TERIMA
KASIH BUAT MAMA
Baharuddin
Iskandar
(SMA
NEGERI UNGGULAN PINRANG)
(cerpen ini terbit di koran Fajar, rubrik keker(
Standing
applaus
bergemuruh ketika I have a dream
berakhir. Aku berdiri lalu mengangguk menikmati anugerah itu: tidak dapat
menyembunyikan embun taman hati; tidak dapat menyembulkan perasaan, seakan-akan
menjadi ratu malam ini. Penutupan acara pensi menjadi klimaks. Lalu, aku turun
dari panggung.
Kursi masih dingin ketika aku duduki. Master of ceremony, kembali menyebutkan namaku
agar tampil kembali ke atas panggung. Apresiasi penonton adalah penilaian
terbaik, tidak akan pernah meleset. Malam bintang bersinar, aku disematkan peniti
emas atas persembahan seni terbaik. Indahnya, gelap gulita merayap sela-sela
dinding aula sekolah, sontak berwarna-warni.
“Banyak yang berjasa atas penghargaan ini.
Satu nama yang pertama adalah..,” lalu terdiam. Dua pilihan sulit untuk
menyebutnya, pikirku. Kepada siapakah? Mama atau Kakak.
* * *
Menunggu adalah pekerjaan terbaik, tidak
malam ini. Panitia pensi menggeser persembahan pianoku di bagian terakhir.
“Ayo semangat, Nak!” Mama menyemangatiku.
Aku terdiam, serius menatapi mataya, “tampil
terakhir, Ma. Mana bisa? Baitnya sendu, mestinya di tengah. Acara terakhirkan
harus menghentak.”
“Baik. Silakan memanggil Mama apa sajahlah,
asal fokus dan memberikan sajian paling indah malam ini.”
“Baik,
adikku Cantik. Jangan gugup, ya,” kata Mama.
“Terima kasih, Kak.” Oh, senangnya, hati
ditumbuhi melati mewangi. Energi segudang mengumpul. Dua minggu adalah waktu
terlalu lama, hanya agar Mama
memanggilku seperti itu, adik cantik.
* * *
Langit hati meraja-raja, aku mendera-dera.
Tiga minggu lagi acara pensi, konsep belum juga ada. Ya, ulang tahun sekolah
adalah pesta kreativitas. Tunjukkan bakat dan minatmu, demikian slogan, hingga
poster di papan pengumuman. Akhirnya
menggulana durja.
“Kok, melamun, Riz!”
“Ya Ma, pusing.”
“Anak Mama gak boleh gitu. Ayo, bagi dong! Biar ringan pusingnya. Sekolah?”
‘Hmm,” mengangguk, “acara pensi, Ma.”
“Lo,
kok pusing. Memang kamu tidak punya
bakat seni?”
“Banyak, Ma. Tapi gak tahu mana yang menonjol.”
“Piano,”
saran Mama.
Astaga! Dari mana ide konyol seperti itu,
kataku di hati. Ah, ini namanya..., “Tidak!”
Pantas meradang. Di otak Mama, hanya itu,
itu. Waktuku habis gara-gara les piano, menurutku bekal masa depan jauh dari
harapan. Pikirkan saja, mana ada orang di Indonesia mau menekuni profesi pianis
secara total. Nol, pikirku, “tidak!’ sambil berlalu meninggalkannya.
Aku
paham, beliau terobsesi piano. Almarhum Papa memiliki hobi bermain piano. Kini,
tersisa rongsokan karena tidak ada satu pun di antara kami yang menyentuh peninggalan Papa itu. Semasa hidup
beliau, hari-hari menjadi kerontang hanya gara-gara les piano tmendarah daging.
Jemari-jemariku, kala itu, merebaskan senyuman mereka: telah ada darah seni
piano anak keturunannya, yaitu aku. Tidak! Apa yang kalian saksikan adalah
fatamorgana, dentiganku adalah patung duka yang berdiri tegak di hati.
Di antara itu, satu nama yang menjadi menerima
tanda penghargaan, yaitu Bais, sepupuku sekaligus guru piano. Hmm, dia
cengengesan di atas derita. Lihatkah aku, Rizka menjadi pintar karena aku,
katanya. Dasar penjilat, tertawalah atas pundi-pundi uang yang diberikan Papa
dan Mama.
Sepeninggal Papa, akhirnya terlabrak dia,
“senyummu jangan ada lagi di rumah ini,” hardikku sehingga dia minggat dari les
piano, soreku
Sialan, rutukku. Mengapa nama orang itu
singgah di otakku? Ya, sepupuku itu kembali. Satu Minggu ini pulang dari
Jakarta, seusai lulus kuliah dari sana. Kisah lima tahun lalu -antara Papa Mama
dengan Piano- menyeruaki atap dan dinding rumah. Ya, seminggu ini, denting-dentingan
tuts piano sepupuku itu mememanggil kenangan Mama kepada almarhum Papa. Dasar
pengangguran, kerjanya hanya satu, bermain piano dan piano. Cari kerjaan lain
selain itu. Tuhh, pergi sana melamar kerja! Ijazah sebagus itu jangan di simpan
di laci.
“Ayo!
Sudah ketemu, belum?” Mama terkekeh-kekeh, pas menemukanku sedang melamun. Ya,
otaknya bermain logik ketika seribu bahasa mendera setiap hari.
Teruslah tertawa atas derita orang, merutuk
di hatiku. Memang seperti itu, berita terkini di sekolah, tadi siang bahwa
banyak teman sekelas berada dalam tahap finishing. Bagaimana dengan aku? Hmm, kabut
kabur, banyak berkitar sekitar, tidak
ada satu pun yang cocok untuk persembahan pensi.
Menyanyi
solo terbersit untuk jadi pilihan. Maka, setiap masuk kamar mandi selalu mengatur nada
lagu. Tidak mungkin, suara becek basah tidak akan diapresiasi saat pensi. Lantas,
membaca puisi. Ah ekspresiku mirip tembokku, tidak maksimal walaupun rima irama
dipermainkan. Akhirnya, tadi siang bergabung dengan teman-teman yang bermain
drama. Astaga, mereka menyodorkanku peran figuran, hanya tampil satu menit di
panggung. Tidak! Jika begini, lebih baik menjadi penonton saja, daripada
menjadi tertawaan. Aku tidak punya bakat dan minat seni, titik!
“Diam bukan seribu emas. Diam bukan sebuah
solusi,” ucapnya sambil membelai rambut. Aku memandangi. Oh, ada surga di mata
tuannya yang tua. Di situ ada kekeringan dari tanah kesungguhan berlumut ikhlas.
Betul ucapanmu, ujarku di hati, lalu “Ma! Aku
sudah lupa. Jemariku akan kaku jika mendenting-dentingkan tuts piano itu.”
Tidak ada kata dan senyuman yang ke luar. Dia
diam kaku, tapi meluruh ketika dia memelukku erat. Aku tahu, berjuta harapannya
karena ucapan yang terlontar tadi. Pelangi hati baginya.
“Ayo, Nak! Obati hati dan rindu Mama pada
alhamhur papamu.”
Meruntuh batin mendengar ucapannya. Ya, aku
tahu, bahwa surga ada di telapak kakinya. Mengapa meraih surga itu, hanya
dengan mengembalikan memori-memorinya
dentingan piano: aku dan Papa. Ya Tuhan, ingatanku kembali. Selama ini, aku
lihat Mama sendirian di kamarnya. Hanya satu yang sering diputar di hapenya, I
have a dream, permainan piano yang direkamnya di televisi. Ya, lagu kenangan
suaminya, Papa tercintaku. Oh, mama mencari surga papa, aku mencari surga di
mama. Maka, aku akan menjentikkan jari ini untuk menebus kebahagian.
* * *
Suasana hening atas diamku. Diam memang bukan
seribu emas. Orang-orang di depan menanti kata yang terucap.
“Banyak yang berjasa atas penghargaan ini,”
ulangku, “satu nama yang sangat berjasa, yaitu Mama.” Tepuk tangan kembali
bergemuruh mendengarnya, “terima kasih, Mama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar