Kompetensi Penerjemahan Dan Dampaknya Pada Kualitas Terjemahan
Penulis : Prof. Drs. Mangatur Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D.
Penulis : Prof. Drs. Mangatur Nababan, M.Ed., M.A., Ph.D.
Dalam suatu seminar, E. David Seals, presiden AMC
Entertainment International menyatakan, “We, the people doing international
business, are the ones bringing the world together, not the diplomats.” Genser
menambahkan, “But most can’t do it without translators and interpreters because
we are the facilitators who allow them to communicate with each other.” (1994:
59). Pernyataan Genser tersebut menunjukkan bahwa penerjemah merupakan
fasilitator yang memungkinkan dua pihak yang tidak sebahasa dapat berkomunikasi
dengan baik.
Sejalan dengan pernyataan di atas, hampir dalam setiap
literatur teori penerjemahan disebutkan bahwa penerjemah mempunyai peranan yang
sangat penting dalam komunikasi interlingual. Peranan penting penerjemah
tersebut akan sangat menonjol apabila pihak-pihak yang terlibat dalam suatu
komunikasi tidak saling memahami sebagai akibat dari perbedaan sistem kebahasan
dan budaya yang mereka miliki. Fenomena yang seperti itu dapat ditemukan dalam
kehidupan kita sehari-hari. Proses persidangan di pengadilan yang melibatkan
orang asing sebagai saksi atau terdakwa, misalnya, tidak akan mungkin
berlangsung dengan baik tanpa kehadiran seorang penerjemah (baca:
alihbahasawan). Demikian pula, dokumen-dokumen seperti ijazah, transkrip
akademik, akte kelahiran, akte perkawinan yang dipersiapkan oleh para dosen
Indonesia yang hendak studi lanjut keluar negeri tidak akan dapat diproses
lebih lanjut tanpa kehadiran penerjemah yang bertugas untuk menerjemahkan
dokumen-dokumen tersebut ke dalam bahasa asing. Dalam skala yang lebih luas,
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berasal dari negara-negara barat akan sulit
kita cerna jika kita tidak memiliki terjemahan buku yang memuat kedua bidang
tersebut.
Peranan penting para penerjemah dalam menjembatani kesenjangan komunikasi tidak selalu sejalan dengan penghargaan yang mereka terima (Nababan, 2004). Di satu sisi, para penerjemah dituntut untuk mampu menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Di sisi lain, penghargaan yang mereka terima tidak sebanding dengan jerih payah mereka. Jika demikian halnya, sudah saatnya bagi kita untuk menganalogikan penerjemah dengan seorang dokter spesialis, bukan dengan seorang tukang sepatu. Analogi yang saya maksudkan disajikan di bawah ini.
Peranan penting para penerjemah dalam menjembatani kesenjangan komunikasi tidak selalu sejalan dengan penghargaan yang mereka terima (Nababan, 2004). Di satu sisi, para penerjemah dituntut untuk mampu menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Di sisi lain, penghargaan yang mereka terima tidak sebanding dengan jerih payah mereka. Jika demikian halnya, sudah saatnya bagi kita untuk menganalogikan penerjemah dengan seorang dokter spesialis, bukan dengan seorang tukang sepatu. Analogi yang saya maksudkan disajikan di bawah ini.
Seorang ibu yang hendak melahirkan pasti mengetahui
bahwa di dalam kandungannya terdapat bayi. Namun, dia tidak tahu cara
mengeluarkan bayi tersebut. Jika proses kelahiran bayi itu harus melalui
operasi, dia mempunyai dua pilihan. Pilihan pertama adalah dia pergi ke tukang
sepatu dan memintanya untuk membedah kandungannya dan menjahit bekas sayatan
tadi. Cara ini akan lebih cepat dan murah tetapi resikonya sangat tinggi.
Pilihan kedua adalah dia meminta dokter ahli kandungan untuk melakukan
pembedahan tersebut. Cara ini akan lebih lama dan mahal, tetapi resikonya
sangat rendah. Seorang ibu yang cerdas dan bijaksana sudah pasti akan memilih
pilihan yang kedua.
Hal yang sama tentunya juga terjadi pada klien
terjemahan. Seorang klien terjemahan yang cerdas dan bijaksana tidak akan
meminta bantuan seorang penerjemah pemula, yang kualitas terjemahannya sulit
dipertanggungjawabkan. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pada umumnya para
klien terjemahan di Indonesia cenderung menggunakan terjemahan yang cepat dan
murah walau resiko yang ditimbulkannya bisa fatal. Bahkan, tidak sedikit klien
terjemahan di Indonesia yang sangat mengandalkan program komputer seperti
TransTool, yang hasil terjemahannya cenderung tidak akurat. Sulit dibayangkan
apa yang akan terjadi jika program komputer yang seperti itu digunakan untuk
menerjemahkan teks-teks yang beresiko tinggi seperti teks hukum, teks
kedokteran, teks keagamaan, teks teknik dan lain sebagainya.
II.
Kompetensi Bilingual
Di atas telah dijelaskan bahwa penerjemah mempunyai
peran penting dalam komunikasi interlingual. Dia mampu menjembatani kesenjangan
komunikasi karena dia mempunyai kompetensi yang baik dalam dua bahasa, yaitu
bahasa sumber dan bahasa sasaran. Kemampuan yang seperti itu pada dasarnya juga
dimiliki oleh komunikator lainnya, yaitu dwibahasaan atau bilingual. Oleh sebab
itu, ada anggapan bahwa seseorang yang menguasai dua bahasa dapat menerjemahkan
dengan baik. Atas dasar pandangan tersebut dapat dikatakan bahwa seorang
dwibahasaan akan secara otomatis dapat menerjemahkan dengan baik pula. Para
pakar teori penerjemahan tidak sependapat dengan pandangan tersebut. Dalam
kaitan itu, perlu kiranya dipaparkan kemampuan bilingual yang dimaksudkan.
Dalam Cobuild English Dictionary (1987), bilingual
diartikan sebagai (1) involving or using two languages (bilingual education),
(2) someone who is bilingual can speak two languages extremely fluently,
usually because they learn both languages as a child. Pengertian bilingual (1)
berkonotasi negatif atau pejoratif karena merujuk pada para siswa yang
mengikuti kelas khusus dalam rangka meningkatkan kemampuan mereka dalam bahasa
kedua (baca: bahasa Inggris). Fenomena seperti ini banyak ditemukan di
negara-negara penutur asli bahasa Inggris seperti Inggris, Amerika, Australia,
dan Selandia Baru, yang memberikan kesempatan pada anak-anak imigran untuk
meningkatkan keterampilan berbahasa Inggris mereka. Pengertian bilingual (2)
berkonotasi positif karena bilingual diartikan sebagai orang yang mampu
berkomunikasi dalam dua bahasa dengan baik.
Kemampuan bilingual dalam menggunakan dua bahasa dengan baik sangat ditentukan oleh kompetensi komunikatif yang dimilikinya, yang mencakup:
1. Kompetensi gramatikal: pengetahuan kaidah bahasa yang meliputi kosa kata, pembentukan kata, pelafalan dan struktur kalimat. Pengetahuan dan ketrampilan yang seperti ini sangat dibutuhkan dalam memahami dan menghasilkan tuturan.
2. Kompetensi sosiolinguistik: pengetahuan dan kemampuan untuk menghasilkan dan memahami tuturan yang sesuai dengan konteks (misalnya, siapa berbicara tentang apa, dimana, kapan).
3. Kompetensi wacana: kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna untuk menghasilkan teks lisan dan tulis yang padu.
4. Kompetensi strategik: penguasaan terhadap strategi berkomunikasi (Bell, 1991: 41)
Kemampuan bilingual dalam menggunakan dua bahasa dengan baik sangat ditentukan oleh kompetensi komunikatif yang dimilikinya, yang mencakup:
1. Kompetensi gramatikal: pengetahuan kaidah bahasa yang meliputi kosa kata, pembentukan kata, pelafalan dan struktur kalimat. Pengetahuan dan ketrampilan yang seperti ini sangat dibutuhkan dalam memahami dan menghasilkan tuturan.
2. Kompetensi sosiolinguistik: pengetahuan dan kemampuan untuk menghasilkan dan memahami tuturan yang sesuai dengan konteks (misalnya, siapa berbicara tentang apa, dimana, kapan).
3. Kompetensi wacana: kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna untuk menghasilkan teks lisan dan tulis yang padu.
4. Kompetensi strategik: penguasaan terhadap strategi berkomunikasi (Bell, 1991: 41)
Bilingual mampu menggunakan dua bahasa. Tergantung
pada kemampuan bilingual, situasi bilingualisme ditandai oleh adanya
interferensi, campur kode, dan alih kode dalam kegiatan berkomunikasi dan
merupakan sifat melekat dalam penggunaan bahasa oleh bilingual. Interferensi
merujuk pada penggunaan fitur suatu bahasa ketika bertutur dan menulis dalam
bahasa lain (Mackey, 1970). Hal yang sama juga terjadi pada campur kode.
Fenomena ini terjadi secara tidak disadari dan acapkali dipahami sebagai
ketidak mampuan penulis atau penutur dalam menggunakan bahasa kedua.
Sebaliknya, alih-kode dilakukan secara sadar oleh penulis atau penutur dan
merujuk pada penggunaan dua bahasa secara bergantian dalam proposisi yang sama
atau dalam suatu percakapan (Presas, 2000: 26). Alih kode tersebut, menurut
Holmes (1992: 4), acap kali sangat pendek dan dilakukan terutama untuk tujuan
sosial, misalnya, untuk menunjukkan identitas sosial penutur dan solidaritas
dengan mitra tutur. Interferensi dan alih kode juga bisa terjadi di kalangan
penerjemah. Namun tujuan interferensi dan alih kode dalam penerjemahan berbeda.
Bagi penerjemah, penerjemahan bukan sekedar alih-kode.
Penerjemahan selalu ditandai oleh perbedaan sistem dan
budaya antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Ciri utama penerjemahan ini
acapkali digunakan sebagai landasan untuk menyatakan bahwa kedwibahasaan (bilingualism)
merupakan fondasi dalam melakukan kegiatan menerjemahkan. Pernyataan tersebut
didukung sepenuhnya oleh para pakar teori penerjemahan. Akan tetapi, penguasaan
terhadap dua bahasa belum menjamin sesorang dapat menerjemahkan dengan baik.
Seguinot (1997: 106) berpendapat bahwa penerjemahan
tidak hanya melibatkan bilingualisme. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa
tidak semua orang yang menguasai dua bahasa dapat menerjemahkan dengan baik.
Fakta menunjukkan bahwa pada umumnya sebagian besar anggota masyarakat di
Indonesia dapat menggunakan bahasa daerah dan bahasa Indonesia dengan baik.
Bahkan, tidak sedikit di antara mereka yang mampu menggunakan lebih dari dua
bahasa. Namun, ketika dihadapkan pada penerjemahan dari bahasa daerah ke dalam
bahasa Indonesia, mereka akan mengalami kendala. Penutur asli bahasa Jawa,
misalnya, akan mengalami kesulitan dalam menerjemahkan kunduran bis ke dalam
bahasa Indonesia. Hal yang hampir sama juga dialami oleh penutur asli bahasa
Batak Tapanuli ketika berusaha menemukan padanan yang tepat untuk ungkapan
tuhor ni manuk dalam bahasa Indonesia (tuhor ni manuk = uang hasil penjualan
ayam). Padahal, bahasa Indonesia dan bahasa Jawa atau Batak Tapanuli masih
termasuk dalam rumpun yang sama, yang pada hakikatnya memiliki banyak persamaan
baik dari segi sistem maupun budaya yang melatarbelakangi kedua bahasa
tersebut. Di samping itu, hampir setiap hari mereka menggunakan bahasa
Indonesia dan bahasa daerah baik dalam situasi formal maupun informal.
Persoalan akan semakin rumit jika mereka dihadapkan pada dua bahasa (misalnya,
bahasa Inggris dan bahasa Indonesia) yang secara sintaksis dan sosiobudaya
berbeda satu sama lain. Timbul pertanyaan, kompetensi apa saja yang dimiliki
oleh seseorang sehingga dia dapat disebut sebagai penerjemah? Sebelum
pertanyaan ini dijawab, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang
dimaksud dengan penerjemahan dan penerjemah.
Penerjemahan adalah proses pengalihan pesan dari
bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Jika dikaji lebih dalam, yang dimaksud
dengan proses pada hakekatnya adalah proses pengambilan keputusan dalam
komunikasi interlingual lintas dua budaya yang berbeda. Konsep ini menjadi
sangat penting karena berhasil tidaknya suatu terjemahan menjalankan fungsinya
sebagai alat komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks
terjemahan sangat dipengaruhi oleh dua hal. Hal pertama adalah kemampuan atau
kompetensi penerjemah dalam menjalankan tugasnya. Jika penerjemah mempunyai
kompetensi yang baik, dia akan dapat melakukan proses pengambilan keputusan ini
dengan baik. Dia akan dapat memutuskan dengan tepat kata, istilah dan struktur
kalimat untuk digunakan dalam terjemahannya. Hal kedua yang turut mempengaruhi
proses pengambilan keputusan tersebut adalah pembaca teks bahasa sasaran
(Ruuskanen, 1996). Karena suatu terjemahan pada umumnya ditujukan pada pembaca
tertentu, penerjemah perlu mempertimbangkan pilihan kata, istilah, struktur
kalimat yang sesuai dengan tingkat keterpahaman dan budaya pembaca teks
terjemahan. Dalam praktik penerjemahan yang sesungguhnya di Indonesia, aspek
pembaca ini acapkali diabaikan oleh penerjemah. Sebagai akibatnya, tidak
sedikit terjemahan yang dihasilkan tidak bisa dipahami dan diterima oleh
pembaca. Jika hal yang seperti ini terjadi, terjemahannya tidak bisa
menjalankan fungsi dengan baik.
III.
Kompetensi Penerjemahan dan Perkembangan Kompetensi Penerjemahan
Menerjemahkan merupakan kegiatan yang kompleks
(Schaffner & Adab, 2000: viii), sulit dan rumit (Somearno, 2003). Agar dia
dapat mengambil keputusan yang efektif, cepat dan tepat dalam setiap proses
penerjemahan, penerjemah memerlukan beberapa kompetensi, yang tidak hanya
sekadar kompetensi bilingual. Kompetensi merupakan sistem yang mendasari
pengetahuan dan keterampilan yang membuat sesorang dapat melakukan hal-hal
khusus. Jadi, kompetensi penerjemahan dapat didefinisikan sebagai sistem yang
mendasari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat
menerjemahkan (PACTE, 2000: 100).
Para pakar penerjemahan mempunyai pendapat yang sama
bahwa penerjemah harus mempunyai pengetahuan agar mereka dapat menerjemahkan.
Penerjemah harus memiliki pengetahuan deklaratif (pengetahuan tentang
penerjemahan) dan pengetahuan prosedural (tahu cara menerjemahkan) (Schaffner
& Adab, 2000; Anderson, 1983, dalam PACTE, 2000). Kedua jenis pengetahuan
itu mendasari kompetensi yang digunakan sebagai istilah yang membawahi
keterampilan dan unsur-unsur keahlian.
Sebagai bentuk khusus kompetensi komunikatif, kompetensi penerjemahan terdiri atas beberapa subkompetensi. Dalam kaitan itu, Neubert (2000: 6) mengidentifkasikan lima parameter kualitatif kompetensi penerjemahan, yaitu kompetensi kebahasaan, kompetensi tekstual, kompetensi bidang ilmu, kompetensi kultural, dan kompetensi transfer.
Penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran (kompetensi kebahasaan) merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia dapat menerjemahkan. Penguasaan yang dimaksud di sini menyangkut penguasaan sistem morfologi, leksikal dan gramatikal kedua bahasa tersebut.
Sebagai bentuk khusus kompetensi komunikatif, kompetensi penerjemahan terdiri atas beberapa subkompetensi. Dalam kaitan itu, Neubert (2000: 6) mengidentifkasikan lima parameter kualitatif kompetensi penerjemahan, yaitu kompetensi kebahasaan, kompetensi tekstual, kompetensi bidang ilmu, kompetensi kultural, dan kompetensi transfer.
Penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa sasaran (kompetensi kebahasaan) merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia dapat menerjemahkan. Penguasaan yang dimaksud di sini menyangkut penguasaan sistem morfologi, leksikal dan gramatikal kedua bahasa tersebut.
Dalam kegiatan penerjemahan yang sesungguhnya, para
penerjemah jarang menerjemahkan kalimat-kalimat lepas (isolated sentences).
Pada umumnya mereka berhadapan dengan berbagai macam teks. Oleh karena itu
mereka harus mengetahui cara kalimat-kalimat digabungkan menjadi paragraf dan
cara paragraf-paragraf digabungkan menjadi teks (kompetensi tekstual).
Tergantung pada bidang wacana yang sedang diterjemahkan, mereka harus tahu cara
teks bahasa sumber dan bahasa sasaran disusun. Pendek kata, mereka harus peka
terhadap fitur linguistik dan tekstual bahasa sumber dan bahasa sasaran
(Neubert, 2000: 8).
Penguasaan seseorang terhadap sistem linguistik fitur
tekstual bahasa sumber dan bahasa sasaran tidak selalu dapat menjamin bahwa dia
dapat menghasilkan terjemahan yang berkualitas. Aspek lain yang perlu
dimilikinya adalah penguasaan bidang ilmu yang diterjemahkan (kompetensi bidang
ilmu). Namun, perlu dicatat bahwa penguasaan yang dimaksudkan di sini jangan
disamakan dengan penguasaan seorang ahli. Adalah tidak realistis jika seseorang
harus menjadi ahli kimia, kedokteran atau biologi terlebih dulu jika dia ingin
menerjemahkan teks di bidang-bidang tersebut. Yang paling penting sebenarnya,
terlepas dari bidang ilmu yang diterjemahkannya, adalah bahwa penerjemah harus
tahu cara dan alat yang dibutukan untuk mengatasi persoalan penerjemahan (baca:
ketakterjemahan atau ketidaksepadanan (Neubert, 2000: 9). Namun, bila dia sudah
akrab dengan bidang ilmu yang diterjemahkan, dia akan dapat dengan lebih mudah
memahami isi atau pesan teks bahasa sumber sebagai langkah awal yang sangat
penting ke proses pengalihan pesan tersebut ke dalam teks bahasa sasaran.
Terdapat kesan di kalangan orang yang
awam di bidang penerjemahan dan penerjemah pemula bahwa kompetensi kultural
hanya diperlukan dalam penerjemahan karya-karya sastra. Jika kita sependapat
bahwa proses penerjemahan teks, baik yang bersifat akademik maupun sastra,
selalu terikat dengan budaya, maka kompetensi budaya sangat dibutuhkan. Di
samping itu, bila kita berpandangan bahwa penerjemah berperan sebagai "agent
for affecting a symbiosis of the source culture and target culture at the
linguistic level" (Mohanty, 1994: 28), jelaslah bahwa penerjemah harus
menguasai budaya bahasa sumber dan bahasa sasasaran. Menurut Witte (1994: 71)
penerjemah harus kompeten dalam dua budaya.
Kompetensi lainnya adalah kompetensi
transfer. Kompetensi ini merujuk pada taktik dan strategi untuk mengalihkan
teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran (Neubert, 2000: 10). Pada
dasarnya, ke empat kompetensi yang disebutkan di atas juga dimiliki oleh
bilingual kecuali kompetensi transfer. Kompetensi transfer inilah yang
membedakan penerjemah dari komunikator lainnya. Neubert lebih lanjut
mengatakan:
“whatever they may boast about their knowledge, their amazing individual
competences, their language skills and their multifarious erudition or their
in-depth specialists expertise, even their profound understanding of two or
more cultures, all these competences are feathers in the translators' cap. But
if this excellent equipment is not matched by the unique transfer competence to
produce an adequate replica of an original they have failed. It is not enough
to know about translating, it has to be done” (Neubert, 2000: 10)
Konsep kompetensi transfer tersebut sudah
diredefinisi oleh PACTE, sebuah kelompok peneliti yang mengkaji proses
pemerolehan kompetensi penerjemahan. Mereka berpendapat bahwa pada dasarnya
bilingual juga memiliki kompetensi transfer walau pada tingkat yang masih
rendah. Yang tidak dimiliki oleh bilingual adalah kompetensi strategik, yang
pada umumnya dimiliki oleh penerjemah profesional untuk mengatasi persoalan
penerjemahan (PACTE, 2003).\
Terkait dengan cara seseorang memperoleh
kompetensi penerjemahan, Harris (1977) dan Harris & Sherwood (1978)
memperkenalkan konsep penerjemahan alamiah. Mereka berpendapat bahwa secara
alamiah, seorang dwibahasawan memperoleh kemampuan menerjemahkan sejalan dengan
perkembangan kompetensinya dalam dua bahasa. Pendapat yang hampir sama juga
dikemukakan oleh Toury (1984: 189-190) yang menyatakan bahwa dwibahasawan
mempunyai kompetensi penerjemahan bawaan (innate translation competence) yang
terdiri atas kompetensi bilingual, kompetensi interlingual dan kompetensi
transfer. Dia memandang kompetensi bilingual sebagai fondasi kompetensi
penerjemahan (Toury, 1986). Di samping itu, Toury menyatakan bahwa kompetensi
dalam dua bahasa bersinggungan dan titik singgung itu disebut kompetensi
transfer, yaitu kemampuan untuk menerjemahkan teks. Namun, dia tidak percaya
bahwa kemampuan menerjemahkan harus berasal dari proses bilingualisme (dalam
Shreve, 1997: 121).
Lorscher (1986, 1995) memandang bahwa
penerjemahan alamiah merupakan “a result of a translation ability evidenced by
bilinguals communicating in real mediating situations” (dalam Shreve, 1997:
122). Dia membedakan kompetensi penerjemahan alamiah dari kompetensi
penerjemahan yang dimiliki oleh pembelajar bahasa kedua, yang terbentuk bukan
dari situasi komunikasi nyata tetapi dari situasi didaktik atau pengajaran formal.
Lebih lanjut, dia mengatakan, “a translation ability, which is acquired
naturally is sense oriented while the translation skill of the second language
learners is sign oriented.” Dalam pandangan Loscher, penerjemahan profesional
merupakan “bentuk penerjemahan alamiah yang sudah dikembangkan” (Shreve, 1997:
122).
Konsep Harris & Sherwood tentang penerjemahan
alamiah, gagasan Toury tentang titik singgung kompetensi dalam dua bahasa yang
menghasilkan kompetensi penerjemahan, dan pandangan Loscher perihal sifat
berbeda dari kompetensi penerjemahan yang diperoleh oleh bilingual dan
pembelajar bahasa kedua pada umumnya dapat diterima. Para pakar penerjemahan
juga menerima pandangan bahwa kompetensi bilingual merupakan fondasi yang ideal
bagi kompetensi penerjemahan. Akan tetapi, pernyataan bahwa penerjemahan
profesional berkembang dari penerjemahan alamiah masih diperdebatkan. Banyak
terjemahan yang berkualitas dihasilkan setiap hari oleh penerjemah profesional
yang kompetensi penerjemahannya diperoleh tidak secara alamiah tetapi melalui
pelatihan (vokasional atau akademik).
Seperti yang telah diuraikan di atas, pakar yang
berbeda mempunyai gagasan pandangan yang berbeda perihal cara kompetensi
penerjemahan berkembang. Terlepas dari perbedaan tersebut, dalam literatur-literatur
teori penerjemahan disebutkan bahwa variabilitas merupakan sifat melekat atau
ciri khusus dari penerjemahan. Shreve (1997) menyatakan, “there is little
evidence that professional translators translate identically" (h. 125).
Hal yang sama juga dikatakan oleh Seguinot (1997: 104):
“Translators and people who study translation know that different text types
require different approaches, and that different people can translate the same
text in different ways. It is also clear that different levels of competence,
familiarity with the material to be translated, as well as different
interpretations of the nature of the assignment will lead to differences in
processes and results”.
Seguinot (1997) menyebutkan dua faktor utama yang
menyebabkan timbulnya variabilitas dalam penerjemahan. Faktor penyebab pertama
adalah berbedanya gaya kognitif penerjemah dan faktor penyebab kedua adalah
berbedanya sejarah pemerolehan kompetensi penerjemahan. (1997: 126-127).
IV. Pengertian Istilah “Penerjemah”
dan Tipe-tipe PenerjemahSetelah membahas peran penting penerjemah, kompetensi bilingual dan kompetensi penerjemahan, perlu dikemukakan apa yang dimaksud dengan istilah “penerjemah” dan tipe-tipe penerjemah. Secara sederhana, penerjemah diartikan sebagai orang yang menghasilkan terjemahan. Namun, apakah setiap orang yang menerjemahkan dapat disebut penerjemah. Apakah siswa SMA yang menerjemahkan teks bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia atas perintah gurunya dapat dikategorikan sebagai penerjemah? Para pembaca naskah pidato pengukuhan ini akan dengan serta merta mengatakan “Tidak”.
Penerjemah adalah mediator dalam komunikasi
interlingual. Kehadirannya sangat dibutuhkan jika terjadi kesenjangan
komunikasi antara penulis teks bahasa sumber dan pembaca teks sasaran. Ketika
penerjemah melakukan tugasnya, dia terlibat dalam suatu proses pengambilan
keputusan dalam rangka menghasilkan suatu terjemahan. Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, pengambilan keputusan yang dilakukan oleh penerjemah
dapat dipengaruhi oleh faktor pembaca. Namun, tepat tidaknya keputusan yang
dibuatnya sangat ditentukan oleh kompetensinya.
Pembuatan keputusan dalam proses penerjemahan
tidak dapat dilakukan oleh setiap orang. Dengan kata lain, tidak semua orang
dapat menerjemahkan dan orang yang menerjemahkan tidak secara otomatis dapat
disebut sebagai penerjemah (Rothe-Neves, 2007). Bahkan seorang bilingual pun
tidak dapat dikategorikan sebagai penerjemah. Pakar psikolinguistik, yang juga
tertarik untuk mengkaji mekanisme kognitif dasar yang melandasi penerjemahan,
misalnya, cenderung memandang bilingual sebagai pengguna bahasa daripada penerjemah
(Presas, 2000: 22).
Kecenderungan memperlakukan bilingual sebagai
pengguna bahasa daripada penerjemah bukan tanpa alasan. Seperti halnya
penerjemah, bilingual dapat berkomunikasi dalam dua bahasa. Bilingual mempunyai
beberapa kompetensi komunikatif, yaitu kompetensi gramatikal, kompetensi
sosiolinguistik, kompetensi wacana, dan kompetensi strategik (Bell, 1991: 41)
yang juga dimiliki oleh penerjemah. Namun, tidak seperti penerjemah, bilingual
tidak selalu memiliki kompetensi transfer (Neubert, 1994: 412).
Dipandang dari cara mereka memahami dan
menghasilkan teks, penerjemah dibagi menjadi empat tipe: penerjemah asosiatif,
penerjemah subordinat, penerjemah majemuk, dan penerjemah koordinat (Presas,
2000). Berdasarkan cara memahami dan menghasilkan informasi, Presas (2000)
menyediakan profil psikolinguistik penerjemah pemula dan ahli. Seperti yang
ditunjukkan pada Gambar 1, ada empat perbedaan utama antara penerjemah ahli dan
penerjemah pemula. Pertama, penerjemah ahli mempunyai keterampilan khusus
kebahasaan. Sebaliknya, penerjemah pemula tidak memiliki keterampilan itu.
Kedua, penerjemah ahli dan penerjemah pemula mempunyai memori dwibahasa.
Penerjemah ahli digolongkan sebagai penerjemah koordinat, sedangkan penerjemah
pemula dikategorikan sebagai penerjemah kompaun atau subordinat. Ketiga,
penerjemah ahli dapat mengendalikan interferensi pada saat dia memahami dan
menghasilkan informasi. Sebaliknya, penerjemah pemula tidak mempunyai mekanisme
tersebut. Keempat, penerjemah ahli cenderung mempertimbangkan penerjemahan pada
tataran teks, sedangkan penerjemah pemula cenderung memandang penerjemahan
sebagai proses alih kode pada tataran kata.
Novice translator Expert translator
• Non-specialized linguistic skills
• Bilingual memory (compound or subordinated)
• Unconscious interference mechanism
• Code-switching mechanism (lexical level) • Specialized linguistics skills
• Bilingual memory (coordinated)
• Control over interference in both reception and production
• Heuristic text transfer procedures
• Cognitive features: flexibility, lateral thinking, capacity for
remote association
Novice translator Expert translator
• Non-specialized linguistic skills
• Bilingual memory (compound or subordinated)
• Unconscious interference mechanism
• Code-switching mechanism (lexical level) • Specialized linguistics skills
• Bilingual memory (coordinated)
• Control over interference in both reception and production
• Heuristic text transfer procedures
• Cognitive features: flexibility, lateral thinking, capacity for
remote association
Cara lain untuk menggolongkan penerjemah ialah
dengan melihat status profesi dan sifat kerja mereka sehari-hari. Menurut
status profesinya, penerjemah digolongkan ke dalam penerjemah amatir,
penerjemah semi-profesional, dan penerjemah profesional. Penerjemah amatir
adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan sebagai hobi. Sebaliknya,
penerjemah profesional adalah penerjemah yang menghasilkan terjemahan
profesional bukan demi hobi tetapi demi uang (lihat Robinson, 1997: 33).
Penerjemah semi-profesional adalah penerjemah yang melakukan tugas penerjemahan
untuk memperoleh kesenangan diri dan uang.
Berdasarkan sifat kerja sehari-hari mereka,
penerjemah digolongkan menjadi penerjemah paroh waktu dan penerjemah penuh waktu.
Penerjemah paruh waktu biasanya melakukan tugas penerjemahan sebagai pekerjaan
sampingan. Sebaliknya, penerjemah penuh waktu melakukan tugas itu sebagai
pekerjaan utama untuk mencari uang. Pembagian ini mengisyaratkan bahwa
penerjemah paroh waktu dapat disebut penerjemah semi-profesional sedangkan
penerjemah penuh waktu dapat dikategorikan sebagai penerjemah profesional.
Selain status profesi dan sifat kerja sehari-hari yang telah diuraikan di atas, ada beberapa karakteristik yang membedakan penerjemah profesional dari penerjemah semi-profesional atau penerjemah amatir. Robinson (1997: 26-44) menyebutkan tiga ciri penting penerjemah profesional, yaitu 1) rasa bangga terhadap profesi, penghasilan, dan rasa senang dalam melakukan pekerjaan.
V. Kriteria Terjemahan yang
BerkualitasSelain status profesi dan sifat kerja sehari-hari yang telah diuraikan di atas, ada beberapa karakteristik yang membedakan penerjemah profesional dari penerjemah semi-profesional atau penerjemah amatir. Robinson (1997: 26-44) menyebutkan tiga ciri penting penerjemah profesional, yaitu 1) rasa bangga terhadap profesi, penghasilan, dan rasa senang dalam melakukan pekerjaan.
Bagi orang awam di bidang penerjemahan,
terjemahan dipandang sebagai alat komunikasi antara para pembaca dan penulis
asli. Para pembaca membutuhkan terjemahan karena mereka tidak bisa akses ke
dalam teks bahasa sumber. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan kalau mereka
menginginkan terjemahan yang dapat dengan mudah mereka pahami. Keinginan yang
seperti itu seringkali dijadikan sebagai dasar untuk menentukan kualitas
terjemahan. Bagi mereka, terjemahan yang berkualitas adalah terjemahan yang
enak dibaca.
Bagi mereka yang berpengetahuan banyak di bidang
penerjemahan, terjemahan juga dipandang sebagai alat komunikasi. Bagi mereka
berhasil tidaknya sebuah terjemahan dalam menjalankan fungsinya sebagai alat
komunikasi akan sangat tergantung pada mutunya, dan mutu terjemahan tidak hanya
ditentukan oleh faktor “enak dibaca atau mudah dipahami”. Lebih dari itu, aspek
keakuratan pengalihan pesan dan keberterimaan terjemahan bagi para pembaca juga
merupakan dua aspek penentu berkualitas tidaknya sebuah terjemahan.
Peletakan keakuratan pengalihan pesan sebagai salah satu sifat penting dari terjemahan yang berkualitas bukan tanpa alasan. Jika ditilik kembali beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar penerjemahan, di dalamnya ditonjolkan masalah pengalihan pesan, bukan pengalihan bentuk bahasa. Bahkan, terdapat kesepakatan di kalangan para pakar bahwa suatu teks disebut sebagai terjemahan jika teks tersebut mempunyai hubungan padanan dengan teks bahasa sumber. Yang dimaksud dengan hubungan padanan itu sebenarnya adalah kesamaan isi atau pesan di antara keduanya. Oleh karena itu, teks terjemahan yang mengalami banyak kehilangan pesan bukan terjemahan yang berkualitas. Demikian pula, terjemahan yang kandungan isinya jauh lebih banyak dari isi atau kandungan teks aslinya bukanlah terjemahan yang setia.
Peletakan keakuratan pengalihan pesan sebagai salah satu sifat penting dari terjemahan yang berkualitas bukan tanpa alasan. Jika ditilik kembali beberapa definisi yang dikemukakan oleh para pakar penerjemahan, di dalamnya ditonjolkan masalah pengalihan pesan, bukan pengalihan bentuk bahasa. Bahkan, terdapat kesepakatan di kalangan para pakar bahwa suatu teks disebut sebagai terjemahan jika teks tersebut mempunyai hubungan padanan dengan teks bahasa sumber. Yang dimaksud dengan hubungan padanan itu sebenarnya adalah kesamaan isi atau pesan di antara keduanya. Oleh karena itu, teks terjemahan yang mengalami banyak kehilangan pesan bukan terjemahan yang berkualitas. Demikian pula, terjemahan yang kandungan isinya jauh lebih banyak dari isi atau kandungan teks aslinya bukanlah terjemahan yang setia.
Kesamaan pesan antara teks bahasa sumber dan teks
bahasa sasaran harus diprioritaskan. Di samping itu, pesan tersebut harus
dibungkus atau disampaikan dengan bahasa yang sesuai norma dan budaya pembaca
bahasa sasaran. Dengan kata lain, aspek keberterimaan merupakan aspek penting
lainnya yang turut menentukan berkualitas tidaknya sebuah terjemahan. Suatu
terjemahan yang tidak sesuai kaidah, norma dan budaya yang berlaku dalam bahasa
sasaran merupakan terjemahan yang tidak alamiah dan akan ditolak oleh pembaca.
Konsep keakuratan, keberterimaan dan keterbacaan
ini perlu dipahami dengan baik. Akan tetapi, “akurat, berterima dan mudah
dipahami” merupakan konsep yang relatif. Dengan kata lain, pernyataan tentang
terjemahan yang akurat, berterima dan mudah dipahami akan sangat tergantung
pada orang yang menilainya. Dikotomi benar-salah yang dikemukakan oleh Hoed
(2003), misalnya, dengan jelas menggambarkan betapa subyektifnya parameter
akurat yang digunakan untuk menentukan tingkat kesetiaan teks bahasa sasaran
pada teks bahasa sumber. Demikian pula, dikotomi domesticating-foreignizing
(Hoed, 2003) menimbulkan keadaan yang dilematis dalam menilai kualitas terjemahan.
Di satu sisi, domesticating dan foreignizing pada hakikatnya merupakan strategi
yang digunakan penerjemah dalam mengatasi masalah-masalah penerjemahan. Di sisi
lain, implementasi dari strategi itu akan sangat dipengaruhi oleh ideologi
penerjemah, yang kadang kala tidak sama dengan ideologi orang yang memberikan
tugas penerjemahan dan ideologi pembaca teks bahasa sasaran. Banyak orang tidak
begitu mempersoalkan hal-hal yang berbau asing (foreingnizing) dalam
terjemahan, dan tidak sedikit orang mengharapkan agar terjemahan disesuaikan
dengan budaya bahasa sasaran (domesticating).
VI. Dampak Kompetensi Penerjemahan
pada Kualitas Terjemahan
Di atas telah disebutkan perihal hubungan timbal
balik antara kompetensi penerjemahan dan kualitas terjemahan. Jika kompetensi
penerjemahan yang dimiliki seseorang baik, dia akan mampu menerjemahkan suatu
teks bahasa sumber ke dalam bahasa sasaran. Sebaliknya, jika kompetensinya
buruk, terjemahan yang dihasilkannya akan tidak berkualitas. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa kompetensi penerjemahan mempunyai implikasi pada kualitas
terjemahan.
Di bawah diberikan contoh-contoh terjemahan untuk
menunjukkan rendahnya kompetensi penerjemahan yang dimiliki penerjemah.
Contoh 1: Bahasa sumber:
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) pengaruh penerapan metode PBK dan metode tradisional pada praktikum berdesain konstruktivisme (PBK) terhadap pemahaman konsep gerak melingkar beraturan (GMB) dengan memperhatikan prior knowledge, 2) pengaruh investigasi (investigation skill) terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan prior knowledge, 3) interaksi antara PBK dan investigasi (investigation skill) terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan prior knowledge.
Sejalan dengan tujuan tersebut, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen. Penelitian dilaksanakan di SMU NEGERI 3 Sukorharjo dengan teknik pengambilan sampel secara cluster random sampling. Kelompok eksperimen dikenai perlakuan PBK. Teknik pengumpulan data untuk pemahaman konsep dan prior knowledge dilakukan dengan menggunakan tes pilihan ganda, sedangkan investigasi (investigation skill) dinilai dengan 1 (baik) dan 0 (rendah). Data dianalisis dengan teknik ANCOVA.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) terdapat pengaruh penerapan metode PBK dan metode traditional pada praktikum fisika terhadap pemahaman konsep gerak melingkar beraturan dengan memperhatikan prior knowledge (F = 0,069, p < a), 2) terdapat pengaruh perbedaan investigation skill terhadap pemahaman konsep GMB dengan memperhatikan kemampuan awal (F = 0,038 p > a). 3) Tidak terdapat interaksi antara penerapan metode PBK dan traditional dan praktikum dan investigation skill terhadap pemahaman pemahaman konsep gerak melingkar beraturan dengan memperhatikan kemampuan awal (F= 0,414; p > a ).
Bahasa sasaran:
Target of this research is to know: 1) influence applying of PBK method and traditional method at konstruktuvisme berdesain praktikum (PBK) to understanding of circle motion concept of order (GMB) by paying attention knowledge prior 2) influence of[is investigation of (skill investigation) to understanding of GMB concept by paying attention knowledge prior 3) interaction between PBK and investigation (skill investigation) to understanding of GMB concept by paying attention knowledge prior.
In line with the target, research conducted by using experiment method. Research executed in SMU NEGERI 3 Sukoharjo with technique intake of sample by cluster sampling random. Experiment group hit by treatment of PBK. Technique data collecting to the understanding of knowledge prior and concept [done/ conducted] by using double helix tes, while investigation (skill investigation) assessed by 1 (good) and 0 is (low). Data analysed with ANCOVA technique.
Result of research indicate that: 1) there are influence applying of PBK method and traditional method a] physics praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention knowledge prior (F= 0,069; p 2) there are influence difference of skill investigation to understanding of GMB concept by paying attention ability early (F= 0,038, p 3) Do not there are interaction between applying of PBK method and traditional in skill investigation and praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention ability early (F= 0,414; p > a ).
Jika dianalisis secara lebih rinci, terjemahan di atas mengandung banyak kesalahan. Kesalahan pertama terkait dengan interferensi struktur bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. Dalam teks asli tertulis prior knowledge, dimana susunan ini sudah memenuhi kaidah struktur frasa bahasa Inggris. Dalam teks terjemahan sususunannya malah berubah menjadi knowledge prior. Kesalahan kedua terletak pada penggunaan kalimat yang tidak lengkap, seperti yang ditunjukkan oleh contoh-contoh di bawah ini.
1. In line with the target, research conducted by using experiment method.
2. Research executed in SMU NEGERI 3 Sukoharjo with technique intake of sample by cluster sampling random.
3. Experiment group hit by treatment of PBK.
4. Technique data collecting to the understanding of knowledge prior and concept [done/conducted] by using double helix tes, while investigation (skill investigation) assessed by 1 (good) and 0 is (low).
5. Data analysed with ANCOVA technique.
Keselahan ketiga berhubungan dengan masalah subject-verb agreement, seperti yang diilustrasikan oleh contoh di bawah ini.
1. Result of research indicate that: 1) there are influence applying of PBK method and traditional method a] physics praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention knowledge prior (F= 0,069; p 2) there are influence difference of skill investigation to understanding of GMB concept by paying attention ability early (F= 0,038, p 3).
Kesalahan keempat terkait dengan penggunaan predikat ganda (double predicate) yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan kaidah tatabahasa Inggris.
Contoh:
1. Do not there are interaction between applying of PBK method and traditional in skill investigation and praktikum to understanding of circle motion concept of beraturan by paying attention ability early (F= 0,414; p > a ).
Contoh di atas menunjukkan bahwa penerjemah
kurang menguasai sistem bahasa Inggris. Kesalahan-kesalahan yang dibuatnya
mengakibatkan terjemahannya tidak akurat dan berterima serta sulit dipahami.
Penguasaan terhadap bahasa sumber dan bahasa
sasaran merupakan persyaratan mutlak yang harus dimiliki oleh penerjemah.
Namun, penguasaan tersebut tidak selalu menjamin seseorang dapat menerjemahkan
dengan baik. Pada bagian awal naskah pidato pengukuhan ini diberikan contoh
ungkapan bahasa Jawa kunduran bis. Saya pernah meminta 3 orang penutur asli
bahasa Jawa, yang mampu berbahasa Indonesia dengan baik, untuk menerjemahkannya
ke dalam bahasa Indonesia. Hasilnya adalah: 1) kemunduran bis, 2) ketabrak bis,
dan 3) tertabrak bis dari belakang. Menurut saya, tidak satu pun dari ketiga
terjemahan itu akurat karena kunduran bis seharus diterjemahkan menjadi
tertabrak oleh bis yang sedang mundur. Kesalahan ketiga orang tersebut dalam
menerjemahkan ungkapan bahasa Jawa kunduran bis menunjukkan bahwa ketiganya
tidak memiliki subkompetensi strategik dan transfer. Mereka tidak menguasai
metode, strategi, dan teknik penerjemahan.
VII. Penutup
Di atas telah disebutkan bahwa menerjemahkan
merupakan suatu tugas yang sulit. Itu bukan berarti bahwa penerjemahan tidak
mungkin bisa dilakukan dengan baik. Jika kita sependapat bahwa konsep atau
pesan yang sama bisa diungkapkan dengan cara yang berbeda dan dalam bahasa yang
berbeda, penerjemahan dapat dilakukan dengan baik. Dalam kaitan itu diperlukan
penguasaan yang baik terhadap kompetensi penerjemahan, yang memungkinkan
seorang penerjemah dapat menjalankan tugasnya secara baik, efisien dan
profesional.
Kompetensi penerjemahan yang dimiliki seseorang
akan secara otomatis membuat dia menjadi ahli penerjemahan. Jika dia
menggunakan keahliannya itu dalam menjalankan tugas profesionalnya, sudah
sepantasnya masyarakat pengguna jasa penerjemah di Indonesia memberikan
penghargaan yang setimpal atas keahlian dan tugas profesionalnya tersebut.
Melalui cara itu, mereka sudah turut memajukan penerjemahan di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar