Sabtu, 17 Maret 2012

Kompetensi Penerjemahan Dan Dampaknya Pada Kualitas Terjemahan
Penulis :
Prof. Drs. Mangatur Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D.
Dalam suatu seminar, E. David Seals, presiden AMC Entertainment International menyatakan, “We, the people doing international business, are the ones bringing the world together, not the diplomats.” Genser menambahkan, “But most can’t do it without translators and interpreters because we are the facilitators who allow them to communicate with each other.” (1994: 59). Pernyataan Genser tersebut menunjukkan bahwa penerjemah merupakan fasilitator yang memungkinkan dua pihak yang tidak sebahasa dapat berkomunikasi dengan baik.
Sejalan dengan pernyataan di atas, hampir dalam setiap literatur teori penerjemahan disebutkan bahwa penerjemah mempunyai peranan yang sangat penting dalam komunikasi interlingual. Peranan penting penerjemah tersebut akan sangat menonjol apabila pihak-pihak yang terlibat dalam suatu komunikasi tidak saling memahami sebagai akibat dari perbedaan sistem kebahasan dan budaya yang mereka miliki. Fenomena yang seperti itu dapat ditemukan dalam kehidupan kita sehari-hari. Proses persidangan di pengadilan yang melibatkan orang asing sebagai saksi atau terdakwa, misalnya, tidak akan mungkin berlangsung dengan baik tanpa kehadiran seorang penerjemah (baca: alihbahasawan). Demikian pula, dokumen-dokumen seperti ijazah, transkrip akademik, akte kelahiran, akte perkawinan yang dipersiapkan oleh para dosen Indonesia yang hendak studi lanjut keluar negeri tidak akan dapat diproses lebih lanjut tanpa kehadiran penerjemah yang bertugas untuk menerjemahkan dokumen-dokumen tersebut ke dalam bahasa asing. Dalam skala yang lebih luas, ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari negara-negara barat akan sulit kita cerna jika kita tidak memiliki terjemahan buku yang memuat kedua bidang tersebut.
Peranan penting para penerjemah dalam menjembatani kesenjangan komunikasi tidak selalu sejalan dengan penghargaan yang mereka terima (Nababan, 2004). Di satu sisi, para penerjemah dituntut untuk mampu menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Di sisi lain, penghargaan yang mereka terima tidak sebanding dengan jerih payah mereka. Jika demikian halnya, sudah saatnya bagi kita untuk menganalogikan penerjemah dengan seorang dokter spesialis, bukan dengan seorang tukang sepatu. Analogi yang saya maksudkan disajikan di bawah ini.
Seorang ibu yang hendak melahirkan pasti mengetahui bahwa di dalam kandungannya terdapat bayi. Namun, dia tidak tahu cara mengeluarkan bayi tersebut. Jika proses kelahiran bayi itu harus melalui operasi, dia mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama adalah dia pergi ke tukang sepatu dan memintanya untuk membedah kandungannya dan menjahit bekas sayatan tadi. Cara ini akan lebih cepat dan murah tetapi resikonya sangat tinggi. Pilihan kedua adalah dia meminta dokter ahli kandungan untuk melakukan pembedahan tersebut. Cara ini akan lebih lama dan mahal, tetapi resikonya sangat rendah. Seorang ibu yang cerdas dan bijaksana sudah pasti akan memilih pilihan yang kedua.
Hal yang sama tentunya juga terjadi pada klien terjemahan. Seorang klien terjemahan yang cerdas dan bijaksana tidak akan meminta bantuan seorang penerjemah pemula, yang kualitas terjemahannya sulit dipertanggungjawabkan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya para klien terjemahan di Indonesia cenderung menggunakan terjemahan yang cepat dan murah walau resiko yang ditimbulkannya bisa fatal. Bahkan, tidak sedikit klien terjemahan di Indonesia yang sangat mengandalkan program komputer seperti TransTool, yang hasil terjemahannya cenderung tidak akurat. Sulit dibayangkan apa yang akan terjadi jika program komputer yang seperti itu digunakan untuk menerjemahkan teks-teks yang beresiko tinggi seperti teks hukum, teks kedokteran, teks keagamaan, teks teknik dan lain sebagainya.
II. Kompetensi Bilingual
Di atas telah dijelaskan bahwa penerjemah mempunyai peran penting dalam komunikasi interlingual. Dia mampu menjembatani kesenjangan komunikasi karena dia mempunyai kompetensi yang baik dalam dua bahasa, yaitu bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kemampuan yang seperti itu pada dasarnya juga dimiliki oleh komunikator lainnya, yaitu dwibahasaan atau bilingual. Oleh sebab itu, ada anggapan bahwa seseorang yang menguasai dua bahasa dapat menerjemahkan dengan baik. Atas dasar pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa seorang dwibahasaan akan secara otomatis dapat menerjemahkan dengan baik pula. Para pakar teori penerjemahan tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Dalam kaitan itu, perlu kiranya dipaparkan kemampuan bilingual yang dimaksudkan.
Dalam Cobuild English Dictionary (1987), bilingual diartikan sebagai (1) involving or using two languages (bilingual education), (2) someone who is bilingual can speak two languages extremely fluently, usually because they learn both languages as a child. Pengertian bilingual (1) berkonotasi negatif atau pejoratif karena merujuk pada para siswa yang mengikuti kelas khusus dalam rangka meningkatkan kemampuan mereka dalam bahasa kedua (baca: bahasa Inggris). Fenomena seperti ini banyak ditemukan di negara-negara penutur asli bahasa Inggris seperti Inggris, Amerika, Australia, dan Selandia Baru, yang memberikan kesempatan pada anak-anak imigran untuk meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris mereka. Pengertian bilingual (2) berkonotasi positif karena bilingual diartikan sebagai orang yang mampu berkomunikasi dalam dua bahasa dengan baik.
Kemampuan bilingual dalam menggunakan dua bahasa dengan baik sangat ditentukan oleh kompetensi komunikatif yang dimilikinya, yang mencakup:
1. Kompetensi gramatikal: pengetahuan kaidah bahasa yang meliputi kosa kata, pembentukan kata, pelafalan dan struktur kalimat. Pengetahuan dan ketrampilan yang seperti ini sangat dibutuhkan dalam memahami dan menghasilkan tuturan.
2. Kompetensi sosiolinguistik: pengetahuan dan kemampuan untuk menghasilkan dan memahami tuturan yang sesuai dengan konteks (misalnya, siapa berbicara tentang apa, dimana, kapan).
3. Kompetensi wacana: kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna untuk menghasilkan teks lisan dan tulis yang padu.
4. Kompetensi strategik: penguasaan terhadap strategi berkomunikasi (Bell, 1991: 41)
Bilingual mampu menggunakan dua bahasa. Tergantung pada kemampuan bilingual, situasi bilingualisme ditandai oleh adanya interferensi, campur kode, dan alih kode dalam kegiatan berkomunikasi dan merupakan sifat melekat dalam penggunaan bahasa oleh bilingual. Interferensi merujuk pada penggunaan fitur suatu bahasa ketika bertutur dan menulis dalam bahasa lain (Mackey, 1970). Hal yang sama juga terjadi pada campur kode. Fenomena ini terjadi secara tidak disadari dan acapkali dipahami sebagai ketidak mampuan penulis atau penutur dalam menggunakan bahasa kedua. Sebaliknya, alih-kode dilakukan secara sadar oleh penulis atau penutur dan merujuk pada penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam proposisi yang sama atau dalam suatu percakapan (Presas, 2000: 26). Alih kode tersebut, menurut Holmes (1992: 4), acap kali sangat pendek dan dilakukan terutama untuk tujuan sosial, misalnya, untuk menunjukkan identitas sosial penutur dan solidaritas dengan mitra tutur. Interferensi dan alih kode juga bisa terjadi di kalangan penerjemah. Namun tujuan interferensi dan alih kode dalam penerjemahan berbeda. Bagi penerjemah, penerjemahan bukan sekedar alih-kode.
Penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan sistem dan budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Ciri utama penerjemahan ini acapkali digunakan sebagai landasan untuk menyatakan bahwa kedwibahasaan (bilingualism) merupakan fondasi dalam melakukan kegiatan menerjemahkan. Pernyataan tersebut didukung sepenuhnya oleh para pakar teori penerjemahan. Akan tetapi, penguasaan terhadap dua bahasa belum menjamin sesorang dapat menerjemahkan dengan baik.
Seguinot (1997: 106) berpendapat bahwa penerjemahan tidak hanya melibatkan bilingualisme. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tidak semua orang yang menguasai dua bahasa dapat menerjemahkan dengan baik. Fakta menunjukkan bahwa pada umumnya sebagian besar anggota masyarakat di Indonesia dapat menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dengan baik. Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang mampu menggunakan lebih dari dua bahasa. Namun, ketika dihadapkan pada penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, mereka akan mengalami kendala. Penutur asli bahasa Jawa, misalnya, akan mengalami kesulitan dalam menerjemahkan kunduran bis ke dalam bahasa Indonesia. Hal yang hampir sama juga dialami oleh penutur asli bahasa Batak Tapanuli ketika berusaha menemukan padanan yang tepat untuk ungkapan tuhor ni manuk dalam bahasa Indonesia (tuhor ni manuk = uang hasil penjualan ayam). Padahal, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa atau Batak Tapanuli masih termasuk dalam rumpun yang sama, yang pada hakikatnya memiliki banyak persamaan baik dari segi sistem maupun budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa tersebut. Di samping itu, hampir setiap hari mereka menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa daerah baik dalam situasi formal maupun informal. Persoalan akan semakin rumit jika mereka dihadapkan pada dua bahasa (misalnya, bahasa Inggris dan bahasa Indonesia) yang secara sintaksis dan sosiobudaya berbeda satu sama lain. Timbul pertanyaan, kompetensi apa saja yang dimiliki oleh seseorang sehingga dia dapat disebut sebagai penerjemah? Sebelum pertanyaan ini dijawab, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan penerjemahan dan penerjemah.
Penerjemahan adalah proses pengalihan pesan dari bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Jika dikaji lebih dalam, yang dimaksud dengan proses pada hakekatnya adalah proses pengambilan keputusan dalam komunikasi interlingual lintas dua budaya yang berbeda. Konsep ini menjadi sangat penting karena berhasil tidaknya suatu terjemahan menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks terjemahan sangat dipengaruhi oleh dua hal. Hal pertama adalah kemampuan atau kompetensi penerjemah dalam menjalankan tugasnya. Jika penerjemah mempunyai kompetensi yang baik, dia akan dapat melakukan proses pengambilan keputusan ini dengan baik. Dia akan dapat memutuskan dengan tepat kata, istilah dan struktur kalimat untuk digunakan dalam terjemahannya. Hal kedua yang turut mempengaruhi proses pengambilan keputusan tersebut adalah pembaca teks bahasa sasaran (Ruuskanen, 1996). Karena suatu terjemahan pada umumnya ditujukan pada pembaca tertentu, penerjemah perlu mempertimbangkan pilihan kata, istilah, struktur kalimat yang sesuai dengan tingkat keterpahaman dan budaya pembaca teks terjemahan. Dalam praktik penerjemahan yang sesungguhnya di Indonesia, aspek pembaca ini acapkali diabaikan oleh penerjemah. Sebagai akibatnya, tidak sedikit terjemahan yang dihasilkan tidak bisa dipahami dan diterima oleh pembaca. Jika hal yang seperti ini terjadi, terjemahannya tidak bisa menjalankan fungsi dengan baik.
III. Kompetensi Penerjemahan dan Perkembangan Kompetensi Penerjemahan
Menerjemahkan merupakan kegiatan yang kompleks (Schaffner & Adab, 2000: viii), sulit dan rumit (Somearno, 2003). Agar dia dapat mengambil keputusan yang efektif, cepat dan tepat dalam setiap proses penerjemahan, penerjemah memerlukan beberapa kompetensi, yang tidak hanya sekadar kompetensi bilingual. Kompetensi merupakan sistem yang mendasari pengetahuan dan keterampilan yang membuat sesorang dapat melakukan hal-hal khusus. Jadi, kompetensi penerjemahan dapat didefinisikan sebagai sistem yang mendasari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat menerjemahkan (PACTE, 2000: 100).
Para pakar penerjemahan mempunyai pendapat yang sama bahwa penerjemah harus mempunyai pengetahuan agar mereka dapat menerjemahkan. Penerjemah harus memiliki pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang penerjemahan) dan pengetahuan prosedural (tahu cara menerjemahkan) (Schaffner & Adab, 2000; Anderson, 1983, dalam PACTE, 2000). Kedua jenis pengetahuan itu mendasari kompetensi yang digunakan sebagai istilah yang membawahi keterampilan dan unsur-unsur keahlian.
Sebagai bentuk khusus kompetensi komunikatif, kompetensi penerjemahan terdiri atas beberapa subkompetensi. Dalam kaitan itu, Neubert (2000: 6) mengidentifkasikan lima parameter kualitatif kompetensi penerjemahan, yaitu kompetensi kebahasaan, kompetensi tekstual, kompetensi bidang ilmu, kompetensi kultural, dan kompetensi transfer.
Penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran (kompetensi kebahasaan) merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia dapat menerjemahkan. Penguasaan yang dimaksud di sini menyangkut penguasaan sistem morfologi, leksikal dan gramatikal kedua bahasa tersebut.
Dalam kegiatan penerjemahan yang sesungguhnya, para penerjemah jarang menerjemahkan kalimat-kalimat lepas (isolated sentences). Pada umumnya mereka berhadapan dengan berbagai macam teks. Oleh karena itu mereka harus mengetahui cara kalimat-kalimat digabungkan menjadi paragraf dan cara paragraf-paragraf digabungkan menjadi teks (kompetensi tekstual). Tergantung pada bidang wacana yang sedang diterjemahkan, mereka harus tahu cara teks bahasa sumber dan bahasa sasaran disusun. Pendek kata, mereka harus peka terhadap fitur linguistik dan tekstual bahasa sumber dan bahasa sasaran (Neubert, 2000: 8).
Penguasaan seseorang terhadap sistem linguistik fitur tekstual bahasa sumber dan bahasa sasaran tidak selalu dapat menjamin bahwa dia dapat menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Aspek lain yang perlu dimilikinya adalah penguasaan bidang ilmu yang diterjemahkan (kompetensi bidang ilmu). Namun, perlu dicatat bahwa penguasaan yang dimaksudkan di sini jangan disamakan dengan penguasaan seorang ahli. Adalah tidak realistis jika seseorang harus menjadi ahli kimia, kedokteran atau biologi terlebih dulu jika dia ingin menerjemahkan teks di bidang-bidang tersebut. Yang paling penting sebenarnya, terlepas dari bidang ilmu yang diterjemahkannya, adalah bahwa penerjemah harus tahu cara dan alat yang dibutukan untuk mengatasi persoalan penerjemahan (baca: ketakterjemahan atau ketidaksepadanan (Neubert, 2000: 9). Namun, bila dia sudah akrab dengan bidang ilmu yang diterjemahkan, dia akan dapat dengan lebih mudah memahami isi atau pesan teks bahasa sumber sebagai langkah awal yang sangat penting ke proses pengalihan pesan tersebut ke dalam teks bahasa sasaran.
Terdapat kesan di kalangan orang yang awam di bidang penerjemahan dan penerjemah pemula bahwa kompetensi kultural hanya diperlukan dalam penerjemahan karya-karya sastra. Jika kita sependapat bahwa proses penerjemahan teks, baik yang bersifat akademik maupun sastra, selalu terikat dengan budaya, maka kompetensi budaya sangat dibutuhkan. Di samping itu, bila kita berpandangan bahwa penerjemah berperan sebagai "agent for affecting a symbiosis of the source culture and target culture at the linguistic level" (Mohanty, 1994: 28), jelaslah bahwa penerjemah harus menguasai budaya bahasa sumber dan bahasa sasasaran. Menurut Witte (1994: 71) penerjemah harus kompeten dalam dua budaya.
Kompetensi lainnya adalah kompetensi transfer. Kompetensi ini merujuk pada taktik dan strategi untuk mengalihkan teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran (Neubert, 2000: 10). Pada dasarnya, ke empat kompetensi yang disebutkan di atas juga dimiliki oleh bilingual kecuali kompetensi transfer. Kompetensi transfer inilah yang membedakan penerjemah dari komunikator lainnya. Neubert lebih lanjut mengatakan:
“whatever they may boast about their knowledge, their amazing individual competences, their language skills and their multifarious erudition or their in-depth specialists expertise, even their profound understanding of two or more cultures, all these competences are feathers in the translators' cap. But if this excellent equipment is not matched by the unique transfer competence to produce an adequate replica of an original they have failed. It is not enough to know about translating, it has to be done” (Neubert, 2000: 10)
Konsep kompetensi transfer tersebut sudah diredefinisi oleh PACTE, sebuah kelompok peneliti yang mengkaji proses pemerolehan kompetensi penerjemahan. Mereka berpendapat bahwa pada dasarnya bilingual juga memiliki kompetensi transfer walau pada tingkat yang masih rendah. Yang tidak dimiliki oleh bilingual adalah kompetensi strategik, yang pada umumnya dimiliki oleh penerjemah profesional untuk mengatasi persoalan penerjemahan (PACTE, 2003).\
Terkait dengan cara seseorang memperoleh kompetensi penerjemahan, Harris (1977) dan Harris & Sherwood (1978) memperkenalkan konsep penerjemahan alamiah. Mereka berpendapat bahwa secara alamiah, seorang dwibahasawan memperoleh kemampuan menerjemahkan sejalan dengan perkembangan kompetensinya dalam dua bahasa. Pendapat yang hampir sama juga dikemukakan oleh Toury (1984: 189-190) yang menyatakan bahwa dwibahasawan mempunyai kompetensi penerjemahan bawaan (innate translation competence) yang terdiri atas kompetensi bilingual, kompetensi interlingual dan kompetensi transfer. Dia memandang kompetensi bilingual sebagai fondasi kompetensi penerjemahan (Toury, 1986). Di samping itu, Toury menyatakan bahwa kompetensi dalam dua bahasa bersinggungan dan titik singgung itu disebut kompetensi transfer, yaitu kemampuan untuk menerjemahkan teks. Namun, dia tidak percaya bahwa kemampuan menerjemahkan harus berasal dari proses bilingualisme (dalam Shreve, 1997: 121).
Lorscher (1986, 1995) memandang bahwa penerjemahan alamiah merupakan “a result of a translation ability evidenced by bilinguals communicating in real mediating situations” (dalam Shreve, 1997: 122). Dia membedakan kompetensi penerjemahan alamiah dari kompetensi penerjemahan yang dimiliki oleh pembelajar bahasa kedua, yang terbentuk bukan dari situasi komunikasi nyata tetapi dari situasi didaktik atau pengajaran formal. Lebih lanjut, dia mengatakan, “a translation ability, which is acquired naturally is sense oriented while the translation skill of the second language learners is sign oriented.” Dalam pandangan Loscher, penerjemahan profesional merupakan “bentuk penerjemahan alamiah yang sudah dikembangkan” (Shreve, 1997: 122).
Konsep Harris & Sherwood tentang penerjemahan alamiah, gagasan Toury tentang titik singgung kompetensi dalam dua bahasa yang menghasilkan kompetensi penerjemahan, dan pandangan Loscher perihal sifat berbeda dari kompetensi penerjemahan yang diperoleh oleh bilingual dan pembelajar bahasa kedua pada umumnya dapat diterima. Para pakar penerjemahan juga menerima pandangan bahwa kompetensi bilingual merupakan fondasi yang ideal bagi kompetensi penerjemahan. Akan tetapi, pernyataan bahwa penerjemahan profesional berkembang dari penerjemahan alamiah masih diperdebatkan. Banyak terjemahan yang berkualitas dihasilkan setiap hari oleh penerjemah profesional yang kompetensi penerjemahannya diperoleh tidak secara alamiah tetapi melalui pelatihan (vokasional atau akademik).
Seperti yang telah diuraikan di atas, pakar yang berbeda mempunyai gagasan pandangan yang berbeda perihal cara kompetensi penerjemahan berkembang. Terlepas dari perbedaan tersebut, dalam literatur-literatur teori penerjemahan disebutkan bahwa variabilitas merupakan sifat melekat atau ciri khusus dari penerjemahan. Shreve (1997) menyatakan, “there is little evidence that professional translators translate identically" (h. 125). Hal yang sama juga dikatakan oleh Seguinot (1997: 104):
“Translators and people who study translation know that different text types require different approaches, and that different people can translate the same text in different ways. It is also clear that different levels of competence, familiarity with the material to be translated, as well as different interpretations of the nature of the assignment will lead to differences in processes and results”.
Seguinot (1997) menyebutkan dua faktor utama yang menyebabkan timbulnya variabilitas dalam penerjemahan. Faktor penyebab pertama adalah berbedanya gaya kognitif penerjemah dan faktor penyebab kedua adalah berbedanya sejarah pemerolehan kompetensi penerjemahan. (1997: 126-127).
IV. Pengertian Istilah “Penerjemah” dan Tipe-tipe Penerjemah
            Setelah membahas peran penting penerjemah, kompetensi bilingual dan kompetensi penerjemahan, perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan istilah “penerjemah” dan tipe-tipe penerjemah. Secara sederhana, penerjemah diartikan sebagai orang yang menghasilkan terjemahan. Namun, apakah setiap orang yang menerjemahkan dapat disebut penerjemah. Apakah siswa SMA yang menerjemahkan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atas perintah gurunya dapat dikategorikan sebagai penerjemah? Para pembaca naskah pidato pengukuhan ini akan dengan serta merta mengatakan “Tidak”.
Penerjemah adalah mediator dalam komunikasi interlingual. Kehadirannya sangat dibutuhkan jika terjadi kesenjangan komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks sasaran. Ketika penerjemah melakukan tugasnya, dia terlibat dalam suatu proses pengambilan keputusan dalam rangka menghasilkan suatu terjemahan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penerjemah dapat dipengaruhi oleh faktor pembaca. Namun, tepat tidaknya keputusan yang dibuatnya sangat ditentukan oleh kompetensinya.
Pembuatan keputusan dalam proses penerjemahan tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. Dengan kata lain, tidak semua orang dapat menerjemahkan dan orang yang menerjemahkan tidak secara otomatis dapat disebut sebagai penerjemah (Rothe-Neves, 2007). Bahkan seorang bilingual pun tidak dapat dikategorikan sebagai penerjemah. Pakar psikolinguistik, yang juga tertarik untuk mengkaji mekanisme kognitif dasar yang melandasi penerjemahan, misalnya, cenderung memandang bilingual sebagai pengguna bahasa daripada penerjemah (Presas, 2000: 22).
Kecenderungan memperlakukan bilingual sebagai pengguna bahasa daripada penerjemah bukan tanpa alasan. Seperti halnya penerjemah, bilingual dapat berkomunikasi dalam dua bahasa. Bilingual mempunyai beberapa kompetensi komunikatif, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategik (Bell, 1991: 41) yang juga dimiliki oleh penerjemah. Namun, tidak seperti penerjemah, bilingual tidak selalu memiliki kompetensi transfer (Neubert, 1994: 412).
Dipandang dari cara mereka memahami dan menghasilkan teks, penerjemah dibagi menjadi empat tipe: penerjemah asosiatif, penerjemah subordinat, penerjemah majemuk, dan penerjemah koordinat (Presas, 2000). Berdasarkan cara memahami dan menghasilkan informasi, Presas (2000) menyediakan profil psikolinguistik penerjemah pemula dan ahli. Seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1, ada empat perbedaan utama antara penerjemah ahli dan penerjemah pemula. Pertama, penerjemah ahli mempunyai keterampilan khusus kebahasaan. Sebaliknya, penerjemah pemula tidak memiliki keterampilan itu. Kedua, penerjemah ahli dan penerjemah pemula mempunyai memori dwibahasa. Penerjemah ahli digolongkan sebagai penerjemah koordinat, sedangkan penerjemah pemula dikategorikan sebagai penerjemah kompaun atau subordinat. Ketiga, penerjemah ahli dapat mengendalikan interferensi pada saat dia memahami dan menghasilkan informasi. Sebaliknya, penerjemah pemula tidak mempunyai mekanisme tersebut. Keempat, penerjemah ahli cenderung mempertimbangkan penerjemahan pada tataran teks, sedangkan penerjemah pemula cenderung memandang penerjemahan sebagai proses alih kode pada tataran kata.
Novice translator Expert translator
• Non-specialized linguistic skills
• Bilingual memory (compound or subordinated)
• Unconscious interference mechanism
• Code-switching mechanism (lexical level) • Specialized linguistics skills
• Bilingual memory (coordinated)
• Control over interference in both reception and production
• Heuristic text transfer procedures
• Cognitive features: flexibility, lateral thinking, capacity for
remote association
Cara lain untuk menggolongkan penerjemah ialah dengan melihat status profesi dan sifat kerja mereka sehari-hari. Menurut status profesinya, penerjemah digolongkan ke dalam penerjemah amatir, penerjemah semi-profesional, dan penerjemah profesional. Penerjemah amatir adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan sebagai hobi. Sebaliknya, penerjemah profesional adalah penerjemah yang menghasilkan terjemahan profesional bukan demi hobi tetapi demi uang (lihat Robinson, 1997: 33). Penerjemah semi-profesional adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan untuk memperoleh kesenangan diri dan uang.
Berdasarkan sifat kerja sehari-hari mereka, penerjemah digolongkan menjadi penerjemah paroh waktu dan penerjemah penuh waktu. Penerjemah paruh waktu biasanya melakukan tugas penerjemahan sebagai pekerjaan sampingan. Sebaliknya, penerjemah penuh waktu melakukan tugas itu sebagai pekerjaan utama untuk mencari uang. Pembagian ini mengisyaratkan bahwa penerjemah paroh waktu dapat disebut penerjemah semi-profesional sedangkan penerjemah penuh waktu dapat dikategorikan sebagai penerjemah profesional.
Selain status profesi dan sifat kerja sehari-hari yang telah diuraikan di atas, ada beberapa karakteristik yang membedakan penerjemah profesional dari penerjemah semi-profesional atau penerjemah amatir. Robinson (1997: 26-44) menyebutkan tiga ciri penting penerjemah profesional, yaitu 1) rasa bangga terhadap profesi, penghasilan, dan rasa senang dalam melakukan pekerjaan.
V. Kriteria Terjemahan yang Berkualitas
Bagi orang awam di bidang penerjemahan, terjemahan dipandang sebagai alat komunikasi antara para pembaca dan penulis asli. Para pembaca membutuhkan terjemahan karena mereka tidak bisa akses ke dalam teks bahasa sumber. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau mereka menginginkan terjemahan yang dapat dengan mudah mereka pahami. Keinginan yang seperti itu seringkali dijadikan sebagai dasar untuk menentukan kualitas terjemahan. Bagi mereka, terjemahan yang berkualitas adalah terjemahan yang enak dibaca.
Bagi mereka yang berpengetahuan banyak di bidang penerjemahan, terjemahan juga dipandang sebagai alat komunikasi. Bagi mereka berhasil tidaknya sebuah terjemahan dalam menjalankan fungsinya sebagai alat komunikasi akan sangat tergantung pada mutunya, dan mutu terjemahan tidak hanya ditentukan oleh faktor “enak dibaca atau mudah dipahami”. Lebih dari itu, aspek keakuratan pengalihan pesan dan keberterimaan terjemahan bagi para pembaca juga merupakan dua aspek penentu berkualitas tidaknya sebuah terjemahan.
Peletakan keakuratan pengalihan pesan sebagai salah satu sifat penting dari terjemahan yang berkualitas bukan tanpa alasan. Jika ditilik kembali beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar penerjemahan, di dalamnya ditonjolkan masalah pengalihan pesan, bukan pengalihan bentuk bahasa. Bahkan, terdapat kesepakatan di kalangan para pakar bahwa suatu teks disebut sebagai terjemahan jika teks tersebut mempunyai hubungan padanan dengan teks bahasa sumber. Yang dimaksud dengan hubungan padanan itu sebenarnya adalah kesamaan isi atau pesan di antara keduanya. Oleh karena itu, teks terjemahan yang mengalami banyak kehilangan pesan bukan terjemahan yang berkualitas. Demikian pula, terjemahan yang kandungan isinya jauh lebih banyak dari isi atau kandungan teks aslinya bukanlah terjemahan yang setia.
Kesamaan pesan antara teks bahasa sumber dan teks bahasa sasaran harus diprioritaskan. Di samping itu, pesan tersebut harus dibungkus atau disampaikan dengan bahasa yang sesuai norma dan budaya pembaca bahasa sasaran. Dengan kata lain, aspek keberterimaan merupakan aspek penting lainnya yang turut menentukan berkualitas tidaknya sebuah terjemahan. Suatu terjemahan yang tidak sesuai kaidah, norma dan budaya yang berlaku dalam bahasa sasaran merupakan terjemahan yang tidak alamiah dan akan ditolak oleh pembaca.
Konsep keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan ini perlu dipahami dengan baik. Akan tetapi, “akurat, berterima dan mudah dipahami” merupakan konsep yang relatif. Dengan kata lain, pernyataan tentang terjemahan yang akurat, berterima dan mudah dipahami akan sangat tergantung pada orang yang menilainya. Dikotomi benar-salah yang dikemukakan oleh Hoed (2003), misalnya, dengan jelas menggambarkan betapa subyektifnya parameter akurat yang digunakan untuk menentukan tingkat kesetiaan teks bahasa sasaran pada teks bahasa sumber. Demikian pula, dikotomi domesticating-foreignizing (Hoed, 2003) menimbulkan keadaan yang dilematis dalam menilai kualitas terjemahan. Di satu sisi, domesticating dan foreignizing pada hakikatnya merupakan strategi yang digunakan penerjemah dalam mengatasi masalah-masalah penerjemahan. Di sisi lain, implementasi dari strategi itu akan sangat dipengaruhi oleh ideologi penerjemah, yang kadang kala tidak sama dengan ideologi orang yang memberikan tugas penerjemahan dan ideologi pembaca teks bahasa sasaran. Banyak orang tidak begitu mempersoalkan hal-hal yang berbau asing (foreingnizing) dalam terjemahan, dan tidak sedikit orang mengharapkan agar terjemahan disesuaikan dengan budaya bahasa sasaran (domesticating).
VI. Dampak Kompetensi Penerjemahan pada Kualitas Terjemahan
Di atas telah disebutkan perihal hubungan timbal balik antara kompetensi penerjemahan dan kualitas terjemahan. Jika kompetensi penerjemahan yang dimiliki seseorang baik, dia akan mampu menerjemahkan suatu teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Sebaliknya, jika kompetensinya buruk, terjemahan yang dihasilkannya akan tidak berkualitas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kompetensi penerjemahan mempunyai implikasi pada kualitas terjemahan.
Di bawah diberikan contoh-contoh terjemahan untuk menunjukkan rendahnya kompetensi penerjemahan yang dimiliki penerjemah.
Contoh 1:
Bahasa sumber:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) pengaruh penerapan metode PBK dan metode tradisional pada praktikum berdesain konstruktivisme (PBK) terhadap pemahaman konsep gerak melingkar beraturan (GMB) dengan memperhatikan prior knowledge, 2) pengaruh investigasi (investigation skill) terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan prior knowledge, 3) interaksi antara PBK dan investigasi (investigation skill) terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan prior knowledge.
Sejalan dengan tujuan tersebut, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen. Penelitian dilaksanakan di SMU NEGERI 3 Sukorharjo dengan teknik pengambilan sampel secara cluster random sampling. Kelompok eksperimen dikenai perlakuan PBK. Teknik pengumpulan data untuk pemahaman konsep dan prior knowledge dilakukan dengan menggunakan tes pilihan ganda, sedangkan investigasi (investigation skill) dinilai dengan 1 (baik) dan 0 (rendah). Data dianalisis dengan teknik ANCOVA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat pengaruh penerapan metode PBK dan metode traditional pada praktikum fisika terhadap pemahaman konsep gerak melingkar beraturan dengan memperhatikan prior knowledge (F = 0,069, p < a), 2) terdapat pengaruh perbedaan investigation skill terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan kemampuan awal (F = 0,038 p > a). 3) Tidak terdapat interaksi antara penerapan metode PBK dan traditional dan praktikum dan investigation skill terhadap pemahaman pemahaman konsep gerak melingkar beraturan dengan memperhatikan kemampuan awal (F= 0,414; p > a ).
Bahasa sasaran:
Target of this research is to know: 1) influence applying of PBK method and traditional method at konstruktuvisme berdesain praktikum (PBK) to understanding of circle motion concept of order (GMB) by paying attention knowledge prior 2) influence of[is investigation of (skill investigation) to understanding of GMB concept by paying attention knowledge prior 3) interaction between PBK and investigation (skill investigation) to understanding of GMB concept by paying attention knowledge prior.
In line with the target, research conducted by using experiment method. Research executed in SMU NEGERI 3 Sukoharjo with technique intake of sample by cluster sampling random. Experiment group hit by treatment of PBK. Technique data collecting to the understanding of knowledge prior and concept [done/ conducted] by using double helix tes, while investigation (skill investigation) assessed by 1 (good) and 0 is (low). Data analysed with ANCOVA technique.
Result of research indicate that: 1) there are influence applying of PBK method and traditional method a] physics praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention knowledge prior (F= 0,069; p 2) there are influence difference of skill investigation to understanding of GMB concept by paying attention ability early (F= 0,038, p 3) Do not there are interaction between applying of PBK method and traditional in skill investigation and praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention ability early (F= 0,414; p > a ).
Jika dianalisis secara lebih rinci, terjemahan di atas mengandung banyak kesalahan. Kesalahan pertama terkait dengan interferensi struktur bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Dalam teks asli tertulis prior knowledge, dimana susunan ini sudah memenuhi kaidah struktur frasa bahasa Inggris. Dalam teks terjemahan sususunannya malah berubah menjadi knowledge prior. Kesalahan kedua terletak pada penggunaan kalimat yang tidak lengkap, seperti yang ditunjukkan oleh contoh-contoh di bawah ini.
1. In line with the target, research conducted by using experiment method.
2. Research executed in SMU NEGERI 3 Sukoharjo with technique intake of sample by cluster sampling random.
3. Experiment group hit by treatment of PBK.
4. Technique data collecting to the understanding of knowledge prior and concept [done/conducted] by using double helix tes, while investigation (skill investigation) assessed by 1 (good) and 0 is (low).
5. Data analysed with ANCOVA technique.
            Keselahan ketiga berhubungan dengan masalah subject-verb agreement, seperti yang diilustrasikan oleh contoh di bawah ini.
1. Result of research indicate that: 1) there are influence applying of PBK method and traditional method a] physics praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention knowledge prior (F= 0,069; p 2) there are influence difference of skill investigation to understanding of GMB concept by paying attention ability early (F= 0,038, p 3).
Kesalahan keempat terkait dengan penggunaan predikat ganda (double predicate) yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan kaidah tatabahasa Inggris.
Contoh:
1. Do not there are interaction between applying of PBK method and traditional in skill investigation and praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention ability early (F= 0,414; p > a ).
Contoh di atas menunjukkan bahwa penerjemah kurang menguasai sistem bahasa Inggris. Kesalahan-kesalahan yang dibuatnya mengakibatkan terjemahannya tidak akurat dan berterima serta sulit dipahami.
Penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh penerjemah. Namun, penguasaan tersebut tidak selalu menjamin seseorang dapat menerjemahkan dengan baik. Pada bagian awal naskah pidato pengukuhan ini diberikan contoh ungkapan bahasa Jawa kunduran bis. Saya pernah meminta 3 orang penutur asli bahasa Jawa, yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik, untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Hasilnya adalah: 1) kemunduran bis, 2) ketabrak bis, dan 3) tertabrak bis dari belakang. Menurut saya, tidak satu pun dari ketiga terjemahan itu akurat karena kunduran bis seharus diterjemahkan menjadi tertabrak oleh bis yang sedang mundur. Kesalahan ketiga orang tersebut dalam menerjemahkan ungkapan bahasa Jawa kunduran bis menunjukkan bahwa ketiganya tidak memiliki subkompetensi strategik dan transfer. Mereka tidak menguasai metode, strategi, dan teknik penerjemahan.
VII. Penutup
Di atas telah disebutkan bahwa menerjemahkan merupakan suatu tugas yang sulit. Itu bukan berarti bahwa penerjemahan tidak mungkin bisa dilakukan dengan baik. Jika kita sependapat bahwa konsep atau pesan yang sama bisa diungkapkan dengan cara yang berbeda dan dalam bahasa yang berbeda, penerjemahan dapat dilakukan dengan baik. Dalam kaitan itu diperlukan penguasaan yang baik terhadap kompetensi penerjemahan, yang memungkinkan seorang penerjemah dapat menjalankan tugasnya secara baik, efisien dan profesional.
Kompetensi penerjemahan yang dimiliki seseorang akan secara otomatis membuat dia menjadi ahli penerjemahan. Jika dia menggunakan keahliannya itu dalam menjalankan tugas profesionalnya, sudah sepantasnya masyarakat pengguna jasa penerjemah di Indonesia memberikan penghargaan yang setimpal atas keahlian dan tugas profesionalnya tersebut. Melalui cara itu, mereka sudah turut memajukan penerjemahan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar