demikian, karena masyarakat sekarang ini banyak yang tidak mengerti bahasa daerah di karenakan kemajuan era globalisasi sekarang ini yang hanya menggunakan bahasa indonesia dan bahasa inggris(di kalangan remaja).kemajuan era globalisasi ini mengakibatkan bahasa daerah atau bahasa dulu sudah hampir semua orang tidak menggunakannya lagi.sebaiknya dalam membuat puisi di masa sekarang ini menggunakan bahasa nasional bahasa kita sehari-hari.      

     Seorang guru SMA Negeri 1 Pinrang. beranama Baharuddin iskandar  telah membuat atau telah menghadirkan sebuah puisi,dengan menggunakan bahasa daerah atau bahasa bugis yang berjudul’’ TO LENGO TO KIPA’’ .mungkin guru tersebut lebih baik apabila membuat puisi dengan menggunakan bahasa nasional tetapi pasti ada maksud tertentu sehingga bapak baharuddin iskandar membuat puisi menggunkan bahasa sastra lokal .
    Puisi yang diciptakan seorang guru ini sangat menarik apabila di mengerti seperti pada bait yang pertama yaitu,“tettokka ri battara’e/ mi wae mata, mate ele’i addatuangekku/ manggittu aro, i susa i wanuaku". Artinya adalah, 'Saya berdiri di langit/ menetes air mata,  Rajaku meninggal di pagi hari/ Pedih dada, ditimpa susah tanah kelahiranku. Pada bait pertama ini, kesan yang ditunjukkan seorang guru ini adalah tangisan jiwa penulis yang mewakili seluruh masyarakat bugis membawa kita untuk masuk kedalam dan ikut merasakan betapa sedihnya mereka saat ditinggalkan oleh rajanya pada waktu itu. Termasuk: “Iyana to Lengo....Iyana to Kipa...../Dara sitetti La Paleteang mancaji wae mata/ Mauso tappi'ku, sanresengngi tasibeleang/ Matareng attiku, makkado ri saliweng lino/ Mappasau aro loppo”. Artinya adalah, Saya To Lengo...Saya To Kipa/ Setetes darah La Paleteang menjadi air mata/ Tajam badikku, keras hingga keluar bumi/ Kekarlah dada ini. Panutupan yang indah untuk puisi yang merujuk ke cerita tentang dua orang pejuang yang berbakti kepada rajanya , membuat kita menghembuskan nafas lega setelah membacanya. Membacanya dari awal hingga akhir puisi ini sangat menarik.
      Puisi memang bagus apabila menggunakan bahasa daerah mengapa? Sebab puisi yang diciptakan dalam bahasa daerah itu bisa meninggkatkan bahasa budaya kita yang dulu, saya sangat kagum kepada guru SMA Negeri 1 Pinrang  karena ia mengggunkan bahasa daerah dalam membuat sebuah puisi mungkin ia tidak ingin apabila bahasa daerah tidak di pakai lagi Karena kemajuan era globalisasi ini yang berkambang.
        Puisi ini dibuat untuk ulang tahun Pinrang. Dengan mengikuti kisah tentang dua orang pejuang tanah sawitto. Mereka bernama To Lengo dan To Kipa. Mereka berdua pergi untuk menyelamatkan raja mereka yaitu Raja La Paleteang yang diculik di kerajaan Gowa. Saat mereka berhasil masuk ke ruang tahanan, mereka menemukan rajanya, yaitu La Paleteang. Namun, To Lengo dan To Kipa sangat terkejut melihat rajanya bertubuh kurus kering. Tanpa berpikir panjang lagi, To Lengo dan To Kipa segera membopong rajanya pergi keluar tahanan dan membawanya kabur menggunakan perahu. Namun, aksi mereka diketahui. Sehingga, para prajurit kerajaan Gowa mengejarnya menggunakan perahu. Tetapi, usaha prajurit tersebut telah gagal. Karena sebelum menyelamatkan rajanya, To Lengo dan To Kipa telah melubangi semua perahu para prajurit tersebut. Jadi, akhirnya mereka berhasil membawa pulang kembali rajanya ke tanah sawitto.
          Ketika Raja La Paleteang tiba di kampung asalnya ia berkata, "Pinra, pinra, tongeng ni wanuaku".artinya, kasihanilah batinku. Dari kata pinra-pinra inilah menjadi kata pinrang.Kota pinrang  terdapat sebuah gunung yang sangat tinggi.akhirnya Gunung itu di beri nama gunung paleteang agar mengingat masa-masa raja la paleteang.begitulah isi puisi yang di ciptakan oleh bapak Baharuddin Iskandar yang sangat menarik apa bila di baca dan di pahami.jadi kita harus meningkatkan bahasa budaya kita agar dapat di mengerti oleh semua masyarakat. Tetapi sebaiknya bapak baharuddin iskandar membuat puisi dengan menggunakan bahasa nasional sehingga membuat para pembaca lebih tertarik dan dia juga akan ikut membuat puisi karena puisi adalah salah satu curahan hati seseorang. 
===============================
Mengulas To Lengo To Kipa
Oleh : Ari Setyawan
Bahasa dan satra indonesia sering waktu berjalan mulai menghilang dari kalangan masyarakat. Perkembangan zaman salah satu  menjadi penyebab utama kemerosotannya. Era Globalisasi seperti sekarang  banyak generasi bangsa yang lebih mementingkan mengetahui perkembangan Negara lain ketimbang Indonesia, tidak sedikit pula kalangan muda tidak suka membaca Novel-novel yang menceritakan sejarah-sejarah bangsa ini, dan lebih menyukai karya-karya dari luar.   
Puisi adalah suku-suku kata sistimatik yang di susun secara bagus dan teratur, dengan arti kata-kata yang indah dan enak di dengar. Puisi bias berawal dari suatu pujian yang ditujukan oleh Objek tertentu atau kisah-kisah yang terkenal di salah satu daerah.
Puisi karya Baharuddin Iskandar menceritakan tentang salah satu kerjaan di Sulawesi-selatan, yaitu  La Paleteang yang diculik oleh tawanan Kerajaan Gowa. Baharuddin dalam konteks daerahnya berusaha memunculkan kembali harta yang tertanam didaerahnya yaitu bahasa dan sastra lokal. Dan cukup pandai dalam memaksa pembaca melahap puisi daerah tersebut meski dengan berbagai kesulitan ejaan serta pembacaan. Kekalahan Kerajaan Sawitto dari Kerajaan Gowa, menyebabkan Raja (addatuang )Lapaleteang ditawan dan dibawa ke Makassar. Oleh Karajaan Sawitto, diutus dua pemberani, bernama To Lengo dan To Kipa. Selama perjalanan itu, kedua pemberani ini dipenuhi rasa sedih, sehingga bersemangat dan menyusun strategi untuk melepaskannya. Darah yang tumpah dari Lapaleteang akan menjadi air mata bagi To Lengo Dan To Kipa To baranina Wanua Sawitto,  perasaan sedih itu menemani mereka di perjalanan, tapi kedua pejuang gagah berani itu tetap terus menanamkan semangat Lasinrang di dadanya, “Aro Malabba Pajjagguru Mallibu”.
Puisi karya Baharuddin IskandarBeliau, sengaja ditulis untuk memeringati Hut Pinrang 19 Februari 2012. Selain untuk memeringati Hut Pinrang, Puisi karya beliau itu juga sengaja di buat untuk memperkenalkan kepada generasi muda Sejarah Kerajaan Sawitto dan awal Nama Pinrang pertamakali disebut. Bahasa Bugis Pinrang terbagi 2, bahasa yang di gunakan pada puisi itu merupakan bahasa bugis Dulu (Riolo), yang sangat lain dengan sekarang. Jujur saat pertama kali membaca puisi itu saya tidak mengerti apa arti dari kata-katanya,. Kalau Saya boleh memberi saran, sebaiknya puisi tersebut diberi terjemahan dalam bahasa Indonesia disamping atau di bawah kata-kata yang kurang di mengerti, agar setiap pembaca dari dalam maupun luar Sulawesi-selatan dapat memahami apa arti isi dari puisi itu.
============================
Mempertahankan dan Mempelajari Budaya Bugis Melalui Sastra Lokal
Oleh: ....................................
Puisi adalah karya sastra yang banyak diciptakan, selain cukup pendek dan mudah, puisi juga dapat bercerita dan menyampaikan perasaan penulis kepada pembaca. Tidak hanya itu, puisi juga dapat mengangkat nama seseorang dan nama daerahnya—bisa memperkenalkan daerahnya.
            Mengingat banyak suku dan ras di Indonesia ini, ternyata menyebabkan berbagai bahasa yang berbeda-beda(bahasa daerah). Akibatnya, bahasa karya sastra di negara ini terpecah belah menjadi 2 yaitu, bahasa Indonesia (bahasa kesatuan) dan bahasa lokal (daerah).
            Umumnya, puisi yang diterbitkan di media massa berbahasa Indonesia. Hal ini dikarenakan, penulis berpikir banyak keunggulan yang bisa diraih jika karya berbahasa Indonesia yakni, puisi mudah dimengerti oleh masyarakat umum dan kemungkinan diterima dimasyarakat juga besar.
            Sebaliknya, puisi dalam bahasa lokal, sangat sedikit ditemukan. Mengapa? Karena pertama, hanya dimengerti oleh daerah tertentu saja. Kedua, bahasa lokal perlahan-lahan ditelan oleh globalisasi yang berpengaruh besar di Indonesia.
Dalam era globalisasi, jelas yang menjadi korban adalah anak-anak generasi muda. Hal ini sulit dilepaskan, karena seseorang selalu ingin berpacu di dunia yang modern dan trend.         Akibatnya, unsur tradisional di negeri ini termasuk bahasa lokal mulai terlupakan.
Padahal, bahasa lokal patut dipertahankan karena bahasa lokal merupakan identitas suatu daerah. Tidak juga hal itu, puisi lokal juga biasanya menceritakan tentang sejarah-sejarah daerah tersebut. Dan juga, salah satu cara mengangkat dan memperkenalkan bahasa lokal daerah yaitu, menuangkannya dalam bentuk karya. Contohnya karya sastra puisi.
Sebenarnya, saya selaku penulis sendiri sulit mengartikan karya sastra puisi bahasa lokal sehingga timbul suatu kemalasan untuk membacanya. Tetapi, lewat puisi Baharuddin Iskandar dengan Judul “To Lengo To Kipa”, saya jadi mengerti tentang sejarah Pinrang. Sungguh menarik sebenarnya sebuah karya lokal.
            Baharuddin Iskandar dalam puisinya “To Lengo To Kipa” menceritakan 2 pemberani kabupaten Pinrang yang diutus untuk menyelamatkan rajanya yang ditahan, La Paleteang. Dalam perjalanan kedua pemberani itu diliputi oleh rasa sedih karena rajanya ditahan, sehingga rasa bersemangat mereka menjadi besar dan segera menyusun strategi untuk melepaskan La Paleteang.
Ketika sampai di Kerajaan Gowa mereka menyamar dan segera melaksanakan strategi yang telah disusun. Saat ingin membawa lari raja Lapaleteang penyamaran mereka terbongkar, mereka lari secepat mungkin ke perahunya dan sigap menuju ke kerajaannya. Namun prajurit  masih memburunya, tetapi ketika prajurit Gowa menaiki perahunya—sampan—perahu mereka tenggelam. Ternyata, kedua pemberani To Lengo dan To Kipa telah membocorkan perahunya sesuai strategi mereka.
Sesampainya di Pinrang, raja La Paleteang berkata “pinra... pinra tongang ni wanuaku” yang artinya berubah betul tanah kelahiranku. Akhirnya daerah itu—kabupaten Pinrang, sekarang—dinamai Pinrang yang artinya ‘sudah berubah’.
            Banyak hal yang disajikan dalam puisi ini. Baharuddin mencoba memulihkan kembali cedera pada kebisuan bahasa lokal bugis di era globalisasi, mulai mengenalkan tokoh-tokoh pahlawan yang berjasa dan kurang dikenal di daerah Pinrang, tetapi yang terpenting adalah pesan yang disampaikan puisi “To Lengo To Kipa” menjadi hal yang harus diperhatikan dan ditanamkan oleh rakyat bugis terutama rakyat Pinrang.
Tettoka ri bittara’e mitti wae mata, mate ele’i addatuangengku, mangittu aro, nakenna’i sussa wanuaku.” Pada bait pertama, Baharuddin Iskandar sebagai seorang penulis  berusaha menyampaikan perasaan rakyat Pinrang yang sangat sedih kehilangan rajanya pada pagi hari yang mengakibatkan tanah kelahiran rakyat Pinrang terkena bencana. Betapa penting peran raja La Paleteang bagi rakyatnya sehingga ketika ia tiada rakyatnya menitikkan air mata. Raja La Paleteang menjadi sosok pemimpin yang dirindukan rakyatnya.
            Baharuddin Iskandar melalui puisinya menganjurkan kita, agar setiap orang Bugis harus berani, punya semangat tinggi, dan bekerja keras seperti To Lengo dan To Kipa pemberani dari Sawitto. Hal ini terbukti pada bait 4 dan 5 “Iyana To Lengo, To barani na wanua Sawitto ...”
            Banyak nilai lokal yang dapat kita tanamkan melalui puisi ini, keberanian yang besar mendarah daging di tanah bugis harus ditumbuhkan lagi. Kalau bukan kita sendiri siapa lagi?
            Oleh karena itu, mari kita mengilhami pesan yang disampaikan puisi lokal “To Lengo To Kipa”. Hanya kita sendiri yang dapat mempertahankan dan mengembangkan adat isti adat Bugis yang telah lama ditelan Globalisasi. Karena urusan mempertahankan budaya orang bugis adalah urusan semua orang bugis.
===================================
Sindiran Budaya Lokal
Oleh : St. Zuhaera Gomez
 Dengan meluasnya zaman modern seperti sekarang ini sangat ditakutkan apabila bahasa dan sastra lokal akan menghilang sedikit demi sedikit. Apalagi masyarakat zaman sekarang sangat kurang yang memiliki minat baca yang tinggi. Mereka hanya memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang dibanding mempertahankan budaya kearifan lokal.
            Selain itu, dengan berkembangnya Era Globalisasi bahasa lokal seperti bahasa bugis (lontarak) sudah asing lagi di telinga, bahkan hampir punah. Karena, istilah bahasa bugis asli hanya dipahami oleh beberapa orang saja. Karena itulah, dibutuhkan usaha yang dapat mengangkat kembali produk – produk lokal.
Namun, salah satu guru SMAN 1 Pinrang mulai mengangkat secara perlahan-lahan melalui sebuah puisi yang berjudul “To Lengo To Kipa”. Sebuah cerita rakyat dengan seting Kabupaten Pinrang. Ia adalah Baharuddin Iskandar dan berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia. Membaca judulnya saja, setiap konsumen akan berfikir dan meninggalkan puisi itu, karena menggunakan bahasa bugis tradisional yang sulit dipahami oleh masyarakat kabupaten Pinrang.
To Lengo To Kipa adalah sebuah puisi yang menceritakan sejarah bumi Lasinrang. Sekitar tahun 1540, kerajaan sawitto yang dipimpin oleh Raja yang bernama La Paleteang menerima kenyataan pahit dengan kekalahan dalam peperangan dengan kerajaan Gowa yang kekuatan prajurit dan perlengkapan perangnya jauh lebih kuat. Selama dalam tahanan Gowa, sang Raja mengalami banyak perubahan karena penderitaan yang dialaminya selama di tahan oleh Kerajaan Gowa. Oleh karena itu, diutus dua tokoh pemberani yang bernama, Iyana To Lengo To barani na wanua Sawitto. Iyana To Kipa To barani e, untuk  menjemput dan  membawa raja La Paleteang dan istrinya kembali ke tanah kelahirannya.
Sekarang ini Kerajaan sawitto yang dipimpin oleh Raja yang bernama Lapaletang menerima kenyataan pahit dengan kekalahan dalam peperangan dengan kerajaan Gowa yang kekuatan perajurit dan perlengkapan perangnya jauh lebih kuat. Dari itulah Sang Raja kemudian menyuruh kepada orang-orang yang ada, agar menamakan tempat tersebut “Pinra”. Informasi lain menyebutkan dahulu wilayah disekitar Kota Pinrang sekarang ini adalah daerah rawa-rawa, sehingga masyarakatnya berpindah-pindah mencari pemukiman agar tidak tergenang air. Kata berpindah-pindah ini dalam bahasa Bugis disebut “Pinra Pinra”.
            Kedua kisah tersebut melahirkan istilah yang sama yaitu “Pinra” yang kemudian dipengaruhi oleh intonasi dan dialog Bahasa Bugis sehingga menjadi “Pinrang”, yang sekarang diabadikan menjadi nama Kabupaten dari bekasi Kerajaan Sawitto masa lalu. Begitulah ringkasan bumi lasinrang atau sejarah bumi Lasinrang pada dahulu.
Suatu sisi dari puisi ini sangat begitu keren, karena bila konsumen membaca puisi ini mungkin tak jarang membuat minat pembaca akan hilang. Saran yang tepat dan mungkin membuat konsumen akan tertarik kembali membacanya, Apabila puisi tersebut setidaknya diberi arti dalam bahasa Indonesia, apalagi bila pembacanya adalah kalangan anak remaja yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak meggunakan bahasa lokal kedaerahannya. para remaja juga akan merasa bahasa yang digunakan pada puisi tersebut sangat kuno, dampak seperti ini sangat cenderung membuat minat remaja membaca dikalangan anak sekolah hilang dan remaja tidak akan membacanya walaupun hanya singkat.
Meskipun pembaca dibingungkan dengan bahasa yang dilontarkan, pak Baharuddin mencoba menyisipkan nilai-nilai kearfian lokal Bugis dalam puisinya. Tidak hanya memunculkan salah satu ciri kedaerahannya yaitu Bahasa Bugis. Iyana To Lengo...Iyana To Kipa/ Dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata/ Mauso tappi’ku, sanresengngi tassibeleang/ Matareng attiku, makkkado ri saliweng lino/ Mappasau aro loppo. Nilai-nilai kearifan lokal pada puisi tersebut sangat melambangkan identitas kedaerahan Bugis Asli yang nyata. Akan lebih baik jika penulis memberikan sedikit penjelasan mengenai arti dari puisi tersebut.  Oleh karena itu, mari kita memetik kearifan lokal yang disuguhkan oleh puisi pak Baharuddin Iskandar. Begitu banyak makna yang bisa kita dapat dari puisi yang berlatar belakang kedaerahan ini. Menjadi seorang pemimpin tidaklah begitu mudah, banyak langkah-langkah yang harus kita lalui untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang Berwibawa dan tidak menyesal dikemudian harinya.
=================================
Ancaman Daerah Lokal
Oleh : Nurul Harna
Bahasa dan sastra lokal menjadi sebuah kepentingan dan kecenderungan setiap daerah. Sebuah kekhawatiran yang berdampak punah bagi sastra lokal. Oleh karena itu, Di dunia bahasa dan sastra lokal harus membutuhkan hal-hal dengan langkah-langkah yang sangat pasti. Meskipun tak dijamin semuanya akan berjalan dengan baik sesuai pemakaian bahasa dan produk-produk dapat menarik perhatian setiap konsumen.
Di Era Globalisasi sekarang ini yang paling marak dalam bahasa dan sastra lokal adalah munculnya puisi-puisi yang berlatar kedaerahan, salah satunya adalah puisi yang berjudul “To Lengo To Kipa”. Namun itu semua tidak akan dijamin bahwa produk dan pemakaian bahasa akan menarik minat atau menarik perhatian masyarakat (Konsumen) sehingga bisa mendapatkan keuntungan yang banyak.
To Lengo To Kipa adalah sebuah cerita rakyat berlokal setting Kabupaten Pinrang Selawesi Selatan. Ditulis oleh guru bahasa indonesia SMA Negeri 1 Pinrang, Baharuddin Iskandar. Membaca judulnya setiap konsumen akan berfikir dan akan meninggalkan puisi itu karena, menggunakan istilah bahasa Bugis Asli yang hanya dipahami oleh sebagian kecil pembacanya. “Apa sich arti dari bahasa puisi ini ?”. Ya, mungkin hampir semua konsumen akan menanyakan hal seperti ini, karena semua isi dari puisi ini berbahasa Lokal Bugis.
Beberapa masyarakat kota Pinrang tak betul memahami apa arti dari tulisan tersebut. Di ikuti dengan berkembangnya Globalisasi banyak ditemukan kosa kata baru alias bahasa Gaul yang digunakan, terutama di kalangan remaja. Sehingga bahasa lokal seperti bahasa bugis (lontarak) sudah asing lagi ditelinga, bahkan hampir punah.
Dalam puisi ini mengisahkan cerita tentang sejarah Tanah Sawitto. Sedikit alkisah tentang sejarah bumi Lasinrang. Sekitar tahun 1540, Puisi To Lengo To Kipa mengisahkan cerita tentang seorang raja yang bernama La Paleteang meninggalkan daerah kelahirannya Mitti wae mata, karena ditawan oleh kerajaan Gowa bersama permaisurihnya, Setelah mendengar informasi La Paleteang, datanglah dua orang pemberani yang bernama Iyana To Lengo To barani na wanua Sawitto. Iyana To Kipa To barani e, untuk  menjemput dan  membawa raja La Paleteang dan istrinya kembali ketanah kelahirannya.
Sekarang ini Kerajaan sawitto yang dipimpin oleh Raja yang bernama Lapaletang menerima kenyataan pahit dengan kekalahan dalam peperangan dengan kerajaan Gowa yang kekuatan perajurit dan perlengkapan perangnya jauh lebih kuat. Dari itulah Sang Raja kemudian menyuruh kepada orang-orang yang ada, agar menamakan tempat tersebut “Pinra”. Informasi lain menyebutkan dahulu wilayah disekitar Kota Pinrang sekarang ini adalah daerah rawa-rawa, sehingga masyarakatnya berpindah-pindah mencari pemukiman agar tidak tergenang air. Kata berpindah-pindah ini dalam bahasa Bugis disebut “Pinra Pinra”.
            Kedua kisah tersebut melahirkan istilah yang sama yaitu “Pinra” yang kemudian dipengaruhi oleh intonasi dan dialog Bahasa Bugis sehingga menjadi “Pinrang”, yang sekarang diabadikan menjadi nama Kabupaten dari bekasi Keraja Sawitto masa lalu. Begitulah ringkasan bumi lasinrang atau sejarah bumi lasinrang pada dahulu.
Suatu sisi dari puisi ini sangat begitu keren, karena bila konsumen membaca puisi ini mungkin tak jarang membuat minat pembaca akan hilang, Saran yang tepat dan mungkin membuat konsumen akan tertarik kembali membacanya, bila puisi tersebut setidaknya diberi arti dalam bahasa Indonesia, apalagi bila pembacanya adalah kalangan anak remaja yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak meggunakan bahasa lokal kedaerahannya, dan para remaja juga akan merasa bahasa yang digunakan pada puisi tersebut sangat kuno, dampak seperti ini sangat cenderung membuat minat remaja membaca dikalangan anak sekolah hilang dan remaja tidak akan membacanya walaupun hanya singkat.
nilai-nilai kearifan lokal pada puisi tersebut sangat  melambangkan identitas kedaerahan Bugis Asli yang nyata. Bila, akan lebih baik jika sipenulis sedikit memberikan penjelasan mengenai arti dari puisi tersebut.
Bayangkan,  apa yang akan terjadi jika kalangan anak remaja menjadi tidak mengenal dan tidak mengetahui bahasa kedaerahannya ??
Maka dari itulah, Mari kita memetik dan menarik hikmah dari kearifan lokal bugis melalui puisi To Lengo To Kipa ini, agar dapat mengembangkan dan tidak melupakan sejarah kedaerahan ataupun kebudayaan daerah bahasa dan sastra lokal.
Begitu banyak makna yang bisa kita dapat dari puisi yang berlatar belakang kedaerahan ini. Menjadi seorang pemimpin tidaklah begitu mudah, banyak langkah-langkah yang harus kita lalui untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang Berwibawa dan tidak menyesal dikemudian harinya.
========================

Cinta Budaya Lokal
Oleh: Febrianti Ramadhani
Dalam dunia Bahasa dan Sastra Lokal telah menjadi keunikan tersendiri di setiap daerah. Hampir di setiap daerah mempunyai cerita tersendiri tentang daerahnya. Di Era Globalisasi yang semakin modern sangat berperan penting dalam proses kepunahan budaya lokal. Oleh karena itu, banyak langkah-langkah untuk menjaga dan membudidayakan suatu hasil daerah. Tapi tak dijamin setiap penggunaan bahasa dan apresiasi sastra akan mendapatkan perhatian yang sangat besar oleh masyarakat. Di Era Globalisasi sekarang ini yang paling marak dalam bahasa dan sastra lokal adalah munculnya puisi-puisi yang berlatar kedaerahan, salah satunya adalah puisi yang berjudul “To Lengo To Kipa”.
            “To Lengo To Kipa” adalah sebuah puisi yang berlatar belakang bugis lokal yang muncul di Kabupaten Pinrang,Sulawesi Selatan. Ditulis oleh seorang guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Pinrang, Baharuddin Iskandar. Dengan membaca judulnya, di benak pembaca akan muncul pertanyaan, “Apakah arti dari tulisan tersebut?”.
Sebagian besar masyarakat kota Pinrang tak betul memahami apa arti dari tulisan tersebut. Di ikuti dengan berkembangnya Globalisasi banyak ditemukan kosa kata baru alias bahasa Gaul yang digunakan, terutama di kalangan remaja. Sehingga bahasa lokal seperti bahasa bugis (lontarak) sudah asing lagi ditelinga, bahkan hampir punah.
Dalam puisi ini mengisahkan cerita tentang sejarah Tanah Sawitto. Sedikit alkisah tentang sejarah bumi Lasinrang. Sekitar tahun 1540, kerajaan sawitto yang dipimpin oleh Raja yang bernama Lapaletang menerima kenyataan pahit dengan kekalahan dalam peperangan dengan kerajaan Gowa yang kekuatan prajurit dan perlengkapan perangnya jauh lebih kuat. Ada dua orang prajurit pemberani yang diutus untuk membebaskan Raja Paleteang dan Permaisurinya tanpa ada pertumpahan darah. Selama dalam tahanan Gowa, sang Raja mengalami banyak perubahan karena penderitaan yang dialaminya selama di tahan oleh Kerajaan Gowa. Sepulang dari Gowa, rakyat Lapaleteng memandang Rajanya dengan hati sedih melihat perubahan tersebut. Sambil berkata “ Pinra Kanani Tappana Addatungatta Pole ri Gowa” artinya, “Wajah Addatuang (Raja) mengalami banyak perubahan setelah kembali dari Gowa”. Sang Raja kemudian berkata kepada rakyatnya agar menamakan tempat tersebut “Pinra”. Ada yang mengatakan dahulu wilayah disekitar Kota Pinrang sekarang ini adalah daerah rawa-rawa, sehingga masyarakatnya berpindah-pindah mencari pemukiman agar tidak tergenang air. Kata berpindah-pindah ini dalam bahasa Bugis disebut “Pinra-Pinra”. Dari istilah yang muncul yakni “Pinra” yang kemudian dipengaruhi oleh intonasi Bahasa Bugis sehingga menjadi “Pinrang”, yang sekarang diabadikan menjadi nama Kabupaten dari bekas Kerajaan Sawitto. Itulah sekilas sejarah tentang Bumi Lasinrang.
Meskipun pembaca dibingungkan dengan bahasa yang dilontarkan, pak Baharuddin mencoba menyisipkan nilai-nilai kearfian lokal Bugis dalam puisinya. Tidak hanya memunculkan salah satu ciri kedaerahannya yaitu Bahasa Bugis. Iyana To Lengo...Iyana To Kipa/Dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata/Mauso tappi’ku, sanresengngi tassibeleang/ Matareng attiku, makkkado ri saliweng lino Mappasau aro loppo. Sungguh banyak makna yang dapat dipetik dari rangkaian puisi ini. Lirik demi lirik menggambarkan sebuah perjuangan seorang prajurit yang rela berkorban demi seorang Rajanya. “Tajam badikku, bersandar dalam keberanian. Tajam hati, keras dihingga luar bumi. Dada sungguh kekar”. Tokoh seorang pemberani sawitto To Lengo dan To Kipa yang mendapat tugas membebaskan sang Raja Lapaleteang bersama permaisurinya, tanpa adanya pertumpuhan darah para prajurit pemberani itu pulang dengan selamat membawa sang Raja.
            Kurru sumange.... /Pinra...pinra kanani, adatuange’ta/ Kurru suamnge.../ Pinra...Pinra togenni, mabbolasilellang La Paleteang./ selanjutnya, pak Baharuddin merangkai sebuah kata menjadi kosa kata yang membuat para pembaca semakin dan semakin tertarik dengan membaca isi puisi tersebut. ‘Kasihanilah batinku, sungguh berubah Lapaleteang berumah sendiri”. Saat Lapaleteang lepas dari Kerajaan Gowa banyak perubahan yang terjadi, sehingga membuat rakyatnya menjadi sedih “Kurru Sumange” sebuah kata yang dapat membuat rasa sedih berkurang. Bayangkanlah, apa yang akan terjadi jika seorang pemimpin hanya memikirkan dirinya sendiri,tak peduli dengan rakyatnya. Tanpa adanya Kejujuran dan Keberanian tetapi tidak teguh dalam pendirian?
Oleh karena itu, mari kita memetik kearifan lokal yang disuguhkan oleh puisi pak Baharuddin Iskandar. Begitu banyak makna yang bisa kita dapat dari puisi yang berlatar belakang kedaerahan ini. Menjadi seorang pemimpin tidaklah begitu mudah, banyak langkah-langkah yang harus kita lalui untuk bisa menjadi seorang pemimpin yang Berwibawa dan tidak menyesal dikemudian harinya.
==========================
MENCUBIT PUISI TO LENGO TO KIPA
Oleh : Nurmiah.M
Puisi adalah seni tertulis di mana bahasa yang digunakan mengandung ciri semantik. Puisi juga terbagi dua, yaitu: puisi lama dan puisi baru. Baris-baris pada puisi memiliki berbagai macam bentuk (melingkar, kotak, zigzag dan lain-lain). Hal ini merupakan salah satu cara penulis untuk menunjukkan isi pemikirannnya. Puisi menjadi salah satu kreativitas yang dituangkan sebagai wujud dari imajinasi seseorang. Kinesik, kejelasan artikulasi juga menambah penjiwaan yang maksimal untuk membaca puisi. Kebanyakan penyair yang aktif sekarang baik pemula ataupun bukan, lebih mementingkan gaya bahasanya dan bukan makna pokok yang terkandung dalam puisi tersebut. Sehingga menghilangkan asal usul puisi daerah tersebut.
Puisi merupakan curahan hati seseorang, yang mampu membawa orang lain masuk ke dalam suasana hatinya. Pada pembacaan puisi, adanya penekanan suara dan kesesuaian mimik wajah, sangat diperhatikan. Sehingga, puisi jadi lebih menarik pada saat dibaca.  Biasanya, puisi berisi satu suku kata yang terus-menerus diulang-ulang. Sehingga, puisi tersebut mungkin dapat membuat pembaca jadi kurang atau sama sekali tidak mengerti. Walaupun begitu, penulis tetap mengerti apa yang telah ia ciptakan.
Dewasa ini, adanya puisi yang di latarbelakangi oleh bahasa daerah mungkin tak mampu menyita perhatian khalayak pembaca, jika puisi tersebut dipublikasikan. Bahkan, walaupun puisi ini hanya tersebar murni di daerahnya, belum tentu para pembaca yang ada di sana bisa membaca dan mengerti makna dari puisi tersebut. Mengapa ini bisa terjadi? Karena, adanya kebiasaan meniru bahasa (Nasional) melalui media televisi, radio, sampai ke media cetak. Hal ini, membuat ciri khas suatu bahasa daerah tertentu telah bergeser dari jalurnya. Sehingga kebiasaan ini, membuat bahasa yang digunakan sehari-hari juga berubah dan telah melekat. Akibatnya, ketidakmengertian akan bahasa daerah sulit untuk dihilangkan. Akan tetapi, bahasa(Nasional) juga tidak dapat disalahkan, karena sangat menguntungkan bagi penggunanya. Selain itu, bahasa juga telah berevolusi karena sejalan dengan pergeseran masa dan pertukaran waktu.
Seorang guru SMA Negeri 1 Pinrang, bernama Baharuddin Iskandar yang berprofesi sebagai guru bahasa Indonesia, telah menghadirkan sesosok puisi berbahasa Bugis yang mampu menggugah hati untuk ikut merasakan keadaan hatinya pada puisinya yang berjudul "To Lengo To Kipa".
Puisi ini dibuat oleh Baharuddin Iskandar untuk dihadiahkan kepada kota Pinrang yang baru saja ini berulang tahun. Sebuah bukti nyata yang mengungkap sejarah kota Pinrang. Puisi “To Lengo dan To Kipa” ini, menyeret kita kembali ke masa lalu.
Saya merasa kagum membaca apa yang tertera pada bait pertama dan sekaligus pada kedua bait terakhir: “Tettoka ri bittara'e/ Mitti wae mata, mate ele'i addatuangekku/ Mangittu aro, nakenna, i sussa wanuaku”. Artinya adalah, 'Saya berdiri di langit/ menetes air mata,  Rajaku meninggal di pagi hari/ Pedih dada, ditimpa susah tanah kelahiranku’. Pada bait pertama ini, kesan yang ditunjukkan adalah rintihan tangisan jiwa si penulis yang mewakili seluruh masyarakat Bugis membawa kita untuk masuk ke dalam dan ikut merasakan betapa sedihnya mereka saat ditinggalkan oleh Rajanya. Termasuk: “Iyana to Lengo....Iyana to Kipa...../Dara sitetti La Paleteang mancaji wae mata/ Mauso tappi'ku, sanresengngi tasibeleang/ Matareng attiku, makkado ri saliweng lino/ Mappasau aro loppo”. Artinya adalah, ‘Saya To Lengo...Saya To Kipa/ Setetes darah La Paleteang menjadi air mata/ Tajam badikku, keras hingga keluar bumi/ Kekarlah dada ini’. Dan termasuk bait terakhir. “Kunru sumange’/ Pinra..pinra kanani addatuangrtta’/ Kurru sumange’/ Pinra…pinra tongenni mabbolasilelang La Paleteang”. Artinya: ‘Kasihanilah batin ini/ Rajaku sungguh berubah/ Kasihanilah batin ini/ Sungguh berubah, La Paleteang berumah sendiri’. Penutupan yang indah untuk puisi yang merujuk ke cerita tentang dua orang pejuang, membuat kita menghembuskan nafas lega setelah membacanya. Membacanya dari awal, mampu menyeret kita untuk ke bait terakhir.
Puisi ini dibuat untuk ulang tahun Pinrang. Dengan alur yang mengikuti kisah tentang dua orang pejuang Tanah Sawitto. Mereka bernama To Lengo dan To Kipa. Mereka berdua pergi untuk menyelamatkan raja mereka yaitu La Paleteang yang diculik di kerajaan Gowa. Saat mereka berhasil masuk ke ruang tahananan, mereka menemukan rajanya, yaitu La Paleteang. Namun, To Lengo dan To Kipa sangat terkejut melihat rajanya bertubuh kurus kering. Tanpa berpikir panjang lagi, To Lengo dan To Kipa segera membopong rajanya pergi keluar tahanan dan membawanya kabur menggunakan perahu. Namun, aksi mereka diketahui. Sehingga, para prajurit kerajaan Gowa mengejarnya menggunakan perahu. Tetapi, usaha prajurit tersebut telah gagal. Karena sebelum menyelamatkan rajanya, To Lengo dan To Kipa telah melubangi semua perahu para prajurit tersebut. Jadi, akhirnya mereka berhasil membawa pulang kembali rajanya ke Tanah Sawitto.
Ketika mereka bertiga berhasil sampai ke Tanah Sawitto, La Paleteang mengatakan: "Pinra, pinra, tongeng ni wanuaku". Dari kata "Pinra"-lah menjadi kata Pinrang. Di kota Pinrang terdapat gunung yang amat besar dan diberi nama Gunung Paleteang guna untuk mengingat raja Tanah Sawitto. Itulah sejarah awal mula terjadinya kota Pinrang.
Di Pinrang, mungkin hanya segelintir orang yang mengetahui awal mula terjadinya kota Pinrang. Dengan adanya puisi "To Lengo To Kipa" ini, kita mengetahui bahwa tanah yang sekarang kita nikmati ini adalah tanah di mana mereka dulunya berjuang untuk mempertahankannya.
Puisi "To Lengo To Kipa" sebenarnya kurang diminati oleh khalayak masyarakat. Karena puisi ini memeliki gaya bahasa yang sukar dimengerti oleh anak-anak muda, tetapi bukan berarti puisi daerah harus menggunakan bahasa yang sering kita sebut sebagai bahasa 'gaul'. Bagaimana kalau pemecahannya seperti ini: ada baiknya, jika puisi daerah ditulis oleh bahasa daerah itu sendiri. Namun, puisi tersebut harus disertai dengan arti dalam bahasa Indonesia jika ingin dipublikasikan. Jadi, ini seperti si penulis menciptakan puisi daerah dalam dua bahasa dan tetap tidak meningalkan ciri kekhasan daerah tersebut. Terutama pada zaman sekarang, sangat kurang penulis puisi yang menulis tentang asal mula kejadian daerahnya.
================================       
Menguak Butir-butir Kearifan Puisi “TO LENGO TO KIPA”
Oleh : Nur.Rahma

Bahasa dan sastra lokal sastra merupakan salah satu identitas daerah yang sangat penting. Mengapa penting? Karakter-karakter budaya yang terkandung di suatu daerah terwakili dari bahasa daan sastra lokal tersebut. Namun, globalisasi yang menghatam di segala sendi kebahasaan dan kesastraaan daerah sehingga melengserkan, bisa pula meminggirkan potensi penting tersebut.
Kemerosotan bahasa dan sastra lokal menjadi masalah besar yang muncul di tengah maraknya gloalisasi yang ‘trendi’. Kemerosotan ini disebabkan masyarakat lokal takut dikatakan ‘primitif’ atau manusia ketinggalan zaman dan kuno. Ketakutan inilah yang memunculkan gengsi up to high bagi kalangan masyarakat .
Padahal,  jika masyarakat (baca: generasi muda) bisa mengangkat salah satu kekayaan bahasa dan sastra daerahnya, menjadi salah satu point penting dalam menghargai atau melestarikan apa yang menjadi peradaban tinggi daerahnya.
Hal di atas yang menjadikan saya selaku penulis seperti tersihir untuk mengangkat nilai-nilai bahasa. Salah satu puisi yang mencoba memaknai kehidupan masa lalu “To Lengo To Kipa” yang pernah dimuat di Fajar, edisi Minggu, 19 Februari 2012. Puisi yang ditulis oleh Baharuddin Iskandar, yaitu seorang guru bahasa dan sastra Indonesia ini,
Puisi To lengo To kipa mengarahkan kita sebagai pembaca bagaimana awal mula perjuangan seorang dua pemuda sawitto yang merasa teriris hatinya (=mang’ngittu aro) setelah diculiknya adattuang (seorang raja) Kerajaan Sawitto. Kedua pemuda itu didera (=nakennai sussa wanuaku). Melalui bait pertama, Baharuddin berusaha menyuguhkan haru. Hal ini diteruskan pada bait berikut: Mitti wae mata, mate ele’i addatuangengku Mangittu aro, nakenai sussa wanuaku” atau mengalir air mataku rajaku yang telah pergi membuat keresahan di daerahku.

Kearifan Lokal
Meskipun pembaca sangat dibingungkan dalam bahasa ejaan dan penyebutannya yang rumit serta tidak adanya arti dalam bahasa Indonesia yang diikutkan sang penulis, membuat pembaca sedikit terganggu..namun disisi lain, baharuddin selaku penulis berhasil menyelipkan kearifan-kearifan yang dapat ditransmisikan dalam bentuk sisi-sisi amanat kepada pembaca dengan khas bahasa daerahnya.

“Dara sitetti La Paleteang mencaji wae mata …. Mauso tappi’ku, sanresengngi tassibeleang ….. Matareng attiku, makkkado ri saliweng lino …. Mappasau aro loppo….”
Dara sitetti mencaji wae mata atau setetes darah menjadikan seurai air mata yang menunjukkan karakter penting masyarakat bugis (sawitto) dahulu, bahwasanya mereka begitu menghargai seorang “addatuangenna” atau rajanya. Yang membuktikan hal itu, telah munculnya tokoh masyarakat muda pemberani yang rela mempertaruhkan nyawanya demi seorang La Paleteang “addatuang’nge”. Tudanganga ri ati macinnong. … Luttu masuwaja sumangeku …Mappettu oli koli’e …Tudanga ri ati macinnong sebuah ungkapan yang mengkiaskan rasa ketulusan hati atau hati yang jernih nan ikhlas akan tetap menjadi basis penyemangat hati bagi masyarakat bugis (sawitto) meskipun “wanua’na” atau tanah kelahiran mereka telah kehilangan “addatuangeng”. Selanjutnya tudanga ri ati macinnong tampak terlihat jelas pada perjuangan TO LENGO TO KIPA ini, bahwa mereka menyelamatkan La Paleteang bukan karena ingin berdiri disinggasana pamrih, tetapi karena adanya biasan cahaya ikhlas yang benderang dari sanubari masing-masing pemuda itu. serta dua pemuda itu melakukannya semata-mata karena masyarakat sawitto begitu pilu setelah diculiknya sang raja, serta mereka begitu menjaga dan melindungi juga menjunjung tinggi bagaimana mereka begitu menghargai seorang addattuangeng pada saat itu.
     
       Dalam konteks kearifan tersebut sekali lagi, baharuddin selaku penulis begitu bijak karena menyuguhkan kembali amanah tersirat yang tercermin dari puisi tersebut. Hal ini dibuktikan bahwasanya La Paleteang tidak akan begitu diagung-agungkan oleh rakyatnya jika ia tidak memimpin kerajaannya dengan baik. Misalnya saja Kurru sumange....Pinra...pinra kanani,adatuange’ta.. Kurru suamnge...Pinra...Pinra togenni, mabbolasilellang La Paleteang yang mengkiaskan bahwa kasihanilah batinku sungguh berubah rajaku, kasihanilah batinku sungguh berubah La Paleteang berumah sendiri. Dengan syair itu telah membuktikan bahwa bagaimana gambaran perasaan masyarakat bugis (sawitto) yang hujam kehilangan.

       Melalui puisi To Lengo To kipa ini pembaca dapat mengidentifikasi dan dengan spontan menebak bahwa dahulu kerajaan sawitto dibawah naungan addatuang La Paleteang pasti begitu adil ,rendah hati, bijaksana dll, karena dibuktikan dengan kerajaan sawitto begitu kehilangan serangkai dengan diculiknya sang raja La Paleteang. Dengan melihat kejadian diatas, dibuktikan bahwa perlu diketahui menjadi pemimpin perlu adanya koneksi yang erat antara raja dengan rakyat-rakyatnya. Ada 3 hal penting yang menjadi basis kekerabatan tertinggi di bugis :  1.sipaka gau’ki padatta, 2. sipuragaki padatta, 3.sipakamaseki padatta. Ketiga ungkapan tersebut, telah menjadi peradaban yang sudah menjadi homogen dalam proses saling menghargai masyarakat bugis (sawitto). Oleh karena itu, marilah kita menarik nilai kearifan yang terkandung dalam puisi TO LENGO TO KIPA. Tudanganga ri ati macinnong Luttu masuwaja sumangeku. Tetaplah duduk di hati paling bersih dengan menerbangkan bebas semangat .
==========================
Mengotak-atik Puisi To Lengo To Kipa
Oleh : St.Nurfitrah Usman Basa
Dalam dunia bahasa dan sastra lokal  sekarang ini  menjadi sebuah perbincangan dan permasalahan dikalangan lokal sendiri, sebab dikhawatiran akan menjadi tidak dikenal lagi oleh masyarakat. Erah yang terus-menerus berkembang menjadi salah satu masalah menuju proses kepunahan . karena itu dibutuhkan cara-cara untuk mengatasinya agar produk-produk lokal bisa terangkat kembali.Namun itu semua tidak akan dijamin bahwa produk dan pemakaian bahasa akan menarik minat atau menarik perhatian masyarakat (Konsumen) sehingga bisa mendapatkan keuntungan yang banyak. Seperti halnya dizaman sekarang ini masih marak  munculnya puisi-puisi berlatar kedaerahan dan bahasa lokal yaitu, To Lengo To Kipa.
         To Lengo To Kipa adalah sebuah puisi yang berlokal setting Kabupaten Pinrang Sulawesi selatan. Ditulis oleh seorang guru bahasa Indonesia SMA Negeri 1 Pinrang, Baharuddin Iskandar. Apabila membaca judulnya, pembaca akan bertanya-tanya “Apa sih itu To Lengo To Kipa?”.  Kemudian setelah  membacanya, pembaca akan bertanya lagi “Apa sih arti dari bahasa puisi ini?”. Ya, mungkin hampir semua konsumen akan menanyakan hal yang sama seperti itu, karena semua isi dari puisi ini menggunakan pemakaian bahasa Lokal Bugis Asli yang kurang jelas artinya.
Puisi To Lengo To Kipa mengisahkan tentang seorang raja ke IV dikerajaan Sawitto yang bernama La Palateang menerima kenyataan pahit dengan kekalahan dalam peperangan dengan kerajaan Gowa yang kekuatan perajurit dan perlengkapan perang jauh lebih kuat. La Paleteang meninggalkan daerah kelahirannya (Mitti wae mata, mate ele’i addatuangengku),karena ditawan oleh kerajaan Gowa bersama permaisurinya,Setelah mendengar informasi La aleteang,datanglah dua orang pemberani yang bernam Iyana To Lengo To barani na wanua Sawitto,           Iyana To Kipa To barani na wanua Sawitto, untuk  menjemput dan  membawa raja La Paleteang dan istrinya kembali ketanah kelahirannya,namun setelah  La Paleteang dan istrinya kembali ketanah kelahirannya,masyarakat La Paleteang merasa bahwa rajanya dan pemimpinnya telah berubah (Kurru sumange....Pinra...pinra kanani, adatuange’ta ...Kurru suamnge... Pinra...Pinra togenni, mabbolasilellang La Paleteang), sekarang raja La Paleteang begitu kurus dari sebelumnya, masyarakat La Paletaeng sangat sedih melihat penampilan dan tubuh sang raja begitu memperhatinkan, . Atas dasar itulah Sang Raja kemudian menyuruh kepada orang-orang yang ada agar menamakan tempat tersebut “Pinra”. Informasi lain menyebutkan dahulu wilayah disekitar Kota Pinrang sekarang ini adalah daerah rawa-rawa, sehingga masyarakatnya berpindah pindah mencari pemukiman agar tidak tergenang air. Kata berpindah-pindah ini dalam bahasa Bugis disebut “Pinra Pinra”. Kedua kisah tersebut melahirkan istilah yang sama yaitu “Pinra” yang kemudian dipengaruhi oleh intonasi dan dialog Bahasa Bugis sehingga menjadi “Pinrang”, yang sekarang diabadikan menjadi nama Kabupaten dari bekas Kerajaa Sawitto masa lalu. Begitulah ringkasan dari bumi lasinrang atau sejarah terbentuknya bumi lasinrang pada zaman dahulu.
Dalam suatu sisi dari puisi ini sangat begitu kuran,karena bila konsumen membaca puisi ini mungkin tak jarang membuat minat pembaca akan hilang,Saran yang tepat dan mungkin membuat konsumen akan tertarik kembali membacanya,apabila puisi tersebut setidaknya diberi arti dalam bahasa Indonesia, apalagi bila pembacanya adalah kalangan anak remaja yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak meggunakan bahasa lokal kedaerahannya,melainkan bahasa yang kurang jelas penggunaannya atau pun pemakaian bahasa yang kurang jelas yang disebut juga bahasa Gaul, dan para remaja juga akan merasa bahasa yang digunakan pada puisi tersebut sangat kuno (Tren), dampak seperti ini sangat cenderung membuat minat remaja (membaca) dikalangan anak sekolah hilang dan remaja tidak akan membacanya walaupun itu hanya sedikit.
            Kemudian sisi pandang positifnya tentang puisi lokal ini sangat menggambarkan ketulusan dua orang prajurit kerajaan Sawitto yang senang tiasa berkorban dan mengabdi pada kerajaannya, untuk menolong sang raja bersama istrinya dari tawanan kerajaan Gowa.
Menarik nilai-nilai kearifan lokal pada puisi tersebut sangat  melambangkan identitas kedaerahan Bugis Asli yang nyata.Namun,akan lebih baik,jika sipenulis sedikit memberikan penjelasan mengenai arti dari puisi tersebut,agar Nampak ciri khas dari daerah lokal tersebut yang mengundang minat pembacanya.
Bayangkan, apa yang akan terjadi jika, kalangan anak remaja menjadi tidak mengenal dan tidak mengetahui bahasa kedaerahannya? Dan bayangkan juga apabila kalangan anak remaja di sekarang ini tidak mengerti atau tidak mengetahui tentang sejarah kebudayaan daerahnya?
Oleh karena itu, mari kita memetik dan menarik hikmah dari kearifan lokal bugis melalui puisi To Lengo To Kipa ini,agar dapat mengembangkan dan tidak melupakan sejarah kedaerahan ataupun kebudayaan daerah bahasa dan sastra lokal.Sehingga,dapat menghasilkan sebuah keberanian dan tegas pendiriannya dalam menulis atau menciptakan sebuah karya tulis lokal yang baik dan juga menggunakan ide-ide yang matang akan menghasilkan suatu karya yang bernilai tinggi di mata masyarakat.
==================================
Memarut Puisi To Lengo To Kipa
Oleh: Ria Octavia
Bahasa dan sastra Indonesia menghilang dari jiwa masyarakat (baca: para muda) dengan seiring berjalannya waktu. Meluasnya perkembangan zaman yang modern menjadi faktor utama terjadinya hal tersebut. Kini, para penerus bangsa berikutnya lebih bersaing untuk mengetahui apa saja yang baru di Era globalisasi ini. Mulai dari persaingan busana hingga bahasa sehari-hari. Hal ini terjadi karena adanya pengaruh gaya bahasa dari media-media yang terkesan ‘gaul’. Seperti pada media Televisi dan Radio yang dalam setiap tayangannya diiringi oleh bahasa gaul (trend). Bahkan pada media yang dapat menambah minat membaca yaitu diberbagai macam media massa (Koran, majalah dan lain-lain).
Bahasa ‘trend’ mulai mengambah ke jiwa para pemuda hingga melupakan bahasa lokalnya. Akibatnya, budaya membaca tidak diminati. Perkembangan dunia Global yang pesat mengakibatkan generasi muda lebih memilih memanfaatkan teknologi dibandingkan buku bacaan untuk mengisi waktu kosongnya. Sehingga, budaya kearifan lokal mulai tenggelam dalam daerah sendiri. Media dan Teknologi tidak dapat disalahkan atas pudarnya penggunaan bahasa lokal. Memang tak dapat ditolak jika media dan teknologi merambah dan menjadi kebutuhan yang penting dalam kehidupan. Tetapi jangan sampai suatu daerah melupakan bahasanya sendiri. Dengan demikian, akan dibutuhkan sebuah karya untuk tetap melestarikan budaya lokal.
Sebuah karya sastra dalam bentuk membangkitkan semangat sudah banyak dibuat oleh para pengarang. Sastra dalam pembangkit semangat lebih sering dituangkan pengarang lewat puisi. Puisi adalah karya yang menggunakan permainan kata yang membentuk deretan kalimat yang mengandung makna. Karya sastra berbentuk puisi dalam bahasa lokal Bugis sangat jarang ditemukan, bahkan dapat dihitung dengan jari. Bahasa Bugis bagaikan binatang yang dilindungi karena hampir punah. Binatang yang hampir punah sangatlah diperhatikan Negara, agar terjamin kelestariannya. Tetapi, bahasa lokal yang hampir punah justru semakin lenyap saja tanpa ada usaha untuk melestarikannya. Hal ini terjadi karena masyarakat sudah jarang menggunakannya.
Di balik tidak kepedulian masyarakat terhadap bahasa Bugis, Kini seorang guru telah membuat puisi menggebu-gebu jiwa dalam bahasa lokal daerahnya. Sungguh tak dapat dipercaya di Era globalisasi yang semakin modern masih ada yang menyempatkan waktunya untuk membuat sebuah puisi dalam bahasa Bugis.
Puisi tentang seorang pahlawan pinrang yaitu Lasinrang dibuat untuk memperingati hari ulang tahun Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan pada 19 februari 2012. Puisi ini di karang oleh seorang guru Bahasa Indonesia yang mengajar di SMA Negeri 1 Pinrang bernama Baharuddin Iskandar.
Puisi yang berjudul “To Lengo To Kipa” ini menceritakan perjuangan sekaligus kepedihan derita yang di rasakan pahlawan dalam membela Kabupaten Pinrang. Dalam puisi menunjukkan bahawa kita masyarakat bugis dapat merasakan kepedihan yang di alami Lainrang begitupun dengan To lengo dan To Kipa.
            Dikatakan Iyana To Lengo dan Iyana To Kipa. Menceritakan bahwa To Lengo dan To Kipa adalah dirinya yang berjuang. “Siwatang menre tasiwata no riyawa” . Artinya: semangat yang naik dan tidak akan pernah mungkin lagi turun. Saya menyukai bait keempat yaitu: “Iyana To Lengo/ To baranina wanua Sawitto/ Tettong ri biring langi’e/ Sompa nawa-nawa siruntu tona tudangengku”. Artinya: ‘Saya adalah To Lengo/ Pemberani dari tanah Sawitto/ Berdiri tegak dilangit/ Sumpah batin bertemu dengan tanah kelahiran’.
Masyarakat diluar suku Bugis tidak mengetahui arti puisi tersebut, walaupun puisi tersebut membuat jiwa jadi menggebu-gebu. Tetapi, masyarakat luar tak mengerti makna sebenarnya dari puisi tersebut. Hal ini, disebabkab oleh perbedaan dari segi bahasa.   Sehingga, membuat puisi diacuhkan oleh para pembaca. Bahasa sulit dimengerti ini  berdampak juga pada suku Bugis sendiri. Tetapi setelah mengetahui arti katanya, barulah kita dapat merasakan apa yang ingin disampaikan Baharuddin Iskandar lewat sebuah puisi tentang Kabupaten Pinrang.
Kata salut memang pantas ditujukan pada Baharuddin Iskandar karena dibalik kesibukannya sebagai guru ia masih menyempatkan waktu untuk membuat puisi dalam bahasa Bugis. Tetapi ingin dipertanyakan lagi, apakah Baharuddin Iskandar tidak mempertimbangkan karyanya ini ? mungkinkah seorang guru bahasa Indonesia tidak bisa menilai bahwa bahasa dan budaya bugis tidak dikenal oleh seluruh kalangan.
Bugis merupakan sebuah suku di Pinrang, Sulawesi-selatan. Indonesia memiliki banyak Suku yang saling berbaur di daerah yang berbeda. Di Pinrang sendiri banyak pendatang dari suku lain. Bisakah seorang Baharuddin Iskandar bayangkan jika yang membaca puisisnya bukanlah dari suku Bugis. apa kiranya komentar mereka terhadap puisi tersebut ? Bahkan masyarakat Suku Bugis sendiri belum tentu mengerti artinya.
Puisi yang berjudul To Lengo To Kipa mengandung arti yang sangat mendalam. Sunggu sangat disayangkan apa bila masyarakat luas tidak mengetahui artinya. Untuk itu perlu disertakan arti agar dapat dimengerti sehingga masyarakat dapat merasakan curahan hati mengenai Kab. Pinrang yang ingin diungkapkan.
Bagaimana jika Bahasa Bugis benar-benar dilupakan ? Apakah dapat kita uaraikan dengan kata-kata perasaan para pejuang Pinrang, Sulawesi-selatan yang kecewa. Atas perjuangannya untuk daerah yang sekarang menjadi tempat dimana kita menghabiskan waktu. Akan kau balas dengan melupakan apa yang telah diperjuangkannya. Sunggu kita tidak dapat dikatakan sebagai masyarakat yang baik. untuk itu, dibalik usaha kita untuk mengetahui perkembangan dunia dengan Bahasa-bahasa yang semakin ingin diketahui, ingatlah untuk tetap menyimpan Bahasa lokalmu dengan sebaik-baik kemampuanmu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar