Minggu, 23 September 2012

cer[en Terima kasih buat mama



TERIMA KASIH BUAT MAMA
Baharuddin Iskandar
(SMA NEGERI UNGGULAN PINRANG)
(cerpen ini terbit di koran Fajar, rubrik keker(

Standing applaus bergemuruh ketika I have a dream berakhir. Aku berdiri lalu mengangguk menikmati anugerah itu: tidak dapat menyembunyikan embun taman hati; tidak dapat menyembulkan perasaan, seakan-akan menjadi ratu malam ini. Penutupan acara pensi menjadi klimaks. Lalu, aku turun dari panggung.
Kursi masih dingin ketika aku duduki. Master of ceremony, kembali menyebutkan namaku agar tampil kembali ke atas panggung. Apresiasi penonton adalah penilaian terbaik, tidak akan pernah meleset. Malam bintang bersinar, aku disematkan peniti emas atas persembahan seni terbaik. Indahnya, gelap gulita merayap sela-sela dinding aula sekolah, sontak berwarna-warni.
“Banyak yang berjasa atas penghargaan ini. Satu nama yang pertama adalah..,” lalu terdiam. Dua pilihan sulit untuk menyebutnya, pikirku. Kepada siapakah? Mama atau Kakak.
* * *

Menunggu adalah pekerjaan terbaik, tidak malam ini. Panitia pensi menggeser persembahan pianoku di bagian terakhir.
“Ayo semangat, Nak!” Mama menyemangatiku.
Aku terdiam, serius menatapi mataya, “tampil terakhir, Ma. Mana bisa? Baitnya sendu, mestinya di tengah. Acara terakhirkan harus menghentak.”
“Baik. Silakan memanggil Mama apa sajahlah, asal fokus dan memberikan sajian paling indah malam ini.”
 “Baik, adikku Cantik. Jangan gugup, ya,” kata Mama. 
“Terima kasih, Kak.” Oh, senangnya, hati ditumbuhi melati mewangi. Energi segudang mengumpul. Dua minggu adalah waktu terlalu lama, hanya agar Mama  memanggilku seperti itu, adik cantik.
* * *

Langit hati meraja-raja, aku mendera-dera. Tiga minggu lagi acara pensi, konsep belum juga ada. Ya, ulang tahun sekolah adalah pesta kreativitas. Tunjukkan bakat dan minatmu, demikian slogan, hingga poster di papan pengumuman.  Akhirnya menggulana durja.
“Kok, melamun, Riz!”
“Ya Ma, pusing.”
“Anak Mama gak boleh gitu. Ayo, bagi dong! Biar ringan pusingnya. Sekolah?”
‘Hmm,” mengangguk, “acara pensi, Ma.”
Lo, kok pusing. Memang kamu tidak punya bakat seni?”
“Banyak, Ma. Tapi gak tahu mana yang menonjol.”
“Piano,”  saran Mama.
Astaga! Dari mana ide konyol seperti itu, kataku di hati. Ah, ini namanya..., “Tidak!”
Pantas meradang. Di otak Mama, hanya itu, itu. Waktuku habis gara-gara les piano, menurutku bekal masa depan jauh dari harapan. Pikirkan saja, mana ada orang di Indonesia mau menekuni profesi pianis secara total. Nol, pikirku, “tidak!’ sambil berlalu meninggalkannya.
 Aku paham, beliau terobsesi piano. Almarhum Papa memiliki hobi bermain piano. Kini, tersisa rongsokan karena tidak ada satu pun di antara kami yang  menyentuh peninggalan Papa itu. Semasa hidup beliau, hari-hari menjadi kerontang hanya gara-gara les piano tmendarah daging. Jemari-jemariku, kala itu, merebaskan senyuman mereka: telah ada darah seni piano anak keturunannya, yaitu aku. Tidak! Apa yang kalian saksikan adalah fatamorgana, dentiganku adalah patung duka yang berdiri tegak di hati.
Di antara itu, satu nama yang menjadi menerima tanda penghargaan, yaitu Bais, sepupuku sekaligus guru piano. Hmm, dia cengengesan di atas derita. Lihatkah aku, Rizka menjadi pintar karena aku, katanya. Dasar penjilat, tertawalah atas pundi-pundi uang yang diberikan Papa dan Mama.
Sepeninggal Papa, akhirnya terlabrak dia, “senyummu jangan ada lagi di rumah ini,” hardikku sehingga dia minggat dari les piano, soreku
Sialan, rutukku. Mengapa nama orang itu singgah di otakku? Ya, sepupuku itu kembali. Satu Minggu ini pulang dari Jakarta, seusai lulus kuliah dari sana. Kisah lima tahun lalu -antara Papa Mama dengan Piano- menyeruaki atap dan dinding rumah. Ya, seminggu ini, denting-dentingan tuts piano sepupuku itu mememanggil kenangan Mama kepada almarhum Papa. Dasar pengangguran, kerjanya hanya satu, bermain piano dan piano. Cari kerjaan lain selain itu. Tuhh, pergi sana melamar kerja! Ijazah sebagus itu jangan di simpan di laci.
 “Ayo! Sudah ketemu, belum?” Mama terkekeh-kekeh, pas menemukanku sedang melamun. Ya, otaknya bermain logik ketika seribu bahasa mendera setiap hari.
Teruslah tertawa atas derita orang, merutuk di hatiku. Memang seperti itu, berita terkini di sekolah, tadi siang bahwa banyak teman sekelas berada dalam tahap finishing. Bagaimana dengan aku? Hmm, kabut kabur, banyak berkitar sekitar,  tidak ada satu pun yang cocok untuk persembahan pensi.
 Menyanyi solo terbersit untuk jadi pilihan. Maka,  setiap masuk kamar mandi selalu mengatur nada lagu. Tidak mungkin, suara becek basah tidak akan diapresiasi saat pensi. Lantas, membaca puisi. Ah ekspresiku mirip tembokku, tidak maksimal walaupun rima irama dipermainkan. Akhirnya, tadi siang bergabung dengan teman-teman yang bermain drama. Astaga, mereka menyodorkanku peran figuran, hanya tampil satu menit di panggung. Tidak! Jika begini, lebih baik menjadi penonton saja, daripada menjadi tertawaan. Aku tidak punya bakat dan minat seni, titik!
“Diam bukan seribu emas. Diam bukan sebuah solusi,” ucapnya sambil membelai rambut. Aku memandangi. Oh, ada surga di mata tuannya yang tua. Di situ ada kekeringan dari tanah kesungguhan berlumut ikhlas.
Betul ucapanmu, ujarku di hati, lalu “Ma! Aku sudah lupa. Jemariku akan kaku jika mendenting-dentingkan tuts piano itu.”
Tidak ada kata dan senyuman yang ke luar. Dia diam kaku, tapi meluruh ketika dia memelukku erat. Aku tahu, berjuta harapannya karena ucapan yang terlontar tadi. Pelangi hati baginya.
“Ayo, Nak! Obati hati dan rindu Mama pada alhamhur papamu.”
Meruntuh batin mendengar ucapannya. Ya, aku tahu, bahwa surga ada di telapak kakinya. Mengapa meraih surga itu, hanya dengan mengembalikan  memori-memorinya dentingan piano: aku dan Papa. Ya Tuhan, ingatanku kembali. Selama ini, aku lihat Mama sendirian di kamarnya. Hanya satu yang sering diputar di hapenya, I have a dream, permainan piano yang direkamnya di televisi. Ya, lagu kenangan suaminya, Papa tercintaku. Oh, mama mencari surga papa, aku mencari surga di mama. Maka, aku akan menjentikkan jari ini untuk menebus kebahagian.
* * *

Suasana hening atas diamku. Diam memang bukan seribu emas. Orang-orang di depan menanti kata yang terucap.
“Banyak yang berjasa atas penghargaan ini,” ulangku, “satu nama yang sangat berjasa, yaitu Mama.” Tepuk tangan kembali bergemuruh mendengarnya, “terima kasih, Mama.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar