Negara, Masyarakat Sipil
dan Demokrasi:
Sketsa Hibriditas
Irsyad Zamjani
Mahasiswa Pascasarjana Departemen Sosiologi UI
Banyak orang berasumsi bahwa orde reformasi menandai
berlangsungnya sebuah masa transisi; proses peralihan dari otoritarianisme orde
baru menuju orde demokrasi baru. Berbagai perangkat kenegaraan dan
kemasyarakatan baru disusun dalam upaya meneguhkan agar transisi ini kelak
menemukan akhir yang gemilang. Teori-teori tentang transisi demokrasi telah
menyuguhkan gambaran tentang bagaimana rezim-rezim otoritarian tumbang dan
rezim-rezim baru berupaya meraih sebuah cita-cita tentang demokrasi yang
terkonsolidasi (bdk. Diamond et.al., 1988). Teori ini pada mulanya dibangun melalui kajian-kajian tentang fenomena
demokratisasi di Amerika Latin dan Afrika. Keruntuhan rezim-rezim otoriter di benua
itu, membuat orang berpaling pada sistem demokrasi liberal ala Amerika Serikat
dan Eropa Barat. Beberapa teori menambahkan bahwa bahwa nilai-nilai demokrasi
di negeri-negeri itu harus dibangkitkan baik dari serpihan-serpihan tradisi
setempat maupun digerakkan melalui pembiakan institusi-institusi demokrasi
baru.
Demokrasi memang telah menjadi agama
global. Hampir tiada satu negeripun di belahan bumi ini yang tidak bereaksi
sensitif mendengar kata ini. Tapi, demokrasi juga melahirkan aneka tafsir terhadap
dirinya. Tiada satu penjelasanpun tentang demokrasi yang bisa merepresentasikan
maknanya yang absolut.
Akibatnya, tidak ada satu praktik demokrasi yang seragam di berbagai negara.
Meskipun Amerika dan Eropa Barat dianggap sebagai kampiun demokrasi dunia,
praktik demokrasi merekapun berbeda satu sama lain. Tapi, satu hal yang pasti,
praktik demokrasi negeri-negeri di kedua kawasan itu mereka menjadi rujukan
bagi praktik serupa di berbagai belahan dunia lainnya. Berbagai naskah akademik
yang diproduksi oleh para ilmuwan Barat tentang teori-teori demokrasi telah
menjadi bacaan wajib bagi para penganjur demokrasi di negara-negara yang
kemudian disebut sebagai Dunia Ketiga. Terhadap semua teori itu, respons yang
muncul juga beraneka rupa; menelannya habis-habis, menolaknya mentah-mentah
atau menyikapinya secara eklektik. Secara teoritis, mereka yang memuntahkannya
mentah-mentah akan dicap berada pada kutub otoritarian, yang mencecapnya
habis-habis secara otomatis menghuni kutub demokratis, sementara yang bersikap
eklektik akan berada pada kutub yang dalam wacana politik kontemporer disebut
kutub hibrida.
Untuk mengeksplorasi ketiga variasi
ini, penulis akan memulai dari definisi demokrasi yang dianggap standar dalam
teks-teks akademis Barat. Seturut teks standar Barat, demokrasi diartikan
sebagai cara mengelola pemerintahan dan partisipasi warganegara di dalamnya.
Salah satu teori dominan tentang demokrasi yang jamak diterima dalam wacana
demokrasi Barat adalah teori yang dikemukakan oleh Robert A. Dahl. Menurut
Dahl, karakteristik inti dari demokrasi memuat tiga hal. Pertama, adanya
persaingan yang sehat untuk meraih posisi-posisi dalam pemerintahan; kedua,
partisipasi warganegara dalam memilih para pemimpin politik dan; ketiga,
terselenggaranya kebebasan sipil dan politik, termasuk terjaminnya hak-hak
asasi manusia (Martinussen, 1997: 195). Rezim-rezim politik yang tidak memenuhi
ketiga persyaratan ini dapat dikategorikan sebagai rezim otoritarian, sementara
mereka yang telah dengan sempurna memenuhinya dapat dianggap telah demokratis.
Selanjutnya muncul pertanyaan tentang bagaimanakah “hukumnya” rezim-rezim yang
menerapkan hanya sebagian (entah kecil ataupun besar) dari ketiganya; atau
mengakomodasi semua persyaratan namun tidak sepenuhnya menerapkannya?
Rezim Hibrida
Para ilmuwan politik seperti Terry Lynn Karl, Friedbert W Rüb dan Heidrun Zinecker (2007) mengajukan
tesis baru tentang rezim hibrida. Mereka berupaya mencari titik terang dalam
ruang abu-abu antara demokrasi dan otoritarianisme. Menurut Karl, rezim hibrida
muncul sebagai persoalan transisi. Dia mengamati fenomena transisi demokrasi di
Amerika Tengah di mana perubahan rezim belum diiringi perubahan pemerintahan
yang oligarkis. Kondisi ini yang ia sebut sebagai hibriditas. Hibriditas akan
berakhir manakala konsolidasi demokrasi telah tercapai. Rub mengajukan
pandangan yang berbeda. Menurutnya, rezim hibrida adalah tipe yang bersifat
unik dan tidak terkait sama sekali dengan masalah transisi demokrasi. Rezim
hibrida adalah buah dari kombinasi dikotomik antara dua karakteristik: di satu
sisi adalah demokrasi (dengan pemilu yang bebas beserta aturan hukum yang
mengikat) dan, di sisi lain, otoritarianisme (dengan struktur pemerintahan
formal yang tidak pasti dan akses pada pemerintahan yang tidak dibatasi oleh
hukum). Rezim model ini bisa berlangsung di manapun dan kapanpun. Sementara
itu, Zinecker menyebut pendapat kedua pendahulunya tersebut bersifat
teleologis. Rub, menurutnya, secara implisit menyatakan bahwa jalan menuju
demokrasi yang ditempuh oleh bekas rezim otoritarian diinterupsi oleh rezim
hibrida. Ia pun hanya menggabungkan kedua segmen lama (otoritarianisme) dan
baru (demokrasi) sebagai satu tipe baru, tanpa menelaah kompleksitas rezim
hibrida itu sendiri yang, menurut Zinecker, bisa saja terdiri dari
segmen-segmen non-demokratis dan non-otoritarian sekaligus.
Atas dasar itu, Zinecker kemudian mengajukan tesisnya
sendiri tentang rezim hibrida. Ia memberikan lima kriteria untuk membangun apa yang disebutnya model
demokrasi/otoritarian dan non-demokrasi/non-otoritarian. Agar sebuah rezim
disebut (tidak) demokratis, ia harus memiliki lima hal: Pertama,
pemerintahan (non-) sipil. Hal ini untuk menggusur pemerintahan militer dan
menegakkan supremasi sipil atas militer. Kedua, (non-) poliarki. Ia
berfungsi untuk meluruhkan kemungkinan otoritarian dari rezim berpemerintahan
sipil dengan menegakkan suatu rezim demokratis-representatif. Versi
non-demokratis dari dua segmen pertama ini, pemerintahan non-sipil dan
non-poliarki, bisa menggiring pada tampilnya rezim otoritarian. Tapi, tiga
segmen sisanya berikut ini dalam versi non-demokratisnya tidak serta merta
merefleksikan otoritarianisme, namun mungkin menjadi basis bagi suatu bentuk
non-otoritarian dari sebuah rezim non-demokratis. Ketiga, (tidak) adanya
aturan hukum (rule of law). Ini membedakan rezim liberal dan
non-liberal. Keempat, ke(bi)adaban ([non-] civility). Penghapusan
kekerasan yang dilakukan segmen non-negara dari sebuah rezim dengan menegakkan
legitimasi monopoli negara atas penggunaan kekuatan dan kekerasan. Kelima,
eksklusi/inklusi politik. Penghapusan segmen rezim yang memiliki watak politik
eksklusif agar terbuka partisipasi yang tak terbatas dan tanpa kekerasan dari
semua kekuatan politik. Singkatnya, adanya sebuah rezim demokratis-parsipatoris
dan masyarakat sipil yang otonom.
Yang menarik dari kajian Zinecker adalah analisisnya
tentang civil society sebagai satu bagian dari pembentuk rezim hibrida.
Rezim politik menyangkut gaya pemerintahan. Ia tidak identik dengan negara; ia
bahkan melampaui negara. Maka, kajian tentang rezim tidak hanya menyangkut
kajian tentang relasi antar-institusi negara, namun juga menelaah hubungan
antara negara dan masyarakat sipil dan, di sisi lain, hubungan di antara
warganegara aktif secara politik namun hidup tanpa bergantung pada negara. Agar
pemerintahan berjalan efektif, sebuah rezim harus memiliki jangkauan pada
masyarakat sipil. Bagi Zinecker, tidak ada pemerintahan yang efektif jika dalam
masyarakat sipilnya masih terdapat aktor-aktor yang bisa memveto kekerasan.
Dalam rezim non-otoritarian, tindak kekerasan terbesar muncul dari aktor-aktor
non-negara yang berada di dalam masyarakat sipil. Keadaban sebuah rezim politik
dengan demikian bertumpu pada keadaban masyarakat sipil. Demokrasi yang berlangsung
pada level negara tidak selalu berjalan seiring dengan demokrasi pada tingkat
masyarakat sipil. Zinecker ingin meluruhkan teori-teori yang selalu melihat
masyarakat sipil secara normatif dan mengabaikan telaah yang lebih analitis. Ia
ingin melihat masyarakat sipil dari dalam dirinya sendiri, bukan dari luar.
Selama ini terdapat pemisahan antara negara yang politis dan masyarakat sipil
yang non-politis. Negara yang politis cenderung “buruk” atau tidak beradab (uncivilized)
dan masyarakat sipil terkesan “baik” atau beradab (civilized).
Bagi Zinecker, masyarakat sipil adalah semua struktur
dan asosiasi yang dibentuk oleh aktor-aktor yang mengisi ruang societal antara
keluarga, ekonomi dan negara. Masyarakat sipil bersifat politis dan merupakan
bagian dari rezim politik. Ia bisa mencakup segmen demokratis dan
non-demokratis, beradab dan biadab sekaligus. Masyarakat sipil yang demokratis
adalah pula yang beradab (civilized), namun masyarakat sipil yang
beradab tidak mesti demokratis.
Wacana tentang rezim hibrida menarik diperbincangkan
dalam konteks Indonesia; apakah ia relevan? Akan tetapi, soal pokok yang
terlebih dahulu harus dijawab adalah bagian manakah dari rezim-rezim di
Indonesia yang hendak disangkutkan dengan perdebatan ini? Jawaban dari pertanyaan
itu terkait dengan posisi terhadap konsep hibriditas itu sendiri. Menurut
penulis, hibriditas yang ditawarkan oleh Zinecker tak ubahnya bersifat
teleologis, seperti halnya yang ditawarkan oleh dua orang pendahulunya.
Zinecker hanya lebih banyak mengakomodasi kompleksitas, namun tetap
mempertahankan konsep-konsep yang lebih merupakan klaim-klaim tentang esensi
seperti demokrasi dan otoritarianisme. Zinecker memang tidak menyebut secara
spesifik di tanah mana demokrasi sejati telah berhasil disemai. Namun, dalam
paparannya ia selalu mengulang-ulang dikotomi antara negara-negara maju dan
berkembang dengan mengisyaratkan yang pertama sebagai demokratis dan yang
terakhir sebagai otoritarian atau hybrid. Akan tetapi, di sisi yang
lain, jawaban dari pertanyaan ini juga harus diletakkan pada konteks spasial
dan temporal yang paling relevan dan paling disorot dari Indonesia terkait
dengan pengalaman demokratisasinya.
Posisi hibriditas yang menjadi afinitas penulis adalah
versi yang banyak dikemukakan oleh teoritisi pascakolonial. Hibriditas dalam
model ini muncul sebagai strategi dan praktik kebudayaan. Ia senantiasa berada
pada ambang liminal yang menghindarkan diri dari setiap kategorisasi yang
bersifat biner; demokratis versus otoritarian, maju versus berkembang dan
sebagainya. Ia menghuni apa yang oleh Homi Bhaba disebut ruang ketiga dari
setiap oposisi biner. Hibriditas mengatakan bahwa semua kategori budaya
senantiasa bersifat transnasional dan translasional. Bersifat transnasional
karena wacana-wacana pascakolonial kontemporer berakar pada sejarah khusus
tentang perpindahan budaya, baik lewat perbudakan, ‘pelancongan’ dengan misi
pemeradaban, migrasi penduduk Dunia Ketiga ke Barat setelah Perang Dunia II,
atau lalu lintas para pengungsi politik dan ekonomi baik di dalam maupun di
luar negeri-negeri Dunia Ketiga. Bersifat translasional karena sejarah-sejarah
spasial tentang perpindahan tersebut – sekarang diikuti dengan ambisi-ambisi
territorial dari teknologi media global – menjadikan persoalan tentang bagaimana
budaya menandai, atau apa yang ditandai oleh budaya, sebagai sebuah isu yang
kompleks (Bhaba… ). Demokrasi-pun bersifat transnasional dan translasional. Apa
yang oleh Amerika disebut sebagai kampanye demokrasi, misalnya, bagi
bangsa-bangsa lain tak lebih sebagai model baru otoritarianisme. Penulis
berpendapat bahwa tidak ada sebuah rezim yang selamanya demokratis atau
otoritarian, entah di bangsa-bangsa Barat maupun Timur. Karena merupakan sebuah
praktik kebudayaan, analisis tentang hibriditas sejatinya tidak terletak pada
analisis normatif-institusional, namun dalam praktik yang dilakukan oleh
aktor-aktornya. Meskipun bersikap kritis terhadap pendekatan Zinecker, penulis
melihat bahwa ia telah menunjukkan adanya ruang ketiga hibriditas dengan kemungkinan
hadirnya suatu rezim non-demokratis yang berkarakter non-otoritarian.
Dalam sejarah Indonesia kontemporer, isu ini akan
lebih relevan jika dikaitkan dengan perkembangan Indonesia pasca-Reformasi.
Pasca keruntuhan rezim orde baru yang oleh banyak pengamat disebut sebagai
rezim pembangunan represif-otoritarian (lihat Herbert Feith, 1980),
Indonesia memang segera menentukan langkahnya menempuh jalan demokratisasi.
Dalam standar teks demokrasi, Indonesia relatif telah terbebas dari
otoritarianisme. Persyaratan pertama dan kedua yang diajukan Zinecker telah
dipenuhi oleh Indonesia. Supremasi sipil atas militer dan kekuasaan yang
representatif relatif telah terpenuhi, meskipun tidak sepenuhnya. Tidak ada
lagi kekuatan mayoritas. Dua kali pemilu yang digelar pada tahun 1999 dan 2004
menunjukkan puspa ragam kekuatan politik baru, meski tidak benar-benar baru.
Pada pemilu pertama, PDI-P, yang merupakan metamorforsa dari PNI orde lama dan
PDI orde baru, menjadi partai pemenang pemilu. Meski demikian, kadernya kalah
dalam permainan politik di MPR memperebutkan kursi presiden. Pemenangnya justru
kader dari partai pemenang keempat, PKB. Namun, presiden terpilih inipun
kemudian terjungkal dalam permainan politik yang sama.
Elitisme memang tidak bisa terkontrol pada tahap awal
demokrasi baru ini. Demokrasi dirayakan penuh euforia. Partai-partai bekerja
sama secara radikal dan beroposisi secara fundamental pula. Abdurrahman Wahid
dipilih dan dijatuhkan oleh orang-orang yang persis sama. Pada tahap
selanjutnya, aturan main pun diubah. Konstitusi, kitab suci yang diagungkan
sebelumnya, bahkan sudah empat kali diamandemen. Sistem pemilu diubah dari
proporsional menjadi semacam perpaduan antara distrik- proporsional. Hal ini
untuk memperagam rekrutmen elite bukan hanya atas basis keparpolan, namun juga
representasi kedaerahan. Apalagi selanjutnya diatur pembentukan lembaga semacam
senat, DPD, demi hanya menyiasati status MPR yang keberadaannya terancam
setelah beberapa kewenangannya terpangkas. Presiden memang tidak lagi dipilih
MPR, namun dipilih oleh langsung oleh rakyat. DPD-pun tidak memiliki tugas yang
jelas layaknya senat dalam sistem demokrasi modern. Pada pemilu 2004, bekas
kekuatan politik rezim otoritarian terguling, Partai Golkar, berhasil
memenangkan pemilu, meskipun bukan (lagi) sebagai mayoritas tunggal. Namun,
yang mengejutkan, presiden pilihan langsung rakyat bukan berasal dari partai
pemenang, melainkan dari partai yang sama sekali baru, Partai Demokrat.
Namun, drama politik belum berhenti. Elitisme belum
pula pudar. Partai-partai besar di DPR, disponsori PDI-P, Partai Golkar dan
PPP, segera membangun aliansi oposisi yang menamakan diri Koalisi Kebangsaan.
Partai penguasa yang bersikap panik dan reaktif membangun tandingannya; koalisi
kerakyatan. Peta koalisipun rontok setelah penguasa berhasil merebut
kepemimpinan politik di partai pemenang pemilu, Partai Golkar. Penguasa juga
diuntungkan dengan konflik-konflik internal yang terjadi pada beberapa partai
besar seperti PPP dan PKB. Konflik itu justru membuat partai-partai tersebut
mendekat pada kekuasaan. Akibatnya, di satu sisi, persebaran elite politikpun
menjadi timpang. Pemerintah mengalami pengeroposan dari dalam karena banyaknya
kekuatan politik yang bermain di dalamnya. Dalam kasus ini, memang rezim
otoritarian telah berlalu, tapi rezim yang efektif tidak kunjung nampak pula.
Terkait dengan kriteria ketiga, adanya supremasi
hukum, pada tarap permukaan nampak berjalan. Tapi, penegakan hukum lebih mirip
sebagai sebuah etalase politik daripada sebuah kinerja mandiri dan terlembaga
yang dilakukan oleh para penegak hukum. Beberapa kasus besar yang ditangani
para penegak hukum saat ini, misalnya, lebih banyak menjerat para elite
penguasa lama yang notabene sekarang menjadi kekuatan oposisi. Beberapa orang
yang terindikasi kasus pelanggaran hukum tertentu, namun berhasil merapat ke
kekuasaan terjamin “keselamatan” mereka. Model penegakan hukum semacam itu
hanya semakin membuat orang mengembangkan taktik-taktik baru pelanggaran hukum.
Jika dahulu, misalnya, budaya korupsi menghuni ranah ketaksadaran, sekarang ia
telah menjadi bagian dari praktik kebudayaan yang dilakukan secara sadar. Ia
muncul dalam kesadaran ganda aparat birokrasi; sebagai aparatus negara modern
dan kuasi aristokrat. Karakter beambtenstaat warisan kolonial memang
masih menyisakan persoalan (bdk. Sutherland dalam Kayam, 1989). Bagi
para penyelenggara pemerintahan yang berpenghasilan paspasan namun
berpenampilan selaksa aristokrat, korupsi adalah cara produksi alternatif dan
spekulatif. Selain itu, adanya supremasi hukum di sini lebih banyak
berimplikasi pada rapuhnya kuasa negara, terutama, dalam mengontrol persaingan
ekonomi. Selain karena perilaku koruptif aparat, para pengusaha kaya juga
selalu menyewa pengacara papan atas yang mampu menyiasati tafsiran pasal-pasal
sehingga meloloskan mereka dari jerat hukum.
Kriteria keempat menyangkut keadaban sebuah rezim.
Sebuah rezim disebut beradab manakala terjadi perpaduan antara civilized
state dan civilized civil society. Negara beradab ketika ia memiliki
legitimasi atas monopoli penggunaan kekuatan dan kekerasan. Secara hukum TNI
dan Polri memiliki legitimasi itu. Persoalan terjadi para ranah masyarakat
sipil. Di beberapa tempat masih terdapat unsur-unsur dari masyarakat sipil yang
gemar memobilisasi kekuatan melakukan razia bahkan penghakiman sepihak tanpa
aparat mampu mencegahnya. Kehadiran laskar-laskar yang seringkali
mengatasnamakan agama tertentu dan melakukan aksi-aksi sepihak masih menjadi pemandangan
yang menonjol baik di pusat maupun terutama di daerah-daerah. Konflik-konflik
komunal di Kalimantan, Ambon, Poso dan Papua juga melibatkan unsur-unsur
masyarakat sipil yang bersenjata. Beberapa analis memang menyebutkan bahwa
aparat berwenang memiliki keterlibatan baik dalam pemersenjataan maupun
pembiaran aktivitas mereka. Namun, hal itu tidak mengurangi krisis keadaban
yang terjadi dalam masyarakat sipil. Kriteria keempat tersebut memiliki
korelasi dengan kriteria kelima tentang inklusifitas/eksklusifitas politik
sebuah rezim. Dalam rezim reformasi, partisipasi publik memang dibuka secara
lebar dan dijamin oleh konstitusi. Meski demikian, masih terdapat segmen
tertentu dari rezim baik dari level negara maupun masyarakat sipil yang
berwatak eksklusif dan membatasi partisipasi warganegara lainnya. Fatwa-fatwa
penyesatan yang dilakukan oleh MUI dan diamini oleh berbagai ormas keagamaan
adalah contoh dari pengekangan atas partisipasi demokratis. Hal itu ditambah
dengan aksi penyerbuan massa terhadap para pengikut ajaran-ajaran tertentu yang
tidak sesuai dengan mainstream ajaran tertentu. Kampanye-kampanye
penegakan syariat Islam oleh beberapa elemen umat Islam dalam beberapa hal juga
merupakan kasus yang sama.
Masyarakat Sipil Pascafordisme
Jika menilik kategori standar mengenai masyarakat
sipil, memang tidak pada tempatnya meletakkan organisasi-organisasi keagamaan
dan etnisitas pada kategori tersebut (lihat Allan). Tapi, tanpa memasukkannya
orang tidak akan mendapatkan penjelasan apapun tentang masyarakat sipil di
Indonesia. Muhammad AS Hikam telah menjelaskan dengan baik peran strategis
ormas-ormas keagamaan sebagai bagian dari masyarakat sipil yang menjadi
pendorong demokratisasi di Indonesia. Varian lain dari organisasi masyarakat
sipil di Indonesia, tentu saja, adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang
mulai berkecambah sejak tahun 1970-an, ormas kepemudaan dan organisasi
intelektual. Cerita-cerita tentang organisasi-organisasi masyarakat sipil di
Indonesia era orde baru sarat dengan cerita-cerita kepahlawanan yang romantis.
Mereka tampil sebagai penggerak barisan oposisi dan sponsor kemandirian
masyarakat. Meskipun, banyak pula dari mereka yang menjadi komprador negara,
kepanjangan tangan negara di masyarakat atau bahkan bermuka dua. Watak organisasi
masyarakat sipil di Indonesia mulai menampak pascareformasi, terutama, ketika
terjadi migrasi besar-besaran aktivis organisasi masyarakat sipil menjadi
politisi dan pejabat publik. Agenda demokratisasi yang menjadi misi
reformasi-pun semakin gencar disorongkan. Dan, rezim hibrida-pun lahir dari
perdebatan mereka. Namun, rezim hibrida selanjutnya melahirkan juga hibrida
baru dalam organisasi masyarakat sipil.
Penting dicatat, jalan demokrasi, selain pilihan,
adalah juga prasyarat yang diberikan untuk mengakhiri krisis ekonomi.
Hibriditas dalam konteks Indonesia, dengan demikian, harus diletakkan dalam
konteks upaya Indonesia menyelesaikan krisis ekonominya yang sebagian besar
dilakukan dengan menerima resep-resep tawaran IMF dan Bank Dunia. Indonesia
sejatinya tengah mengulang kembali sejarah negara-negara Afrika dan Amerika
Latin di awal 1990-an yang menempuh transisi demokrasi mereka melalui program
penyehatan ekonomi. Dalam paket resep itu, demokratisasi memang menjadi
prasyarat utama yang digariskan oleh lembaga-lembaga tersebut. Demokratisasi,
dalam hal ini, menyangkut pemenuhan prosedur-prosedur penyelenggaraan kekuasaan
tertentu; mulai dari pemilu demokratis hingga good governance (bdk.
Abrahamsen, 2004). Pada puncaknya, demokratisasi dimuarakan pada
liberalisasi; the best government is the least government. Partisipasi
publik dibuka lebar-lebar dengan menekan intervensi negara pada batas minimal;
dunia usaha harus dibangkitkan kembali dengan menyemarakkan pasar investasi;
beberapa perusahaan negara perlu disehatkan dengan melakukan privatisasi dan;
aturan hukum dibuat secara ketat untuk menjamin persaingan ekonomi yang sehat.
Demokratisasi dalam konteks itu bagi sebagian besar
organisasi masyarakat sipil di Indonesia memiliki dilema tersendiri. Di satu
sisi, ia adalah sebuah keharusan sejarah, namun di sisi lain, ia tidak
diharapkan karena berkembang melalui intervensi asing. Namun, terlepas dari
semua perdebatan tentang liberalisasi, masyarakat sipil-pun “dipaksa” untuk
menempatkan diri dalam arus liberalisasi yang berlangsung. (Diper)lemahnya
peran negara secara otomatis membuat masyarakat sipil mereguk keuntungan
tersendiri. Di satu sisi, lembaga-lembaga donor asing lebih melirik mereka
daripada negara. Di sisi lain, negara juga membutuhkan mereka demi mengais
legitimasi dan menyewa tenaga professional mereka. Kucuran donor asing semakin
melimpah ruah dan proyek pemerintah pun tak pernah sepi. Organisasi masyarakat
sipil inipun bahkan melakukan hal-hal yang semestinya menjadi tugas negara; mulai
penghitungan hasil pemilu hingga pengentasan kemiskinan. Merekapun juga
mengambil alih banyak tugas-tugas legislatif dan yudikatif; mulai pengawasan
kinerja pemerintah hingga investigasi kasus-kasus korupsi. Mereka menyadari
posisi strategis ini, sehingga, tak heran jika pascareformasi, industri LSM pun
semakin berkecambah.
Maka, alih-alih menyelesaikan misinya sebagai motor
gerakan sosial, organisasi masyarakat sipil justru berkembang menjadi industri
jasa modern. Mereka memiliki kantor-kantor yang dikelola secara professional.
Bagi institusi-institusi yang mapan, para aktivisnya mengisi lapisan
kelas-kelas borjuis baru. Mereka tidak hanya bekerja di satu institusi, namun
pada banyak lainnya. Lingkup kerja mereka tidak lagi nasional, namun dalam sistem
jaringan transnasional. Institusi masyarakat sipil ini memang menjadi cara
produksi kapitalis baru yang mulai meninggalkan sistem produksi massal a la
perusahaan manufaktur. Mereka menyemarakkan apa yang disebut sebagai generasi
kapitalisme pascafordisme dengan paradigma flexible production (Thompson…).
Dalam pascafordisme terjadi transformasi bukan hanya tentang bagaimana kita
membuat sesuatu, namun juga bagaimana kita hidup dan apa yang kita konsumsi.
Kerja dalam cara ini adalah sesuatu yang integral dengan totalitas kehidupan;
orang tidak dilokalisir dalam ruang bersekat atau dibatasi oleh waktu kerja,
tapi dibiarkan menentukan ritmenya sendiri. Tidak seperti produksi massal yang
mempekerjakan buruh tidak terampil, produksi fleksibel menuntut para pekerja
yang terpelajar dan memiliki kemampuan mengendalikan dirinya sendiri. Produksi
fleksibel terutama muncul dalam lembaga-lembaga penyedia jasa; klinik, firma
hukum, jasa konsultan, institusi pendidikan dan sebagainya. Organisasi
masyarakat sipil dapat dimasukkan di dalamnya dengan pertimbangan karakteristik
yang sama. Perbedaannya hanya pada dimensi transaksinya; instansi profit pada
umumnya melakukan transaksi horizontal dengan nasabah, customer atau
klien, sementara ormas atau LSM bertransaksi secara vertikal dengan donator.
Di sini, kemudian muncul persoalan tentang keadaban (civility)
dan kewarganegaraan (civic) yang memberi karakter bagi masyarakat sipil.
Keadaban tidak lagi sekadar menyangkut isu-isu kekerasan, namun juga isu
kemandirian; sementara kewarganegaraan menyangkut tanggung jawab politis
sebagai warganegara. Kedua isu saling bertautan satu sama lain. Kemandirian
terhadap negara tidak lantas digantikan pada ketergantungan pada yang lain
sehingga mengikis tanggung jawab kewarganegaraannya. Dan, organisasi masyarakat
sipil di negeri ini, terbukti dihimpit oleh tekanan negara dan swasta. Secara
ekonomi, organisasi masyarakat sipil tersebut adalah organisasi pemburu rente;
mereka bergantung pada donor mana yang bersedia menerima program-program mereka
atau memberikan proyek-proyek baru bagi mereka. Namun, secara politis, ada
empat posisi yang jamak dipilih. Pertama, berkolaborasi dan menerima
proyek-proyek pemerintah secara total. Kedua, menghindari kerjasama dengan
negara dengan lebih membuka diri pada swasta. Ketiga, menolak kerja sama dengan
negara maupun dengan pihak swasta tertentu, semisal lembaga donor internasional
atau perusahaan industri berat. Keempat, menerima kerja sama dari manapun
secara professional tanpa harus terikat. Pada umumnya, ormas dan NGO memilih
posisi keempat. Dan, pada posisi ini, berbagai ideologi dan idealisme
diperdebatkan, ditata ulang bahkan ditransgresikan.
Di sini kita sampai pada perdebatan kita tentang
hibriditas dan liminalitas. Apakah dengan memungut donasi swasta asing, orang
telah menggadaikan kewarganegaraannya? Apakah dengan bekerjasama dengan
pemerintah, orang telah membuang kemandiriannya? Apakah dengan menerima
keduanya, orang telah melupakan idealismenya? Tiada satupun yang menyangkal
bahwa diskursus tentang masyarakat sipil sendiri bukanlah diskursus yang
tercipta karena pengalaman domestik, namun diskursus impor yang diapropriasi
oleh pengalaman lokal. Di tempat asalnya, masyarakat sipil bersifat mandiri
(dari negara) karena hidup beriringan dengan berfungsinya ekonomi pasar
kapitalis. Organisasi-organisasinya hidup dari bisnis mandiri, seperti media,
atau dari kesadaran filantropis masyarakatnya yang tinggi. Sementara, saat
datang ke negeri-negeri berkembang, ide-ide ini dicangkokkan pada ragam organisasi
yang ada. Seperti kita persaksikan, iapun selanjutnya dirawat oleh kapitalisme
pasar; baik domestik maupun asing. Ia dipromosikan dalam misi liberalisasi dan
demokratisasi yang salah satu idenya adalah berkurangnya intervensi negara
(terhadap pasar). Namun soalnya, diskursus nasionalisme belumlah pudar
seluruhnya. Di satu sisi, lembaga-lembaga kapitalis asing masihlah merupakan
representasi dari kepentingan entitas-entitas tertentu berlabel bangsa, negara
atau kawasan. Di sisi lain, berkurangnya intervensi negara, di sini lebih
berarti lemahnya kekuatan dan kekuasaan negara. Karena soalnya selalu
kapitalisme, maka, pada tahap domestik, para kapitalis nasional lebih berkuasa
daripada institusi tertinggi negara. Dari perombakan kabinet SBY sejak edisi pertama
hingga terakhir, misalnya, orang dapat melihat betapa kokohnya posisi Aburizal
Bakrie, raja lumpur yang anak perusahaannya telah terbukti – secara sangat
meyakinkan sekali – mengubur puluhan desa di Sidoarjo.
Namun persoalan-persoalan di atas tidak selalu bekerja
dalam aras logika tunggal, ia bersifat sangat kompleks. Dan, masyarakat sipil
hibrida selalu menyiasatinya. Sebagaimana pasar yang bekerja mencapai tujuannya
sendiri, masyarakat sipil inipun pada akhirnya berkembang menggapai identitasnya
sendiri.
Daftar Pustaka
Abrahamsen, Rita, Sudut Gelap Kemajuan: Relasi Kuasa dalam
Wacana Pembangunan (terj. Heru Prasetia). Yogyakarta: Lafadl. 2004
Allan, Kenneth, Contemporarty Social and Sociological Theories: Visualizing Social
Worlds. California: Pine Forge Press. 2006
Bhabha, Homi K, The Location of Culture. London: Rouletge. 1994
Diamond, L., Seymour M. Lipset dan
J.J. Linz (eds). Democracy in Developing
Countries. Boulder: Westview Press. 1988
Feith, Herbert. “Repressive-Developmentalist
Regimes in Asia: Old Strenghts, New Vulnerabilities.” Prisma-The Indonesian Indicator 19 December 1980. Hlm. 39-55.
Kayam, Umar. “Transformasi Budaya
Kita.” Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan
Guru Besar pada Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, 19 Mei 1989.
Jogjakarta: UGM Press.
Martinussen, John. Society, State & Market: A Guide to
Competing Theories of Development. London: Zed Books. 1997
Zamjani, Irsyad. “Abad Korupsi”. Kompas, 8 November 2005.
Zinecker, Heidrun. Democracy, Diversity, And Conflict:
Regime-Hybridity and Violent Civil Societies in Fragmented Societies –
Conceptual Considerations. Ithaca: Cornell University Peace Studies
Program. 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar