Jumat, 18 Mei 2012

SASTRA MESTINYA BUKAN MATA UJIAN
(Esai Sastra ini Terbit di Rubrik Apresiasi Budaya Surat Kabar Fajar, edisi 13 Mei 2012, silakan baca isi hati seorang guru yang galau terhadap pengerkerdilan satu mata pelajaran di Indonesia!)

SASTRA MESTINYA BUKAN MATA UJIAN

BAHARUDDIN ISKANDAR

Beberapa hari lalu, tanggal 16 s.d. 19 April 2012 mendatang, siswa sekolah menengah lanjutan atas kembali ‘mengecap’ kebijakan pemerintah, ujian nasional. Ada banyak mata pelajaran  yang diujikan, misalnya jurusan IPA di tingkat SMA terdapat Bahasa dan Sastra Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, Biologi, Fisika dan Kimia. Tentu saja, siswa-siswa di esok hari akan menyiapkan kejernihan pikiran dan ketenangan batin agar mata ujian dapat dilulusi.
Penulis selaku guru Bahasa dan Sastra Indonesia, sabang waktu di saat menjelang ujian nasional seperti ini ‘dicongok’ agar mencurahkan pikiran tenaga. Tiada lain, pikiran dan batin harus disiapkan saat ujian nasional berlangsung. Akan tetapi, sabang waktu itu, penulis ‘tersayat’ mata silet, betapa mirisnya sastra diperlakukan seperti ini.
Pertama, sastra adalah hasil ungkapan perasaan, pikiran, emosi, yang dituangkan dengan bahasa baik lisan maupun tulisan. Ia menjadi tempat curahan hati sehingga berhubungan erat dengan seni, budaya, dan keindahan. Jika demikian, mengapa lantas pelajaran seni dan budaya tidak dijadikan mata ujian di saat ujian nasional? Tentu saja, pertimbangan berujung pada estetika, bahwa seni musik, seni patung, teater adalah persoalan keindahan dan perasaan yang tidak dapat diukur dengan nilai dan angka secara kuantitatif.
Kedua, jangan melupakan bahwa karakter manusia yang dapat ditumbuhkan melalui sastra. Kata karakter Wynne (Zuriah, 2008) berasal dari bahasa Yunani “to mark”  yaitu menandai dan memfokuskan agar mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan atau tingkah laku. Dalam pendidikan, nilai estetik sastra bagi saya termasuk kalangan praktisi sastra sangat mampu memompa dan membangun karakter bangsa. Bahkan mendiang Presiden Amerika Serikat, John F Kenedy, begitu yakin bahwa sastra mampu meluruskan arah kebijakan politik yang bengkok. Politikus yang mati tertembak ini mengatakan, ‘ketika politik bengkok maka sastra akan meluruskanya’. Artinya, adalah sastra menjadi media moral dan karakter. Jika ini diluruskan, lantas mengapa mata pelajaran agama dan pendidikan kewarganegaraan (PKn, dulu bernama PMP) tidak diujikan secara nasional?

Menghargai Sastra
Mencermatinya, sastra perlu dipertimbangkan agar tidak dimasukkan ujian nasional. Semestinya, sastra diramu dalam kebijakan-kebijakan di tataran sekolah, yaitu kegiatan dan ekstrakurikuer diselenggarakan untuk memenuhi tuntutan penguasan bahan kajian dan pelajaran dengan alokasi waktu yang diatur secara tersendiri berdasarkan kebutuhah. Kegitan ekstrakurikuler menjadi kegiatan pengayaan dan perbaikan berkaitan dengan program kurikuler atau pementasan sastra yang berkaitan esensi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia.
Penghargaan sastra adalah baca sastra. Taufik Ismail (2007) mengungkapkan, bahwa ketika Algemeene Middelbare School (AMS) pada zaman Hindia Belanda, siswa-siswa telah diwajibkan membaca 15 hingga 25 judul buku sastra. Lalu, kenapa sekarang, kebanyakan siswa di sekolah menderita rabun sastra. Masalah baca sastra adalah nestapa, Jika dibandingkan dengan negara-negara luar maka Indonesia sepatutnya berkaca pada Amerika Serikat yang mewajibkan siswa membaca 32 judul buku selama tiga tahun;  Jepang dan Swiss mengatur membaca sastra sebanyak 15 judul buku sastra; atau Singapura, Malaysia, Thailand atau Brunei Darussalam mengharuskan siswa menamatkan bacaan sastra sebanyak lima hingga tujuh judul buku. Penanaman baca buku sastra memiliki manfaat luar biasa pada pembentukan karakter dan kepekaan. Melalui kebijakan sekolah atau guru-guru bahasa dan sastra Indonesia, aturan-aturan baca buku sastra secara berkala dan berkuantitas kemudian dilaporkan ke dalam kelas, disesuaikan dengan konteks materi, misalnya menyimak, membaca, berbicara atau menulis sastra.
Polemik tentang morat-marit sastra, penulis melakukan banting setir. Sastra adalah mata hati yang harus mengisi batin siswa, seperti ketika mereka mempelajari  agama, seni, atau moral. Sastra bukan mata ujian nasional. Untuk kondisi ini, aktivitas yang dilakukan adalah menghargai hasil pergulatan batin siswa-siswa dengan mengirimkan naskah-naskah puisi dan cerpen secara berkala ke koran Fajar.
Redaksi budaya Fajar, mungkin pernah ‘kelimpungan’  membaca email yang ‘diserang’ tiba-tiba oleh siswa SMA Negeri 1 Pinrang. Suatu waktu, siswa-siswa itu mengirim ‘mata batin’ mereka ke redaksi budaya secara serentak dan bersamaan. Hasilnya, naskah-naskah yang ditulis SMA Negeri 1 Pinrang seperti puisi Memendam Tangis karya Ria Octavia (11 Maret 2012), cerpen Menunggumu di Masa Depan, karya Achamd Rivaldy Rizal (24 Maret 2012), atau puisi Garis Lurus karya Muhammad Dirgantara (8 April 2012); Tentu saja, pergulatan naskah siswa-siswa membutuhkan spirit, sehingga  penulis menghipnotis pembelajaran dengan mengirim naskah sehingga puisi To Lengo To Kipa (19 Februari 2012), cerpen Diari Dua Pembebasan (25 Maret 2012), cerpen Berikan Aku Restu (31 Maret 2012). Semua tulisan yang diterbitkan di koran Fajar ini menjadi catatan penting bahwa sastra diperlakukan sebagai mata batin, bukan mata ujian. Semestinya, apresiasi sastra selama tiga tahun di kelas tidak dijadikan ‘sapi perahan’ untuk menguji dan memetakan kondisi soal-menyoal apresiasi siswa. Sebaiknya, sastra diajarkan seperti pelajaran agama, misalnya setelah materi baca alquran, siswa kemudian diukur atau diuji oleh guru agama dengan tingkat kefasihan saat membaca. Kefasihan tidak diukur dengan melingkari lembar jawaban komputer (LJK) untuk mengisi optian a,b,c,d, atau e. Persoalan yang sama juga berlaku dengan PKn yang identik dengan pembelajaran moral, bahwa ukuran tingkah sopan dan tata krama siswa tidak bisa dijangkau dengan mata ujian secara tertulis.
Mempertajam persoalan ini, sastra yang turut diujikan secara nasional tidak akan mampu mengukur kematangan apresiasi siswa. Apakah menjamin siswa yang memperoleh nilai sembilan di ujian akan menunjukkan bahwa siswa mampu menulis atau beretorika dengan sastra? Ingat, nilai sembilan yang diperoleh dalam pelajaran agama bukan jaminan siswa masuk surga.
Tulisan ini satu kegalauan terhadap ujian sastra yang akan dilaksanakan esok hari, tangal 16 April 2012. Siswa-siswa seperit ‘terpaksa’ mengikuti kebijakan untuk mengukur apresiasi sastra secara kuantitatif, bukan kualitatif. Akhirnya, bangsa di masa mendatang membutuhkan manusia terdidik dan terlatih, siap masuk di dunia kerja dengan nilai kepekaan dan karakter baik. Apresiasi sastra memberi ruang lapang untuk hal ini
(Penulis adalah guru SMA Negeri 1 Pinrang dan Unggulan Boarding School kab. Pinrang Pernah menulis novel kesehatan: Atonia Uteri)