BERIKAN AKU RESTU!
Oleh: Baharuddin Iskandar
(cerpen koran Fajar, 2012)
Kecepatan mph pesawat menurun. Sekitar sepuluh
menit lagi take off di Bandara Sultan
Hasanuddin. Ingin rasanya cepat-cepat menginjakkan kaki di kota itu.
Sepertinya, deru mesin Garuda memekak di telinga
tapi senyap 180 derajat oleh energi nafsuku
untuk segera meremput secara profesional. Aku bertekad mempersembahkan point penting. Insya Allah tidak akan
terpeleset, tim akan mempersembahkan kemenangan.
Besok adalah debut pertama. Semoga saja, harapku.
Jika dipercaya pelatih akan menjadi sejarah terpenting.
Sebenarnya, masuk list dan diberangkatkan dalam lawatan untuk melawan PSM di Stadion
Mattoangin, Makassar sudah menjadi kebahagiaan. Selama ini, pelatih tidak
pernah memasukkanku, sebagai daftar
pemain inti maupun pemain cadangan. Sehingga, ketika nama masuk daftar pemain
yang berangkat ke Makassar, matahari
menyembul di angkasa raya nan biru di dalam hati.
Pikirku, keberangkatan ke Makassar menjadi satu
pembuktian kepada orang-orang yang tidak setuju dengan jalan yang telah aku
pilih. Mengingatnya, akhirnya menghela nafas. Batu kalbu itu belum juga
dipecahkan. Keras dan berat, berdiam dalam satu kenangan.
“Budi, Bapak tidak setuju dengan pilihanmu.
Pakai pikiran, jangan gunakan emosi.”
“Tolong Bapak, buka mata batin Bapak! Jangan
arogan, terlalu memaksakan kehendak yang sebenarnya tidak aku sukai.”
“Bukan Bapak yang membuka mata batin, tapi
kamu!” sambil berlalu dalan khawatir menggunung tinggi. Tidak bisa
membayangkan, anaknya memutuskan dunia sekolah gara-gara obsesi menjadi pemain sepakbola.
“Ahh! ada atau tidak ada izin yang diberikan
oleh Bapak, aku akan tetap pada pendirian.”
Prakk!
Tangan keras bapak mendarat keras di pipi. Emosi
membuncah di tugu hati. Aku memberontak. Di malam itu, langsung menuju ke kamar
untuk mengemas pakaian. Kemudian langsung pergi dan memutuskan untuk menginap
di mess pemain.
“Apa keputusanmu sudah bulat?” tanya Basri, sang
pelatih. Tampaknya, di malam itu, dia sangat prihatin setelah aku menceritakan
‘perang dunia’ dengan bapakku.
“Bulat seratus persan. Bahkan, aku sudah
putuskan bahwa sepak bola adalah masa depanku.”
“Sekolahmu bagaimana?”
“Membuang-buang waktu saja. Kita lihat saja,
banyak orang yang belajar dan duduk di bangku sekolah, tapi akhirnya tidak
punya kerja. Mereka menganggur.”
“Sekolah juga penting. Aku pikir, pendapat
bapakmu perlu dipertimbangkan karena sekolah adalah tempat mendidik agar engkau
menjadi cerdas.”
“Cerdas tidak cukup untuk zaman ini.
Terpenting adalah bekerja dan menghasilkan uang.”
“Tidak tepat itu, Nak! Pulanglah kembali ke
rumahmu. Bicarakan baik-baik lagi kepada bapakmu. Aku tahu, engkau punya
kemanpuan di atas rata-rata dalam mengolah bola, tetapi bicarakan baik-baik.
Jangan engkau buat luka hati orangtuamu.”
“Aku tahu, Pak! Tapi aku ingin konsentrasi.
Full seratus persen. Jika kembali ke rumah, berarti aku setuju dengan keputusan
bapakku. Masuk ke sekolah, dan meninggalkan bakat dan keinginannku, sepakbola.
“Terserahlah! Aku hanya memberikan pertimbangan.
Tetapi selaku pelatih, aku instuksikan agar engkau pulang dan membicarakan
baik-baik dengan bapakmu.
Malam itu, aku tetap bertahan dengan
keputusan di mess pemain. Aku pikir, instruksi Sutino, sang pelatih hanya bunga
kehidupan, mekar lalu layu. Mundur kena, jika semakin mundur maka terjatuh.
Akhirnya tetap memilih untuk maju.
‘Perang dunia’ terus meledak, berlanjut hinga
aku dan bapak tidak pernah bertemu. Berlangsung hingga tiga minggu. Tidak
pernah sekali pun kembali ke rumah. Setiap hari, terus berlatih dan berlatih di
lapangan. Tapi selama itu, jangankan starting
eleven, masuk daftar pemain cadangan pun tidak pernah.
Membuncah. Mencapai kesuksesan membutuhkan
kerja keras dan totalitas. Pelangi cita-cita membutuhkan ruang waktu: jika
bukan sekarang maka esok dalam jawaban. Kemudian aku tetap berlatih giat dan
teguh, detik-detik menjadi bulir
keringat untuk meniti ranah profesionalisme.
Tapi, titik nadir. Timku terseok-seok di
papan bawah, di sana dan di sini mengalami kritikan. Performa tim dari empal kekalahan
berturut-turut menciptakan keresahan. Malah pernah kemasukan sepuluh gol tanpa
balas. Bukan hanya suporter yang mendera-dera, malah persoalan kian tajan
setelah pemilik kebijakan sepakbola di negeri ini menganggap tim ilegal dan
tidak sah. Tim terancam bubar.
“Percayalah kepadaku, Pak Pelatih!” pintaku
di sela-sela latihan, “skill-ku di
atas rata-rata, tapi tidak pernah dimainkan. Aku butuh pengalaman agar muncul
kepercayaan. Percayalah kepadaku, tolong
aku ketika lawatan ke Makassar.”
“Tidak!”
“Mengapa?”
“Skill-mu
bagus, tapi emosi belum terkontrol?”
“Maksudnya?”
“Bapakmu.”
Astaga. Tiba-tiba tersadar dari gairah
kehidupan. Tidak menyangka, hanya karena persoalan dengan bapak sehingga
menjalani hukuman moral dari pelatih. Mengapa, pikirku.
“Sekolah adalah bagian sangat penting. Kamu
perlu tetap sekolah di samping menjadi profesional.”
Kembali tersadar. Wajah teman-teman bergelayut
dalam layang-layang pikiran. Hari terbaik di kelas, bertemu dengan guru-guru welas
asih. Waktu indah yang terbuang oleh obsesi tinggi
“Walaupun dia menamparmu. Beliau tetap
orangtuamu yang mesti engkau hormati. Tidak ada harimau yang memakan anaknya.
Engkau harus meminta maaf.”
Tersentak. Maaf, satu laksem yang hilang oleh obsesi dan emosi. Seketika, hatiku dibuncah
serpihan rasa bersalah. Kesuksesan bukan hanya ditentukan oleh kerja keras,
tapi sebuah restu. Bapak, berikan aku restumu, pikirku. Kemudian, kakiku
melayang menuju pengharibaan rasa salah dan bercampur aduk oleh rindu. Tiga
minggu, tidak pernah menatap wajah renta, bapakku.
Ketika pulang ke rumah untuk bertemu dengan
bapak, hangat pelukan sehangat matahari
senja. Di situ, aku luruh dan bersimpuh di jari kakinya.
“Maafkan, Pamungkas Pak!”
Juga luruh. Tangisan orangtuaku berbubuk air,
‘Nak! Maafkan juga Bapak!”
“Pak, aku bersalah. Aku ikuti keinginan untuk
sekolah.”
“Iya, terima kasih,” lembutnya sambil
membelai gerai-gerai rambut.
“Aku salah, Pak!”
“Bapak yang justeru bersalah. Wujudkanlah
keinginmu! Jadilah pemain profesional. Aku merestuimu.”
“Aku direstui.”
“Iya
Nak!”
“Aku akan jaga kepercayaan, Bapak. Termasuk
mengikuti perintahnya untuk tetap bersekolah,”
Seketika orangtuaku memdenamkan aku dalam
dekapannya. Bersyukur sepenjuru bumi karena doa-doa telah runtuh dalam kalbu.
Sejak itu, jalan profesional sepak bolaku
terbuka lebar. Ternyata, pintu nasib yang dul tertutup secara perlahan dibukakan
Tuhan. Jangan mengumpulkan emosi di otak, tapi gunakan mata hati! Inilah
terjadi.
* * *
Akhirnya take
off. Dari jendela Garuda, mendung mengantung di selimut langit. Di sana,
jejak-jejak paku hujan merotasi angin sore. Para penumpang bersiap turun dari
pesawat. Aku masih berdiam di kursim Maklum, hari ini adalah pengalaman pertama
kali naik ke pesawat, jadi gerak-gerik teman-teman setim pernah luput dari ekor
mataku.
Pandangan kualihkan ke samping, kepada M.
Basir, pelatihku. Selama di pesawat terlihat dia hanya diam, gelisahnya
bergelayut. Pantas begitu. Dua maestro tim, Wahyu dan Agum, dibekap cidera paha.
Dua striker lain lain terkena akumulasi kartu kuning. Kini, tersisa adalah aku,
striker muda tetapi tidak pernah turun ke lapangan menjadi tumpuan. Percayalah,
bisik di hati, insya Allah aku akan menciptakan gol dan akan meraih poin di
sini. Aku tidak takut dengan keangkeran Stadion Mattoangin.pikirku kemudian.
“Siap bermain?” katanya membalas tatapanku.
“Siap. Terima kasih. Kali ini, pilihlah aku.”
(Alumni
ToWR FLP Sulsel, guru Bahasa dan Sastra Indonesia)