Oleh Anhar
Gonggong
Jika pada tahun 1996 ”karya besar” Lombard yang
diterjemahkan dengan judul Nusa Jawa: Silang Budaya diterbitkan oleh Gramedia,
pada tahun yang sama sarjana ahli berkebangsaan Perancis yang lain, Christian
Pelras, juga telah membuahkan hasil yang tak kurang raksasanya, The Bugis,
diterbitkan oleh Blackwell di London.
Karya Pelras itu, yang oleh Nirwan Ahmad Arzuka, salah
seorang penyunting terjemahan dan memberi pengantar pada terbitan terjemahan
bahasa Indonesia, disebut sebagai karya yang bagaikan ”intan”, kini diterbitkan
dalam versi bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Nalar yang didukung oleh
Forum Jakarta-Paris. Dengan penerbitan karya besar itu, tidak hanya lingkungan
terbatas masyarakat ilmu pengetahuan dan orang Bugis saja yang mendapat peluang
untuk lebih memahami salah satu suku bangsa yang memiliki dinamika untuk
bertahan hidup, tetapi juga kesempatan untuk lebih memahami orang, manusia
Bugis itu terbuka kepada bangsa Indonesia pada umumnya.
Dari segi perspektif situasi bangsa-negara Indonesia
yang majemuk-multikultur, karya Pelras yang diterjemahkan dengan Manusia Bugis
itu mempunyai arti yang tidak kecil, karena ternyata walau kita sudah membangun
keadaan dan menciptakan diri sebagai bangsa yang satu bersatu selama lebih
kurang 100 tahun dan telah menjadi bangsa-negara merdeka selama 60 tahun, masih
saja amat sering terjadi gejolak-gejolak meretakkan yang nyaris merobek
persatuan dan kehidupan bersama kita sebagai bangsa-negara. Untuk itu, buku ini
amat berguna untuk membuka cakrawala pemahaman diri sebagai bangsa-negara yang
memang harus selalu berusaha mengembangkan pemahaman diri sejalan dengan
dinamika internal dari bangsa-negara yang bersifat majemuk-multikultural ini.
Untuk menghasilkan buah karya yang ”bagaikan intan”
ini, Pelras telah menampakkan ketekunan-kegigihan dari seorang peneliti dan
sarjana ahli yang menguasai pelbagai alat-alat metodologis dari berbagai ilmu
sosial dan humaniora, mulai dari arkeologi, sastra-filologi, sejarah,
antropologi-etnografi, hingga sosiologi, sehingga tampak sifat jenis sejarah
total-komprehensif. Buah karya sejarah total-komprehensif itu benar-benar
merupakan sebuah penampakan dari tidak saja penguasaan metodologi yang tinggi,
tetapi juga merupakan ketekunan yang amat ”mengagumkan”. Bayangkan, ia
melakukan penelitian dan menulis buku ini dalam jarak waktu tidak kurang dari
40 tahun, lebih dua pertiga dari usianya sekarang yang telah mencapai 72 tahun
(lahir 1934).
Ciri manusia Bugis
Meskipun orang Bugis tidak asing bagi berbagai pihak,
termasuk pembaca novel Joseph Conrad, menurut Pelras, orang Bugis sejak
berabad-abad lamanya sebenarnya merupakan suku bangsa yang paling tidak dikenal
di Nusantara. Karena itu, terjadilah ironi yang lahir dari sedikit pengetahuan
yang beredar mengenai mereka, sebagian besar di antaranya merupakan informasi
yang keliru.
Salah satu informasi yang keliru itu ialah anggapan
bahwa orang Bugis adalah pelaut sejak zaman dulu kala. Anggapan keliru ini
bersumber dari banyaknya perahu Bugis yang pada abad ke-19 terlihat berlabuh di
berbagai wilayah Nusantara, dari Singapura sampai Papua, dan dari bagian
selatan Filipina hingga ke pantai barat laut Australia. Ada pula yang
mengatakan orang Bugis pernah berhasil menyeberangi Samudra Hindia sampai
Madagaskar (halaman 3-4).
Anggapan ini, menurut Pelras, adalah keliru karena
”dalam kenyataan sebenarnya orang Bugis pada dasarnya adalah petani”, sedangkan
aktivitas maritim mereka baru benar-benar berkembang pada abad ke-18. Dalam hal
perahu Phinisi yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk
dan model akhirnya sebenarnya baru ditemukan antara pengujung abad ke-19 dan
dekade 1930-an. Demikian pula halnya dengan predikat bajak laut yang diberikan
kepada orang Bugis, sama sekali keliru dan tidak berdasar.
Walau Pelras menyangkal ciri kepelautan manusia Bugis
seperti di atas, ia tetap mengakui adanya ciri-ciri khas yang melekat pada
manusia Bugis. Salah satu ciri terpenting manusia Bugis ialah ”mampu mendirikan
kerajaan-kerajaan yang sama sekali tidak mengandung pengaruh India”. Yang kedua
ialah tanpa mendirikan kota sebagai pusat aktivitas mereka (halaman 4).
Di bidang kesusastraan, orang Bugis juga memiliki
tradisinya sendiri, baik sastra lisan maupun tulisan. Catatan yang ditunjukkan
oleh Pelras untuk hasil sastra Bugis itu ialah La Galigo. Karya sastra ini
merupakan perpaduan antara sastra lisan dan tulisan dan merupakan salah satu
epos sastra terbesar di dunia.
Selanjutnya sejak awal abad ke-17 setelah menganut
agama Islam, orang Bugis bersama dengan Aceh, Banjar, dan lain-lain dicap sebagai
orang Nusantara yang paling kuat identitas keislamannya. Malah, demikian
Pelras, orang Bugis menjadikan Islam sebagai bagian integral dan esensial dari
adat istiadat dan budaya mereka.
Meskipun demikian, pada saat yang sama, pelbagai
peninggalan pra-Islam tetap mereka pertahankan sampai akhir abad ke-20. Salah
satu di antara peninggalan pra-Islam yang paling menarik ialah bissu, yaitu
sebuah kelompok yang terdiri dari pendeta-pendeta wadam yang masih menjalankan
ritual perdukunan serta dianggap dapat berkomunikasi dengan dewa-dewa leluhur
(halaman 4-5).
Ciri-ciri orang Bugis yang berkaitan dengan
karakternya dikenal dengan karakter kerasnya dan sangat menjunjung tinggi
kehormatan. Untuk mempertahankan kehormatannya, bila perlu, mereka bersedia
melakukan tindak kekerasan. Meski demikian, di balik sikap keras itu, orang
Bugis juga dikenal sebagai orang yang ramah dan sangat menghargai orang lain
serta sangat tinggi rasa kesetiakawanannya (halaman 5).
Dalam kehidupan masyarakat Bugis, interaksi sehari-hari
pada umumnya berdasarkan sistem patron-klien, yaitu sistem kelompok setia kawan
antara seorang pemimpin dan pengikutnya yang kait-mengait dan menyeluruh.
Namun, ikatan kelompok itu tidak melemahkan kepribadiannya. Orang Bugis
memiliki sistem hierarkis yang rumit dan kaku, tetapi pada sisi lain prestise
dan hasrat berkompetisi untuk mencapai kedudukan sosial amat tinggi, baik
melalui jabatan maupun kekayaan, tetap merupakan pendorong utama untuk
menggerakkan roda kehidupan sosial kemasyarakatan mereka.
Di dalam melihat ciri-ciri orang Bugis seperti disebut
di atas, yang terlihat saling berlawanan itu, Pelras tidak melihatnya sebagai
ciri yang negatif, bahkan sebaliknya, ia menyimpulkannya dengan kata-kata
”mungkin ciri khas yang saling berlawanan itulah yang membuat orang Bugis
memiliki mobilitas yang sangat tinggi serta memungkinkan mereka menjadi
perantau”. Di seluruh Nusantara dapat dijumpai orang Bugis yang sibuk dengan
aktivitas pelayaran, perdagangan, pertanian, pembukaan lahan perkebunan di
hutan, atau pekerjaan apa saja yang mereka anggap sesuai dengan kondisi ruang
dan waktu.
Berubah dan menyesuaikan
Selain sifatnya yang saling berlawanan, tetapi
memiliki dinamika mobilitas yang tinggi, manusia Bugis juga memiliki daya tahan
hidup yang tinggi. Di perantauan mereka melakukan ”pergumulan” hidup untuk
mendapatkan keadaan yang lebih baik. Kalau kita memerhatikan keadaan mereka di
perantauan di pelbagai daerah di dalam wilayah republik, tampak kemampuan
mereka untuk meraih posisi-posisi penting di berbagai bidang kehidupan,
terutama di bidang politik dan pemerintahan dan juga bidang ekonomi
perdagangan.
Karena itu, di berbagai daerah, tidak heran jika
dijumpai ”perantau” Bugis menguasai bidang perdagangan, dari mulai kelas bawah
sampai kelas atas. Tidak mustahil pasar-pasar tradisional yang ada di daerah
itu, baik provinsi maupun kabupaten/kota, didominasi oleh pedagang-pedagang
Bugis. Sekadar contoh, ketika Timor Leste masih sebagai Provinsi Timor Timur
dalam wilayah Republik Indonesia, jejeran warung ikan bakar lebih kurang 90
persen dimiliki orang-orang Bugis; demikian pula halnya di Papua.
Apa yang memungkinkan perantau Bugis mampu meraih
keberhasilan yang terkadang mengundang decak kagum? Kalau mengacu pada pendapat
Pelras dalam bukunya itu, maka: ”Tidak pelak lagi kemampuan mereka untuk
berubah dan menyesuaikan diri merupakan modal terbesar yang memungkinkan mereka
dapat bertahan di mana-mana selama berabad-abad”. Tetapi, di balik kemampuan
itu, orang Bugis tetap menampakkan sifat khasnya yang saling berlawanan, yaitu
di tengah-tengah kemampuannya berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan
sekitarnya, ”Orang Bugis ternyata tetap mampu mempertahankan identitas
’kebugisan’ mereka” (halaman 5).
Namun, kemampuan untuk bertahan seperti yang
dikemukakan di atas mungkin juga ditopang oleh sifat yang dipuji oleh orang
Bugis sebagaimana yang tampak di dalam tokoh-tokoh mitos dan fiksi mereka.
Kajian atas perilaku para tokoh cerita itu, menurut Pelras, dapat menghasilkan
suatu potret mengenai mentalitas orang Bugis yang didominasi oleh empat sifat.
Dalam lontara’ disebutkan bahwa keempat sifat tersebut adalah sulapa eppa (segi
empat) yang harus dimiliki setiap pemimpin yang baik. Karena itu, jika akan
tampil sebagai pemimpin selain berasal dari keturunan yang tepat, ia harus
memiliki sifat-karakter: warani (berani).
Prototipe utama dari to-warani dalam kesusastraan
Bugis ialah Sawerigading. Ia berkali-kali harus berperang untuk mendapatkan
tujuannya, termasuk berperang untuk mendapatkan calon istrinya, We Cudai (halaman
255). Yang kedua, to-acca (orang pintar) yang dapat diartikan sebagai ahli,
cerdik. Baik to-warani maupun to-acca dapat berwujud seorang laki-laki maupun
perempuan (halaman 258). Keutamaan sifat yang ketiga ialah harta kekayaan,
orang kaya (to-sugi). Keterangan Pelras lebih lanjut tentang kaitan orang Bugis
dengan kekayaan ini ialah ”Orang Bugis agaknya tidak pernah melupakan kenangan
akan zaman ’keemasan’ itu secara harfiah”. Hal tersebut terwujud dalam
keinginan untuk memperkaya diri yang tampaknya merupakan motivasi paling kuat
dan menjadi pendorong utama usaha perdagangan sebagian besar mereka. Bahkan,
sangat banyak ulama menganggap usaha memperkaya diri sebagai kewajiban
sepanjang dilakukan secara jujur dan halal (sappa dalle hallala) karena memungkinkan
seseorang membantu sesama yang kurang beruntung (halaman 259). Keutamaan
keempat ialah panrita’, yaitu penguasaan atas seluk-beluk agama, bijaksana,
saleh, dan jujur. Walau istilah ini berasal dari kata Sansekerta: pandita,
pertapa, namun setelah agama Islam diterima, istilah to-panrita’ dianggap
sepadan dengan ulama.
Mencari peluang ekonomi
Buku ini sebenarnya mencakup periode yang sangat jauh
ke belakang sampai yang paling mutakhir dan memperlihatkan pula bagaimana
manusia Bugis bergumul di dalam proses mengindonesia, setelah proklamasi yang
menampakkan pergumulan para pemimpin dan elitenya untuk menyelesaikan konflik
yang dilatari oleh DI/TII dan Permesta. Dilanjutkan dengan situasi terakhir
yang menampakkan tampilnya dinasti Kalla dalam pentas sebagai dinasti ekonomi
serta memasuki arena politik dan mencapai puncak sebagai wakil presiden.
Setelah memberikan uraian yang sangat komprehensif
dengan menampilkan fakta-fakta tentang masyarakat Bugis secara sangat rinci
bahkan sampai kepada bentuk rumah, jenis-jenis pakaian, jenis makanan yang
bersifat catatan antropologis-etnografis dan sejarah, maka di dalam bagian
kesimpulannya ia antara lain mencatat bahwa: ”Sepanjang sejarah sosiokultural
orang Bugis, sejumlah ciri khas tertentu dengan sangat menakjubkan tetap
melekat dalam diri mereka sejak dahulu kala sampai sekarang. Salah satu di
antaranya adalah kecenderungan luar biasa mereka untuk selalu mencari peluang
ekonomi yang lebih baik di mana pun dan kapan pun itu. Selain itu, yang sangat
berkaitan erat dengan itu adalah daya adaptasi terhadap keadaan yang dihadapi
sangat mengagumkan” (halaman 397).
Perlu dicatat, sebagai penutup, bahwa pengantar yang
diberikan oleh rekan Nirwan Ahmad Arsuka yang berjudul ”Lapis Waktu” sangat
penting untuk memahami posisi buku ini beserta isi yang dikandungnya.
Pengantarnya itu telah memberikan pemahaman filosofis dan historis terhadap
buku yang disebutkannya sebagai ”intan” itu.
Anhar Gonggong
Sejarawan; Pengajar Agama dan Nasionalisme di Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
Sejarawan; Pengajar Agama dan Nasionalisme di Pascasarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia
sumber : Kompas, 18 Maret 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar