Demokrasi Dalam Sastra Bugis
Written By Ivan Kavalera on Senin, 29 November 2010
(http://www.ivankavalera.com/2010/11/demokrasi-dalam-sastra-bugis.html
Jauh sebelum
Herodotus memikirkan konsep Demokrasi pada lebih 2000 tahun di
Athena, Yunani , sastra Bugis telah lebih dulu mengajarkan konsep demokrasi
melalui Lontarak. Dalam sastra Bugis purba dikenal kata
"amaradekangeng" yang berasal dari kata "maradeka" yang
berarti merdeka atau bebas. Pengertian tentang kemerdekaan ditegaskan dalam
sastra Bugis Lontarak sebagai berikut.
Niaa riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai' riada-adanna.
Matellunna, tenri atteanngi lao ma-niang, lao
manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao ri awa.
(Yang
disebut merdeka hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak
dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat; ketiga
tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah.
Itulah hak-hak kebebasan.)
Demokrasi
sebagai bentuk atau mekanisme sistem pemerintahan suatu negara sebagai upaya
mewujudkan kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah
negara terungkap dalam sastra Bugis sebagai berikut.
Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
(Batal ketetapan
raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan
kaum Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)
Konsep di
atas sejalan dengan konsep demokrasi yang dianut saat ini yang mana kedaulatan
ada di tangan rakyat. Jelas tergambar bahwa kekuatan berada di tangan rakyat,
bukan di tangan raja. Jika hal ini dihubungkan dengan teori demokrasi Rousseau
tentang volonte generale atau kehenak umum dan volonte de tous atau kehendak
khusus, jelas tergambar bahwa teori Rousseau sama dengan sistem pemerintahan
yang dikembangkan di Tanah Bugis yaitu apabila dua kepentingan (antara penguasa
dan rakyat) bertabrakan, kepentingan yang harus dimenangkan adalah kepentingan
rakyat.
Dalam
menjalankan pemerintahan, raja selalu berusaha untuk bertindak secara ekstra
hati-hati. Sesuatu yang akan dibebankan kepada rakyat haruslah terlebih dahulu
dipertimbangkan. Artinya, acuan utama dari setiap tindakan adalah rakyat. Hal
tersebut tertuang dalam Getteng Bicara (undang-undang) sebagai berikut.
"Takaranku kupakai menakar, timbanganku kupakai menimbang, yang rendah
saya tempatkan di bawah, yang tengah saya tempatkan di tengah, yang tinggi saya
tempatkan di atas."
Ketetapan
hukum yang tergambar dalam getteng bicara di tanah Bugis menunjukkan bahwa raja
tidak akan memutuskan suatu kebijakan bila raja itu sendiri tidak merasa
nyaman. Raja menjadikan dirinya sebagai ukuran dan selalu berusaha berbuat
sepatutnya. Dari argumentasi itu, jelas tergambar bahwa negara adalah
sepenuhnya milik rakyat dan bukan milik raja.
Adat
menjamin hak dan protes rakyat dengan lima cara sebagai berikut.
1. Mannganro
ri ade', memohon petisi atau mengajukan permohonan kepada raja untuk mengadakan
suatu pertemuan tentang hal-hal yang mengganggu, seperti kemarau panjang karena
dimungkinkan sebagai akibat kesalahan pemerintah.
2.
Mapputane', menyampaikan keberatan atau protes atas perintah-perintah yang
memberatkan rakyat dengan menghadap raja. Jika itu menyangkut kelompok, maka
mereka diwakili oleh kelompok kaumnya untuk menghadap raja, tetapi jika
perseorangan, langsung menghadap raja.
3.
Mallimpo-ade', protes yang mendesak adat karena perbuatan sewenang-wenang raja,
dan karena usaha melalui mapputane' gagal. Orang banyak, tetapi tanpa
perlengkapan senjata mengadakan pertemuan dengan para pejabat negara dan tidak
meninggalkan tempat itu kecuali permasalahannya selesai.
4.
Mabbarata, protes keras rakyat atau kaum terhadap raja, karena secara
prinsipial masyarakat merasa telah diperlakukan tidak sesuai dengan panngadereng
oleh raja, keluarga raja, atau pejabat kerajaan. Masyarakat atau kaum berkumpul
di balai pertemuan (baruga) dan mendesak agar masalahnya segera ditangani.
Kalau tidak, rakyat atau kaum bisa mengamuk yang bisa berakibat sangat fatal
pada keadaan negara.
5. Mallekke'
dapureng, tindakan protes rakyat dengan berpindah ke negeri lain. Hal ini
dilakukan karena sudah tidak mampu melihat kesewenang-wenangan di dalam
negerinya dan protes-protes lain tidak ampuh. Mereka berkata: "Kamilah
yang memecat raja atau adat, karena kami sekarang melepaskan diri dari
kekuasaannya." (Prof. Dr. A. Mattulada, 1985)
Hak koreksi
rakyat terhadap perbuatan sewenang-wenang pemimpin atau pejabat negara,
merupakan bukti bahwa kehidupan bernegara manusia Bugis menekankan unsur
"demokrasi".
(diramu dari berbagai sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar