Minggu, 23 September 2012

puisi Anregurutta



ANREGURUTTA
(Puisi ini terbit di koran Fajar, September 2012)
Apakah SEBARIS pappoji?
Kapuk minus nol derajat dalam hatimu perlu diisi
sebait lagu agar hati-hari menerima gelar bersih

Apakah sebaris sulapa appa?
Berikan bahasa, miskin ILMU
-mu ditampar
Bahtera –la baja dilebur
Agar sesaji nasib, bala bakti di pundak
menjadi canda jika tanpa tanda

Percayalah kepada Angregurutta?
Dia memanggil matahari la-
pappoji TUMBUH di hatimu
Dia meminang purnama
-lu sulapa appa memancar ri rupammu.

Dia, ringkus jati diri, bila sejahtera tapi alpa berpikir
        rekat profesi, naik golongan ta- abai lajar
        raba hidung sebatang, teladan -pi abisal
        racik, bersafari ji-
        palsu amanat
        bukan canda
-ka penerima jasa.

Tapi, ke mana angregurutta?
Sekeliling pasti semboja sunyi MELAYANG ke langit
Mungkinkahm menuju Tuhan? “Merabas surga!” ucapmu
Bukan, barisan nafasmu adalah sebotol irish whisky
setabir  peacock blue.
Juga bloody Marry, mengerumuni bingung.

Kembalilah! Pulanglah DARI surgamu
karena kami belum memiliki SURGA itu.
Insyaf!
Kemarilah orang suci.
Kemari!.

Cerpen Berikan Aku Restu



BERIKAN AKU RESTU!
Oleh: Baharuddin Iskandar
(cerpen koran Fajar, 2012)

Kecepatan mph pesawat menurun. Sekitar sepuluh menit lagi take off di Bandara Sultan Hasanuddin. Ingin rasanya cepat-cepat menginjakkan kaki di kota itu.
Sepertinya, deru mesin Garuda memekak di telinga tapi senyap 180 derajat oleh  energi nafsuku untuk segera meremput secara profesional. Aku bertekad mempersembahkan point penting. Insya Allah tidak akan terpeleset, tim akan mempersembahkan kemenangan.
Besok adalah debut pertama. Semoga saja, harapku. Jika dipercaya pelatih akan menjadi sejarah terpenting.
Sebenarnya, masuk list dan diberangkatkan dalam lawatan untuk melawan PSM di Stadion Mattoangin, Makassar sudah menjadi kebahagiaan. Selama ini, pelatih tidak pernah  memasukkanku, sebagai daftar pemain inti maupun pemain cadangan. Sehingga, ketika nama masuk daftar pemain yang berangkat ke Makassar, matahari  menyembul di angkasa raya nan biru di dalam hati.
Pikirku, keberangkatan ke Makassar menjadi satu pembuktian kepada orang-orang yang tidak setuju dengan jalan yang telah aku pilih. Mengingatnya, akhirnya menghela nafas. Batu kalbu itu belum juga dipecahkan. Keras dan berat, berdiam dalam satu kenangan.
“Budi, Bapak tidak setuju dengan pilihanmu. Pakai pikiran, jangan gunakan emosi.”
“Tolong Bapak, buka mata batin Bapak! Jangan arogan, terlalu memaksakan kehendak yang sebenarnya tidak aku sukai.”
“Bukan Bapak yang membuka mata batin, tapi kamu!” sambil berlalu dalan khawatir menggunung tinggi. Tidak bisa membayangkan, anaknya memutuskan dunia sekolah gara-gara obsesi menjadi pemain sepakbola.
“Ahh! ada atau tidak ada izin yang diberikan oleh Bapak, aku akan tetap pada pendirian.”
Prakk!
Tangan keras bapak mendarat keras di pipi. Emosi membuncah di tugu hati. Aku memberontak. Di malam itu, langsung menuju ke kamar untuk mengemas pakaian. Kemudian langsung pergi dan memutuskan untuk menginap di mess pemain.
“Apa keputusanmu sudah bulat?” tanya Basri, sang pelatih. Tampaknya, di malam itu, dia sangat prihatin setelah aku menceritakan ‘perang dunia’ dengan bapakku.
“Bulat seratus persan. Bahkan, aku sudah putuskan bahwa sepak bola adalah masa depanku.”
“Sekolahmu bagaimana?”
“Membuang-buang waktu saja. Kita lihat saja, banyak orang yang belajar dan duduk di bangku sekolah, tapi akhirnya tidak punya kerja. Mereka menganggur.”
“Sekolah juga penting. Aku pikir, pendapat bapakmu perlu dipertimbangkan karena sekolah adalah tempat mendidik agar engkau menjadi cerdas.”
“Cerdas tidak cukup untuk zaman ini. Terpenting adalah bekerja dan menghasilkan uang.”
“Tidak tepat itu, Nak! Pulanglah kembali ke rumahmu. Bicarakan baik-baik lagi kepada bapakmu. Aku tahu, engkau punya kemanpuan di atas rata-rata dalam mengolah bola, tetapi bicarakan baik-baik. Jangan engkau buat luka hati orangtuamu.”
“Aku tahu, Pak! Tapi aku ingin konsentrasi. Full seratus persen. Jika kembali ke rumah, berarti aku setuju dengan keputusan bapakku. Masuk ke sekolah, dan meninggalkan bakat dan keinginannku, sepakbola.
“Terserahlah! Aku hanya memberikan pertimbangan. Tetapi selaku pelatih, aku instuksikan agar engkau pulang dan membicarakan baik-baik dengan bapakmu.
Malam itu, aku tetap bertahan dengan keputusan di mess pemain. Aku pikir, instruksi Sutino, sang pelatih hanya bunga kehidupan, mekar lalu layu. Mundur kena, jika semakin mundur maka terjatuh. Akhirnya tetap memilih untuk  maju. 
‘Perang dunia’ terus meledak, berlanjut hinga aku dan bapak tidak pernah bertemu. Berlangsung hingga tiga minggu. Tidak pernah sekali pun kembali ke rumah. Setiap hari, terus berlatih dan berlatih di lapangan. Tapi selama itu, jangankan starting eleven, masuk daftar pemain cadangan pun tidak pernah.
Membuncah. Mencapai kesuksesan membutuhkan kerja keras dan totalitas. Pelangi cita-cita membutuhkan ruang waktu: jika bukan sekarang maka esok dalam jawaban. Kemudian aku tetap berlatih giat dan teguh,  detik-detik menjadi bulir keringat untuk meniti ranah profesionalisme.
Tapi, titik nadir. Timku terseok-seok di papan bawah, di sana dan di sini mengalami kritikan. Performa tim dari empal kekalahan berturut-turut menciptakan keresahan. Malah pernah kemasukan sepuluh gol tanpa balas. Bukan hanya suporter yang mendera-dera, malah persoalan kian tajan setelah pemilik kebijakan sepakbola di negeri ini menganggap tim ilegal dan tidak sah. Tim terancam bubar.
“Percayalah kepadaku, Pak Pelatih!” pintaku di sela-sela latihan, “skill-ku di atas rata-rata, tapi tidak pernah dimainkan. Aku butuh pengalaman agar muncul kepercayaan.  Percayalah kepadaku, tolong aku ketika lawatan ke Makassar.”
“Tidak!”
“Mengapa?”
Skill-mu bagus, tapi emosi belum terkontrol?”
“Maksudnya?”
“Bapakmu.”
Astaga. Tiba-tiba tersadar dari gairah kehidupan. Tidak menyangka, hanya karena persoalan dengan bapak sehingga menjalani hukuman moral dari pelatih. Mengapa, pikirku.
“Sekolah adalah bagian sangat penting. Kamu perlu tetap sekolah di samping menjadi profesional.”
 Kembali tersadar. Wajah teman-teman bergelayut dalam layang-layang pikiran. Hari terbaik di kelas, bertemu dengan guru-guru welas asih. Waktu indah yang terbuang oleh obsesi tinggi
“Walaupun dia menamparmu. Beliau tetap orangtuamu yang mesti engkau hormati. Tidak ada harimau yang memakan anaknya. Engkau harus meminta maaf.”
Tersentak. Maaf, satu laksem yang hilang oleh obsesi dan emosi. Seketika, hatiku dibuncah serpihan rasa bersalah. Kesuksesan bukan hanya ditentukan oleh kerja keras, tapi sebuah restu. Bapak, berikan aku restumu, pikirku. Kemudian, kakiku melayang menuju pengharibaan rasa salah dan bercampur aduk oleh rindu. Tiga minggu, tidak pernah menatap wajah renta, bapakku.
Ketika pulang ke rumah untuk bertemu dengan bapak, hangat pelukan sehangat  matahari senja. Di situ, aku luruh dan bersimpuh di jari kakinya.
“Maafkan, Pamungkas Pak!”
Juga luruh. Tangisan orangtuaku berbubuk air, ‘Nak! Maafkan juga Bapak!”
“Pak, aku bersalah. Aku ikuti keinginan untuk sekolah.”
“Iya, terima kasih,” lembutnya sambil membelai gerai-gerai rambut.
“Aku salah, Pak!”
“Bapak yang justeru bersalah. Wujudkanlah keinginmu! Jadilah pemain profesional. Aku merestuimu.”
“Aku direstui.”
 “Iya Nak!”
“Aku akan jaga kepercayaan, Bapak. Termasuk mengikuti perintahnya untuk tetap bersekolah,”
Seketika orangtuaku memdenamkan aku dalam dekapannya. Bersyukur sepenjuru bumi karena doa-doa telah runtuh dalam kalbu.
Sejak itu, jalan profesional sepak bolaku terbuka lebar. Ternyata, pintu nasib yang dul tertutup secara perlahan dibukakan Tuhan. Jangan mengumpulkan emosi di otak, tapi gunakan mata hati! Inilah terjadi.
* * *
Akhirnya take off. Dari jendela Garuda, mendung mengantung di selimut langit. Di sana, jejak-jejak paku hujan merotasi angin sore. Para penumpang bersiap turun dari pesawat. Aku masih berdiam di kursim Maklum, hari ini adalah pengalaman pertama kali naik ke pesawat, jadi gerak-gerik teman-teman setim pernah luput dari ekor mataku.
Pandangan kualihkan ke samping, kepada M. Basir, pelatihku. Selama di pesawat terlihat dia hanya diam, gelisahnya bergelayut. Pantas begitu. Dua maestro tim, Wahyu dan Agum, dibekap cidera paha. Dua striker lain lain terkena akumulasi kartu kuning. Kini, tersisa adalah aku, striker muda tetapi tidak pernah turun ke lapangan menjadi tumpuan. Percayalah, bisik di hati, insya Allah aku akan menciptakan gol dan akan meraih poin di sini. Aku tidak takut dengan keangkeran Stadion Mattoangin.pikirku kemudian.
“Siap bermain?” katanya membalas tatapanku.
“Siap. Terima kasih. Kali ini, pilihlah aku.”

                           (Alumni ToWR FLP Sulsel, guru Bahasa dan Sastra Indonesia)











cer[en Terima kasih buat mama



TERIMA KASIH BUAT MAMA
Baharuddin Iskandar
(SMA NEGERI UNGGULAN PINRANG)
(cerpen ini terbit di koran Fajar, rubrik keker(

Standing applaus bergemuruh ketika I have a dream berakhir. Aku berdiri lalu mengangguk menikmati anugerah itu: tidak dapat menyembunyikan embun taman hati; tidak dapat menyembulkan perasaan, seakan-akan menjadi ratu malam ini. Penutupan acara pensi menjadi klimaks. Lalu, aku turun dari panggung.
Kursi masih dingin ketika aku duduki. Master of ceremony, kembali menyebutkan namaku agar tampil kembali ke atas panggung. Apresiasi penonton adalah penilaian terbaik, tidak akan pernah meleset. Malam bintang bersinar, aku disematkan peniti emas atas persembahan seni terbaik. Indahnya, gelap gulita merayap sela-sela dinding aula sekolah, sontak berwarna-warni.
“Banyak yang berjasa atas penghargaan ini. Satu nama yang pertama adalah..,” lalu terdiam. Dua pilihan sulit untuk menyebutnya, pikirku. Kepada siapakah? Mama atau Kakak.
* * *

Menunggu adalah pekerjaan terbaik, tidak malam ini. Panitia pensi menggeser persembahan pianoku di bagian terakhir.
“Ayo semangat, Nak!” Mama menyemangatiku.
Aku terdiam, serius menatapi mataya, “tampil terakhir, Ma. Mana bisa? Baitnya sendu, mestinya di tengah. Acara terakhirkan harus menghentak.”
“Baik. Silakan memanggil Mama apa sajahlah, asal fokus dan memberikan sajian paling indah malam ini.”
 “Baik, adikku Cantik. Jangan gugup, ya,” kata Mama. 
“Terima kasih, Kak.” Oh, senangnya, hati ditumbuhi melati mewangi. Energi segudang mengumpul. Dua minggu adalah waktu terlalu lama, hanya agar Mama  memanggilku seperti itu, adik cantik.
* * *

Langit hati meraja-raja, aku mendera-dera. Tiga minggu lagi acara pensi, konsep belum juga ada. Ya, ulang tahun sekolah adalah pesta kreativitas. Tunjukkan bakat dan minatmu, demikian slogan, hingga poster di papan pengumuman.  Akhirnya menggulana durja.
“Kok, melamun, Riz!”
“Ya Ma, pusing.”
“Anak Mama gak boleh gitu. Ayo, bagi dong! Biar ringan pusingnya. Sekolah?”
‘Hmm,” mengangguk, “acara pensi, Ma.”
Lo, kok pusing. Memang kamu tidak punya bakat seni?”
“Banyak, Ma. Tapi gak tahu mana yang menonjol.”
“Piano,”  saran Mama.
Astaga! Dari mana ide konyol seperti itu, kataku di hati. Ah, ini namanya..., “Tidak!”
Pantas meradang. Di otak Mama, hanya itu, itu. Waktuku habis gara-gara les piano, menurutku bekal masa depan jauh dari harapan. Pikirkan saja, mana ada orang di Indonesia mau menekuni profesi pianis secara total. Nol, pikirku, “tidak!’ sambil berlalu meninggalkannya.
 Aku paham, beliau terobsesi piano. Almarhum Papa memiliki hobi bermain piano. Kini, tersisa rongsokan karena tidak ada satu pun di antara kami yang  menyentuh peninggalan Papa itu. Semasa hidup beliau, hari-hari menjadi kerontang hanya gara-gara les piano tmendarah daging. Jemari-jemariku, kala itu, merebaskan senyuman mereka: telah ada darah seni piano anak keturunannya, yaitu aku. Tidak! Apa yang kalian saksikan adalah fatamorgana, dentiganku adalah patung duka yang berdiri tegak di hati.
Di antara itu, satu nama yang menjadi menerima tanda penghargaan, yaitu Bais, sepupuku sekaligus guru piano. Hmm, dia cengengesan di atas derita. Lihatkah aku, Rizka menjadi pintar karena aku, katanya. Dasar penjilat, tertawalah atas pundi-pundi uang yang diberikan Papa dan Mama.
Sepeninggal Papa, akhirnya terlabrak dia, “senyummu jangan ada lagi di rumah ini,” hardikku sehingga dia minggat dari les piano, soreku
Sialan, rutukku. Mengapa nama orang itu singgah di otakku? Ya, sepupuku itu kembali. Satu Minggu ini pulang dari Jakarta, seusai lulus kuliah dari sana. Kisah lima tahun lalu -antara Papa Mama dengan Piano- menyeruaki atap dan dinding rumah. Ya, seminggu ini, denting-dentingan tuts piano sepupuku itu mememanggil kenangan Mama kepada almarhum Papa. Dasar pengangguran, kerjanya hanya satu, bermain piano dan piano. Cari kerjaan lain selain itu. Tuhh, pergi sana melamar kerja! Ijazah sebagus itu jangan di simpan di laci.
 “Ayo! Sudah ketemu, belum?” Mama terkekeh-kekeh, pas menemukanku sedang melamun. Ya, otaknya bermain logik ketika seribu bahasa mendera setiap hari.
Teruslah tertawa atas derita orang, merutuk di hatiku. Memang seperti itu, berita terkini di sekolah, tadi siang bahwa banyak teman sekelas berada dalam tahap finishing. Bagaimana dengan aku? Hmm, kabut kabur, banyak berkitar sekitar,  tidak ada satu pun yang cocok untuk persembahan pensi.
 Menyanyi solo terbersit untuk jadi pilihan. Maka,  setiap masuk kamar mandi selalu mengatur nada lagu. Tidak mungkin, suara becek basah tidak akan diapresiasi saat pensi. Lantas, membaca puisi. Ah ekspresiku mirip tembokku, tidak maksimal walaupun rima irama dipermainkan. Akhirnya, tadi siang bergabung dengan teman-teman yang bermain drama. Astaga, mereka menyodorkanku peran figuran, hanya tampil satu menit di panggung. Tidak! Jika begini, lebih baik menjadi penonton saja, daripada menjadi tertawaan. Aku tidak punya bakat dan minat seni, titik!
“Diam bukan seribu emas. Diam bukan sebuah solusi,” ucapnya sambil membelai rambut. Aku memandangi. Oh, ada surga di mata tuannya yang tua. Di situ ada kekeringan dari tanah kesungguhan berlumut ikhlas.
Betul ucapanmu, ujarku di hati, lalu “Ma! Aku sudah lupa. Jemariku akan kaku jika mendenting-dentingkan tuts piano itu.”
Tidak ada kata dan senyuman yang ke luar. Dia diam kaku, tapi meluruh ketika dia memelukku erat. Aku tahu, berjuta harapannya karena ucapan yang terlontar tadi. Pelangi hati baginya.
“Ayo, Nak! Obati hati dan rindu Mama pada alhamhur papamu.”
Meruntuh batin mendengar ucapannya. Ya, aku tahu, bahwa surga ada di telapak kakinya. Mengapa meraih surga itu, hanya dengan mengembalikan  memori-memorinya dentingan piano: aku dan Papa. Ya Tuhan, ingatanku kembali. Selama ini, aku lihat Mama sendirian di kamarnya. Hanya satu yang sering diputar di hapenya, I have a dream, permainan piano yang direkamnya di televisi. Ya, lagu kenangan suaminya, Papa tercintaku. Oh, mama mencari surga papa, aku mencari surga di mama. Maka, aku akan menjentikkan jari ini untuk menebus kebahagian.
* * *

Suasana hening atas diamku. Diam memang bukan seribu emas. Orang-orang di depan menanti kata yang terucap.
“Banyak yang berjasa atas penghargaan ini,” ulangku, “satu nama yang sangat berjasa, yaitu Mama.” Tepuk tangan kembali bergemuruh mendengarnya, “terima kasih, Mama.”