Minggu, 04 Maret 2012

November 24, 2011 — Muhammad Karwapi
Tudampenni Upacara adat mappacci dilaksanakan pada waktu tudampenni, menjelang acara akad nikah/ijab kabul keesokan harinya. Upacara mappacci adalah salah satu upacara adat Bugis yang dalam pelaksanaannya menggunakan daun pacar (Lawsania alba), atau Pacci. Sebelum kegiatan ini dilaksanakan biasanya dilakukan dulu dengan mappanré temme (khatam Al-Quran) dan barazanji. Daun pacci ini dikaitkan dengan kata paccing yang makananya adalah kebersihan dan kesucian. Dengan demikian pelaksanaan mappacci mengandung makna akan kebersihan raga dan kesucian jiwa.
Sebagaimana yang tertera dalam ungkapan bahasa Bugis yang mengatakan bahwa: Mappacci iyanaritu gau’ ripakkéonroi nallari ade’, mancaji gau’ mabbiasa, tampu’ sennu-sennuang, ri nia’ akkatta madécéng mammuaréi naiyya nalétéi pammasé Déwata Séuwaé
Adapun urutan dan tata cara mappacci adalah sebagai berikut: Sebelum acara mappacci dimulai, biasanya dilakukan padduppa (penjemputan) mempelai. Calon mempelai dipersilakan oleh Protokol atau juru bicara keluarga: Patarakkai mai bélo tudangeng Naripatudang siapi siata Taué silélé uttu patudangeng Padattudang mappacci siléo-leo Riwenni tudang mpenni kuaritu Paccingi sia datu bélo tudangeng Ripatajang mai bottinngngé Naripattéru cokkong ri lamming lakko ulaweng Ungkapan ini berarti : Calon mempelai dipersilakan menuju pelaminan. Pelaminan di sisi para pendamping. Duduk saling berdekatan satu sama lain. Mereka duduk bersuka ria di malam tudampenni, mappacci pada sang raja/ratu mempelai nan rupawan. Tuntunlah dan bimbinglah sang raja/ratu menuju pelaminan yang bertahtakan emas.
Dalam pelaksanaan mappacci disiapkan perlengkapan yang kesemuanya mengandung arti makna simbolis seperti :
• Sebuah bantal atau pengalas kepala yang diletakkan di depan calon pengantin, yang memiliki makna penghormatan atau martabat, kemuliaan dalam bahasa Bugis berarti mappakalebbi.
• Sarung sutera 7 lembar yang tersusun di atas bantal yang mengandung arti harga diri.
• Di atas bantal diletakkan pucuk daun pisang yang melambangkan kehidupan yang berkesinambungan dan lestari.
• Di atas pucuk daun pisang diletakkan pula daun nangka sebanyak 7 atau 9 lembar sebagai permakna ménasa atau harapan.
• Sebuah piring yang berisi wenno yaitu beras yang disangrai hingga mengembang sebagai simbol berkembang dengan baik sesuai dengan arti bahasa Bugisnya (mpenno rialéi).
• Tai bani, patti atau lilin yang bermakna sebagai suluh penerang, juga diartikan sebagai simbol kehidupan lebah yang senantiasa rukun dan tidak saling mengganggu.
• Daun pacar atau pacci sebagai simbol dari kebersihan dan kesucian.
Penggunaan pacci ini menandakan bahwa calon mempelai telah bersih dan suci hatinya untuk menempuh akad nikah keesokan harinya dan kehidupan selanjutnya sebagai sepasang suami istri hingga ajal menjemput. Daunpacar atau pacci yang telah dihaluskan ini disimpan dalam wadah bekkeng sebagai permaknaan dari kesatuan jiwa atau kerukunan dalam kehidupan keluarga dan kehidupan masayarakat. Pelaksanaan Orang-orang yang diminta untuk meletakkan pacci pada calon mempelai biasanya adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan sosial yang baik dan punya kehidupan kehidupan rumah tangga yang bahagia. Semua ini mengandung makna agar calon mempelai kelak di kemudian hari dapat hidup bahagia seperti mereka yang meletakkan pacci di atas tangannya. Jumlah orang yang meletakkan pacci ke tangan calon mempelai adalah biasanya disesuaikan dengan stratifikasi sosial calon mempelai itu sendiri. Untuk golongan bangsawan tertinggi jumlahnya 2 x 9 orang atau dalam istilah Bugis “duakkaséra”. Untuk golongan bangsawan menengah sebanyak 2 x 7 orang atau “duappitu”. Sedangkan untuk golongan di bawahnya bisa 1 x 9 atau 1 x 7 orang. Cara memberi pacci kepada calon mempelai adalah sebagai berikut: Diambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan (telah dibentuk bulat supaya praktis), lalu diletakkan daun dan diusap ke tangan calon mempelai. Pertama ke telapak tangan kanan, kemudian telapak tangan kiri, lalu disertai dengan doa semoga calon mempelai kelak dapat hidup dengan bahagia. Kemudian kepada orang yang telah memberikan pacci diserahkan rokok sebagai penghormatan.
Dahulu disuguhi sirih yang telah dilipat-lipat lengkap dengan segala isinya. Tetapi karena sekarang ini sudah jarang orang yang memakan sirih maka diganti dengan rokok. Sekali-kali indo’ botting menghamburkan wenno kepada calon memepelai atau mereka yang meletakkan daunpacar tadi dapat pula menghamburkan wenno yang disertai dengan doa. Biasanya upacara mappacci didahului dengan pembacaan Barzanji sebagai pernyataan syukur kepada Allah SWT dan sanjungan kepada Nabiyullah Muhammad SAW atas nikmat Islam. Setelah semua selesai meletakkan pacci ke telapak tangan calon mempelai maka tamu-tamu disuguhi dengan kue-kue tradisional yang diletakkan dalam bosara. Biasanya acara mappacci ini didahului dengan ritual sebagai berikut: Ripasau Sementara dalam kesibukan mempersiapkan pesta pernikahan maka diadakan pula persiapan-persiapan yang tak kalah pentingnya yaitu perawatan pengantin (ripasau/mappasau). Biasanya perawatan ini dilakukan sebelum hari pernikahan (3 hari berturut-turut atau karena keterbatasan waktu hanya dilakukan 1 kali saja pada saat sebelum kegiatan mappacci). Ripasau atau mappsau ini dilakukan pada satu ruangan tertentu yang terlebih dahulu dipersiapkan dengan memasak berbagai macam ramuan yang terdiri dari daun sukun, daun coppéng, daun pandan, rampa para’pulo dan akar-akaran yang harum dalam belanga yang besar.
Mulut belanga ditutup dengan batang pisang yang diberi terowongan bambu sepanjang tangga rumah yang disumbat dengan tutup periuk. Uap yang keluar kemudian akan menghangatkan tubuh sampai membuka pori-pori kulit sehingga mengeluarkan keringat dari seluruh tubuh sehingga tubuh menjadi bersih dan segar. Namun sebelum kegiatan ini, terlebih dahulu pengantin dipakaikan bedak basah atau lulur yang terdir atas beras yang telah direndam dan telah ditumbuk halus bersama kunyit dan akar-akaran yang harum ditambah dengan rempah-rempah. Ramuan ini kemudian dilulurkan ke seluruh permukaan badan. Dahulu kala ritual ini dilaksanakan selama 40 hari, dewasa ini hanya 3 hari atau 7 hari atau malah hanya 1 kali sebelum acara tudampenni atau mappacci. Cemmé passili’, Mappassili’ Disebut juga cemmé tula’ bala yaitu permohonan kepada Allah SWT agar kiranya dijauhkan dari segala macam bahaya atau bala, yang dapat menimpa khususnya bagi calon mempelai. Prosesi ini dilaksanakan di depan pintu rumah dengan maksud agar kiranya bala atau bencana dari luar tidak masuk ke dalam rumah dan bala yang berasal dari dalam rumah bisa keluar. Tata caranya: Upacara ini biasanya dilaksanakan pasa jam 10.00 (sedang naiknya matahri) dan dilakukan di depan pintu rumah. Calom mempelai perempuan atau laki-laki memakai baju biasa dan sarung yang tidak terlalu lusuh (tua), karena baju ini nantinya akan diserahkan kepada indo’ botting yang melaksanakan cemmé passili’ ini. Calon mempelai duduk di atas kelapa yang masih utuh yang diletakkan di atas sebuah loyang besar, disamping itu diletakkan sebuah ja’jakang yaitu sebuah bakul yang berisi:
• Satu gantang beras
• Pesse pelleng (lilin) 2 buah
• Kelapa yang masih utuh
• Gula merah
• Pala (sepasang)
• Kayu manis
• Sirih segar
• Pinang beberapa buah
Dalam upacara mappassili’ dilakukan kedua lilin atau pesse pelleng harus dinyalakan. Kemudian disiapkan berbagai macam bahan yang akan digunakan sebagai ramuan dan dicampurkan ke dalam air dalam gentong yang terbuat dari tanah liat. Dari beberapa sumber disebutkan bahwa sumber air yang akan digunakan biasanya berasal dari beberapa sumur bersejarah dan masih dianggap punya kelebihan (keramat) dibanding sumber air biasa. Sumur yang dianggap suci di masyarakat Bone ini ada beberapa diantaranya yaitu: Bubung Manurungé disebut juga bubung Cemma yang terletak di jalan Manurungé (tidak ada lagi)
• Bubung Lassonrongdisebut juga bubung suwabeng terletak di sekitar jalan Lassonrong sekarang jalan Irian. (tidak ada lagi)*
• Bubung Laccokkong yang treletak di sekitar jalan Serigala di lingkungan Laccokkong Kel. Watampone. Bubung Lagaroang yang terletak di Kelurahan Bukaka.
• Adapun bahan-bahan yang akan digunakan adalah:
• Daun sirih simbol harga diri
• Daun serikaja simbol kekayaan
• Daun waru simbol kesuburan
• Daun tebu simbol kenikmatan
• Daun ta’baliang simbol penangkis bala
• Bunga cabbéru simbol keceriaan
• Daun cangadori simbol penonjolan
• Maja alosi atau mayang pinang
Kedelapan bahan tersebut dimasukkan ke dalam gentong atau loyang terbuat dari tanah liat sebagai simbol lekat atau saling melengket yang telah dialasi dengan semacam tikar yang disebut okkong/appereng sebagai simbol jalinan kebersamaan. Setelah semuanya siap maka dilakukanlah penyiraman pertama yang dilakukan oleh indo’ botting dengan membaca Basmalah kemudian dilanjutkan dengan membaca beberapa doa kiranya Allah SWT senantiasa memberikan berkah –Nya kepada calon mempelai.
Berikut ini lafal doa klasik yang biasa diucapkan oleh indo’ botting:
” Bismillahi Rahmani Rahim Bismillahi Rahmani Rahim Ulaweng ri Nabi Hélléré. Upaénré ri rpammu. Namaccayya ri rupammu. Ri aolomu Nacculé Nabié ri olomu. Ia maneng padammu ripancaji. Ri Puang Allah Taala makkita. Mappuji maneng Barakka’na Nabi Muhammad Cayyana Nabi Yusufu cayyamu Musiannennungeng bidadari ri Laleng suruga…..dst. Penyiraman dimulai dengan: Kepala 3x kemudian selangkah/bahu kanan 3x. Bahu kiri 3x, punggung dan seluruh badan sebanyak 3x. Sesudah Indo’ botting mempersilahkan kepada pinisepuh/ kleuarga lainnya untuk melakukan hal yang sama. Setelah selesai maka air itu pun dipercikkan ke arah luar pintu rumah dengan maksud agar semua yang tidak baik keluar pula melalui pintu. Sesudah cemme passili’ atau mappassili’ selesai maka calon mempelai baik itu laki-laki maupun perempuan disilakan mandi seperti biasa.
Calon mempelai perempuan kemudian memakai :
• Waju tokko warna merah jambu
• Lipa’ sabbé warna hijau dan perhiasan sekedarnya. Calon mempelai pria bisa memakai:
• Waju belladada (warna tidak ditentukan)
• Lipa’ sabbé yang serasi
• Songko’ pamiring
Sesudah acara mappassili’ atau cemme passili’ selesai maka calon mempelai perempuan maupun calon mempelai laki-laki didudukkan di lamming untuk mengikuti upacara lainnya. Macceko Macceko berarti mencukur rambur-rambut halus yang ada pada dahi dan di belakang telinga, agar supaya “dadasa” yaitu riasan hitam pada dahi yang akan dipakai pada calon mempelai perempuan pada waktu dirias dapat melekat dengan baik. Bagi puteri bangsawan acara macceko ini merupakan acara tersendiri, mereka menggunakan kostum yang sederhana yang terdiri dari : Waju tokko ukuran panjang dengan warna bakko (merah jambu) Lipa’ sabbé warna hijau Perhiasan sederhana seperti simatayya, bangkara, gelang lola, kalung kote, bunga simboléng, dan pinang goyang. Calon mempelai didudukkan di atas tikar pandan yang bulat dilengkapi dengan alat kebesaran keluarganya yang biasanya terdiri dari: Lellu’ yang dipegang oleh 4, 6, 8 orang tergantung dari stratifikasi sosial mempelai itu sendiri. Disamping itu pula duduk indo’ pasusu sekuarang-kurangnya 2 orang.
Acara ini dimeriahkan pula dengan iringan gendrang bali sumange. Acara macceko ini hanya diperuntukkan bagi calon mempelai perempuan. Dahulu kala model dadasa ini berbeda antara perempuan yang bangsawan dan perempuan dari kalangan biasa.
Kuru’sumange….
Muhammad Karwapi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar