Senin, 26 Maret 2012

DIARI DUA PEMBEBASAAN

(Cerpen Ini terbit di Koran Fajar, 25 Maret 2012)

Baharuddin Iskandar

 Seminggu ini, sesenada diskusi Sahara dan Haliza  beratik-utak di pusaran keindonesiaan. Yap, tujuh hari berlalu, Geng Cinta, Sahara dan Haliza disibukkan pembebasan tanah sekolah bagi tenaga kerja Indonesia. Suri dan Sinta juga melipatkan kening, nimbrung dalam masalah itu.
“Sudahlah, kita tuntaskan saja pembicaraan ini. Aku capek membincang kisah. Sebenarnya, belum patut dipermasalahkan,” Suri menyela. Dipikiranya, remaja adalah kebebasan, lantas apa pasal memuasalkan satu, sama sekali bukan dua-tiga persoalan namun ringan 
 “Itulah masalahnya, Sobat. Engkau adalah Sepanggar, anak negeri Kinabalu. Sukacita memaklumkan pendidikan menjadi raja namun biaya merata. Kalian tidak  memikirkan belukar kesusahan. Pemerintah diraja Malaysia memikirkan kalian. Kami? Ah, tentu engkau tahu nasib Indonesia, sobat-sobatmu yang ada di sini,” tambah Sinta.
   Keempatnya adalah teman. Mereka tidak mengindahkan kutub perbedaan: Indonesia dan Malaysia. Tidak dipisahkan jurang: anak tuan tanah dan anak tukang kebun. Keempatnya berdiskusi rutin, memperjuangkan pembebasan tanah sekolah anak-anak pekerja Indonesia.
* * *
Kemarin, Sahara mempertegas paham, tapi bapaknya  mengatakan, tidak  memperbincangkan tanah sekolah. Sibuk, alasannya.
“Paham Pak, ini adalah bisnis. Tapi apakah menghalangi kebaikan. Mereka  pekerja Bapak. Apakah tidak bisa melepaskan sebagian? Tanah Bapak masih luas. Di arah Barat, bagaimana? Itu lahan kosong, bisakah disisihkan buat sekolah?”
“Itulah bisnis. Tidak mengenal hati tapi kantong.”
Sahara tidak gentar. Suri dan Sinta adalah potret bergelayut di batin: apakah kami bisa sekolah di Sepanggar? Bangunlah sekolah di sini! Mintalah lahan Tun Razak, bapakmu. Tanah di bagian Barat masih kosong, sekolah di sana bisa didirikan. Ucapan itu, menyentuh urat nadi di telinganya. Terkumpul media seribu.
 “Tidak! Jangan memaksa. Buat apa?”
“Kasihan. Mereka tidak bersekolah.”
“Tidak. Bisnis tetap bisnis. Jika mereka ingin tanah, bayar sepuluh kali lipat.”
“Mana cukup. Gajinya sepetak tanah yang bisa, apalagi...”
“Prinsip bisnis. Tidak ada uang maka pazal tidak jadi.”
*  *  *
   Memelas. Dua hari lalu, Haliza juga berusaha mirip udang kejepit batu. Di hadapan pakcik-nya, suara hati meradang sendu. Kasihani, lihat nasib dengar nestapa. Mereka memiliki hak bersekolah, namun belum merdeka. Argumentasi Haliza meranum wangi.
   “Haliza, usahlah berjaya mengharungi segala muslihatmu,” mengena ucapan Mustafa bin Mustafa, menghirup skenario Haliza, keponakannya, “Pakcik tidak akan terpedaya tipu helah-mu,” kemudian tersenyum mengangguk dalam, “titisan luar biasa. Tidak kuduga, engkau sudah dewasa, mau memikirkan nasib orang lain. Sungguh  mulia. Tapi?”
“Apa lagi Pakcik?”
“Kemarin dan hari ini jawapan yang diperolehi  tetap sama. Tanah Pakcik untuk sekolah menggagalkan pengembangan sawit di bagian Timur. Jika engkau mau  menyadarkan bahawa tanah kosong untuk amal, akan menjadi pengenalpastian kesilapan. Tanah di sana subur. Cocok ditanami sawit. Jika ingin memartabatkan anak-anak Indonesia bagus sekali, tetapi bagaimana kita?”
“Tidak!” laringal dan faringalnya meringis, vibrasi suara menghilang. Haliza memaklumat, tanah kosong di sebelah Barat belum ditanami. Gembur bukan gambut. Walaupun kosong, tetapi pekerja-pekerja Pakcik telah melakukan kerja-kerja pembersihan, pembarisan dan penanaman kacang penutup bumi di kawasan ladang. Itu hendaklah disempurnakan sebelum menanam anak-anak pokok kelapa sawit, “Haliza paham, pokok-pokok ladang di bagian sisi tanah kosong itu, dua atau tiga hari ini sedang dicantas. Pokok-pokok ladang berumur 18 bulan telah mencabik tenaga dan cucuran keringat. Bisakah dihentikan demi amal?”
 “Ingat! penubuhan usia enambelasmu menjadi wajib mengekalkan Melayu temurung, hampir perlahan dilupakan sesetengah pihak. Senyum dijaga, sapa disekap dan tetap menghibutkan dan menceriakan pelbagai penjuru. Soal ladang sawit 25 ekar adalah tanggung jawab mandor dan tenaga-tenaga kasar Indonesia. Mereka sengaja datang dengan upah setimpal,” sergahnya.
“Jangan pikirkan, Sinta, Suri dan anak pekerja itu! Jangan masuk persoalan garapan, ladang termasuk tanah. Itu urusan laki-laki, bukan urusan gadis Melayu bertudung sepertimu.”
* * *
Berjejer rapi dalam rebahan di papan kayu. Mata tertuju ke langit bersulam tapi kelam.         Memainkan otak. Suri dan Sinta dipapah masa depan, Sahara dan Haliza di ranah keputusasaan. Tangan disangga di kepala.
Lalu, mata Suri menerabas merpati-merpati putih, menukik, menari dan mementas tarian sabda alam. Gulana. Potret dan fotografi selaksa indah itu menyisakan gulana. Ada sisa gahara mencabik kenangan kampung. Kampung rantau Sepanggar menyentil  rindu pada Bakaru, kampung halamannya di Kabupaten Pinrang. Menari, mementas. Mata mengitari, sepasang merpati-merpati hinggap di perdu. Mereka bercengkerama tentang hari ini, hari esok. Di bawah perdu, tiba-tiba ayahnya berlari mengibas-ngibas biji keringat. Kulit legam melegam kian terlihat kala berlari-lari.
“Cepat! Kalian cepat kemasi barangmu.”
“Cepat,” bentaknya ketika melihat kami masih terdiam, masih rabahan,
“Tidak!” katanya sambil bangkit lalu mendekat, “Kalian harus harus melaporkan diri. Jangan lari lagi, tidak baik itu,” timpal Sahara.
“Kamu polos tapi bermasalah,” mata La Rauf berubah, bukan pamong tapi nyalang menerkam. La Rauf sepuluh tahun di kebun Tun Razak, namun tiga tahun berturut-turut tidak menerima gaji. Suri dan Sinta diboyong dari Pinrang, tapi bukan anugerah. Gaji dihentikan semenjak itu. Tun Razak pelangi harapan, dulu bukan sekarang. Malah, statusnya adalah pekerja gelap, tidak punya surat-surat resmi
Mendengar celutukan Sahara, La Rauf menjadi setan. Senyawa emosi mengguncang langit otak ke tujuhnya. Membuncah setengah gila malah gila.
Trakk.
“Ahhh!” lengkingan bersamaan. Kejadian berlalu cepat, kepalan mengena kepala.
Tidak puas, maju dan mau mengulangi. Kakinya bergedebuk. Trakk. Berita terburuk. Energi kesetanan menerjang mempan. Sahara susur ke belakang, terjatuh lalu meregang. Pingsang, entahlah mati. La Rauf kembali maju.
“Mau celaka. Mau dipancung, ah?” bergemeretak ucapannya ketika Suri dan Sinta menghalangi, berhasil memalang, “Mau ditangkap polis?”
Brukk. Keduanya lalu terdorong jatuh dan tidak berdaya. Tersisa, hanya pekikan bola mata melihat tetesan darah pembebasan. Tidak berdaya menyaksikan energi kebodohan, menyisakan jurang kian dalam, bukan antara kisah pilu di antara mereka. Tapi luas dan menerjang lama, Indonesia dan Malaysia. (Penulis adalah guru Sastra di SMA Negeri Unggulan Pinrang, alumni TWoR Forum Lingkar Pena, Sulsel. Pernah menulis novel Atonia Uteri, 2011).



.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar