DIARI
DUA PEMBEBASAAN
(Cerpen Ini terbit di Koran Fajar, 25 Maret 2012)
Baharuddin
Iskandar
Seminggu ini, sesenada diskusi Sahara dan
Haliza beratik-utak di pusaran
keindonesiaan. Yap, tujuh hari berlalu, Geng Cinta, Sahara dan Haliza
disibukkan pembebasan tanah sekolah bagi tenaga kerja Indonesia. Suri dan Sinta
juga melipatkan kening, nimbrung dalam masalah itu.
“Sudahlah, kita tuntaskan saja
pembicaraan ini. Aku capek membincang
kisah. Sebenarnya, belum patut dipermasalahkan,” Suri menyela. Dipikiranya,
remaja adalah kebebasan, lantas apa pasal memuasalkan satu, sama sekali bukan
dua-tiga persoalan namun ringan
“Itulah masalahnya, Sobat. Engkau adalah
Sepanggar, anak negeri Kinabalu. Sukacita memaklumkan pendidikan menjadi raja
namun biaya merata. Kalian tidak
memikirkan belukar kesusahan. Pemerintah diraja Malaysia memikirkan
kalian. Kami? Ah, tentu engkau tahu nasib Indonesia, sobat-sobatmu yang ada di
sini,” tambah Sinta.
Keempatnya adalah teman. Mereka
tidak mengindahkan kutub perbedaan: Indonesia dan Malaysia. Tidak dipisahkan
jurang: anak tuan tanah dan anak tukang kebun. Keempatnya berdiskusi rutin,
memperjuangkan pembebasan tanah sekolah anak-anak pekerja Indonesia.
* * *
Kemarin, Sahara mempertegas
paham, tapi bapaknya mengatakan,
tidak memperbincangkan tanah sekolah.
Sibuk, alasannya.
“Paham Pak, ini adalah bisnis.
Tapi apakah menghalangi kebaikan. Mereka
pekerja Bapak. Apakah tidak bisa melepaskan sebagian? Tanah Bapak masih
luas. Di arah Barat, bagaimana? Itu lahan kosong, bisakah disisihkan buat sekolah?”
“Itulah bisnis. Tidak mengenal
hati tapi kantong.”
Sahara tidak gentar. Suri dan
Sinta adalah potret bergelayut di batin: apakah kami bisa sekolah di Sepanggar?
Bangunlah sekolah di sini! Mintalah lahan Tun Razak, bapakmu. Tanah di bagian
Barat masih kosong, sekolah di sana bisa didirikan. Ucapan itu, menyentuh urat
nadi di telinganya. Terkumpul media seribu.
“Tidak! Jangan memaksa. Buat apa?”
“Kasihan. Mereka tidak
bersekolah.”
“Tidak. Bisnis tetap bisnis. Jika
mereka ingin tanah, bayar sepuluh kali lipat.”
“Mana cukup. Gajinya sepetak
tanah yang bisa, apalagi...”
“Prinsip bisnis. Tidak ada uang
maka pazal tidak jadi.”
* * *
Memelas.
Dua hari lalu, Haliza juga berusaha mirip udang kejepit batu. Di hadapan pakcik-nya, suara hati meradang sendu.
Kasihani, lihat nasib dengar nestapa. Mereka memiliki hak bersekolah, namun
belum merdeka. Argumentasi Haliza meranum wangi.
“Haliza,
usahlah berjaya mengharungi segala
muslihatmu,” mengena ucapan Mustafa bin Mustafa, menghirup skenario Haliza,
keponakannya, “Pakcik tidak akan terpedaya tipu helah-mu,” kemudian tersenyum mengangguk dalam, “titisan luar
biasa. Tidak kuduga, engkau sudah dewasa, mau memikirkan nasib orang lain. Sungguh
mulia. Tapi?”
“Apa lagi Pakcik?”
“Kemarin dan hari ini jawapan yang diperolehi tetap sama. Tanah
Pakcik untuk sekolah menggagalkan
pengembangan sawit di bagian Timur. Jika engkau mau menyadarkan
bahawa tanah kosong untuk amal, akan menjadi pengenalpastian kesilapan. Tanah
di sana subur. Cocok ditanami sawit. Jika ingin memartabatkan anak-anak
Indonesia bagus sekali, tetapi bagaimana kita?”
“Tidak!” laringal dan faringalnya
meringis, vibrasi suara menghilang. Haliza memaklumat, tanah kosong di sebelah
Barat belum ditanami. Gembur bukan gambut. Walaupun kosong, tetapi
pekerja-pekerja Pakcik telah
melakukan kerja-kerja pembersihan, pembarisan dan penanaman kacang penutup bumi
di kawasan ladang. Itu hendaklah disempurnakan sebelum menanam anak-anak pokok
kelapa sawit, “Haliza paham, pokok-pokok ladang di bagian sisi tanah kosong itu,
dua atau tiga hari ini sedang dicantas. Pokok-pokok
ladang berumur 18 bulan telah mencabik tenaga dan cucuran keringat. Bisakah
dihentikan demi amal?”
“Ingat! penubuhan usia enambelasmu menjadi wajib
mengekalkan Melayu temurung, hampir perlahan dilupakan sesetengah pihak. Senyum dijaga, sapa disekap dan tetap menghibutkan dan menceriakan pelbagai
penjuru. Soal ladang sawit 25 ekar
adalah tanggung jawab mandor dan tenaga-tenaga kasar Indonesia. Mereka sengaja
datang dengan upah setimpal,” sergahnya.
“Jangan pikirkan, Sinta, Suri dan
anak pekerja itu! Jangan masuk persoalan garapan, ladang termasuk tanah. Itu
urusan laki-laki, bukan urusan gadis Melayu bertudung sepertimu.”
*
* *
Berjejer rapi dalam rebahan di
papan kayu. Mata tertuju ke langit bersulam tapi kelam. Memainkan otak. Suri dan Sinta dipapah masa depan, Sahara dan
Haliza di ranah keputusasaan. Tangan disangga di kepala.
Lalu, mata Suri menerabas
merpati-merpati putih, menukik, menari dan mementas tarian sabda alam. Gulana. Potret
dan fotografi selaksa indah itu menyisakan gulana. Ada sisa gahara mencabik
kenangan kampung. Kampung rantau Sepanggar menyentil rindu pada Bakaru, kampung halamannya di
Kabupaten Pinrang. Menari, mementas. Mata mengitari, sepasang merpati-merpati
hinggap di perdu. Mereka bercengkerama tentang hari ini, hari esok. Di bawah
perdu, tiba-tiba ayahnya berlari
mengibas-ngibas biji keringat. Kulit legam melegam kian terlihat kala berlari-lari.
“Cepat! Kalian cepat kemasi
barangmu.”
“Cepat,” bentaknya ketika melihat
kami masih terdiam, masih rabahan,
“Tidak!” katanya sambil bangkit
lalu mendekat, “Kalian harus harus melaporkan diri. Jangan lari lagi, tidak
baik itu,” timpal Sahara.
“Kamu polos tapi bermasalah,” mata
La Rauf berubah, bukan pamong tapi nyalang menerkam. La Rauf sepuluh tahun di
kebun Tun Razak, namun tiga tahun berturut-turut tidak menerima gaji. Suri dan
Sinta diboyong dari Pinrang, tapi bukan anugerah. Gaji dihentikan semenjak itu.
Tun Razak pelangi harapan, dulu bukan sekarang. Malah, statusnya adalah pekerja
gelap, tidak punya surat-surat resmi
Mendengar celutukan Sahara, La
Rauf menjadi setan. Senyawa emosi mengguncang langit otak ke tujuhnya. Membuncah
setengah gila malah gila.
Trakk.
“Ahhh!” lengkingan bersamaan. Kejadian
berlalu cepat, kepalan mengena kepala.
Tidak puas, maju dan mau
mengulangi. Kakinya bergedebuk. Trakk. Berita terburuk. Energi kesetanan menerjang
mempan. Sahara susur ke belakang, terjatuh lalu meregang. Pingsang, entahlah
mati. La Rauf kembali maju.
“Mau celaka. Mau dipancung, ah?”
bergemeretak ucapannya ketika Suri dan Sinta menghalangi, berhasil memalang,
“Mau ditangkap polis?”
Brukk. Keduanya
lalu terdorong jatuh dan tidak berdaya. Tersisa, hanya pekikan bola mata
melihat tetesan darah pembebasan. Tidak berdaya menyaksikan energi kebodohan, menyisakan
jurang kian dalam, bukan antara kisah pilu di antara mereka. Tapi luas dan
menerjang lama, Indonesia dan Malaysia. (Penulis adalah guru
Sastra di SMA Negeri Unggulan Pinrang, alumni TWoR Forum Lingkar Pena, Sulsel. Pernah menulis novel Atonia Uteri, 2011).
.