Senin, 12 November 2012



MAPPALEBBA DAWUNG**
ADA-ADA RIWINRUNA
BAHARUDDIN ISKANDAR*

(Puisi Bugis di Koran Fajar , 5 Nov 2012

Narekko maeloki mappalebba
Puraniga atimmu sitemmereng mata ati
Nasaba makkedai to malebbi,e
Engkaga wajojona cenning rara to ripojimmu
Selllu ri wiring matammu

Lettuni...
madduta  ulaweng
Pakengkai sulapa appa
Passalippuru watakkalemu
Tokkongi elo cinnamu

Mappalebba dawung
Mancaji ajjujugeng lino
Sipuppureng ahera

Narekko maeloki  mappalebba 
Puraniga maccamming
Nasaba makedai to panrita’e
Sanresengngi togengnge ri alusuna watakkalemu
Attulili dapureng  pitue babangna

Lettuni ...
madduta ulaweng
Pakengkai ada riwinru,ta
Pakkita wiring matammu
Tokkongi alluwareng linomu

Mappalebba dawung
Mancaji appakasiriseng sappo
Siyamaseang rupanna sumpulolo

Narekko maeloki  mappalebba 
Puraniga ulu bosi,e sirunttu pangatemu
Nasaba ada-adanna to acca,e
Juku arusu lettu ri alusuna
Totona lettu ri arusumu

Lettuni
Madduta ulaweng
Pakengkai warang parang pitu babangna
Passalipuru situjungeng wajaju elomu
Tompoki watakkale ri akkalejjakemmu


* lahir di Pinrang 4 Juni 1975 adalah guru SMA Negeri 3 Unggulan Kabupaten Pinrang. Tulisannya dipublikasi di Majalah Sastra Horison, Fajar, Tribun Timur, Profesi  dan Revolusi; juga buku: 23 Naskah Terbaik (Kumcer, Depdiknas, 2007) Atonia Uteri: Menemukan Jejak Masa Lalu (Novel, Shofia, 2011) Tragedi Puisi di Atas Panggung (Kumcer, Shofia, 2012).

** Mappalebba dawung  adalah kiasan yang biasa dipakai ketika mau diadakan acara lamaran (madduta). Biasanya, sebelum berangkat ke rumah perempuan yang mau dilamar, amanu-amunukeng (perkenalan diri) yang telah dilakukan akan disinergikan dengan pendapat to panrita (ulama)  dan to acca (ahli perjodohan). Kemudian, langkah berikut adalah madduta ulaweng (lamaran emas) yakni mempertimbangkan alusuna watakkale (keyakinan calon pelamar), rupanna sumpulolo (persetujuan keluarga), dan attulili dapureng  pitue babangna
(kesiapan dana untuk melamar, abottingeng (acara pernikahan), dan nafkah  lahir setelah pernikahan).



MENULIS AKSARA DI PERKAMPUNGAN SAWIT
(Cerpen di koran Fajar, 22 Oktober 2012

Esok adalah permulaan. Semua siap. Sepuluh hari menjadi segengggam harapan. Muasalnya adalah musallah yang diputuskan menjadi kelas belajar bagi anak-anak Sepanggar yang buta aksara. Lalu, saya berendam dalam kehangatan, di saat menatap anak-anak negeri terbebas dari kebodohan abadi.
Di luar sana, mata saya tertatap mati. Angin tersenyap dan menerpa bubungan seng di rumah-rumah panggung di Sepanggar, Malaysia berusaha menerobos musallah itu. Tetapi, rumah panggung yang dibangun oleh rerantau anak Indonesia diselimuti dingin. Tidak ada bergerak dari ranjau gelap. Apalagi, malam makin masif, membuat masa Magrib masem-masem. Menjelang magrib, mahkota senja yang sebentar lagi akan dipetik azan musallah kian melarik dan menjelantik kelam.
Di luar sana, mata saya tertapa mati oleh marcapada makin marikh. Mata angin makin memainkan mahakarya Tuhan. Mawar pekarangan juga majelis binatang nokturnal, mabuk mati tidak mati. Masyaallah, magma angin meraja-raja.
Buarrr. Massa angin mengamuk. Dahan dan daun maksimal berguncang, manuver hujan sebentar lagi muncul dan sesekali ada petir memagut penantian air yang turun dari awan hujan. Duh, Tuhan.
Sepuluh hari di Sepanggar, saya merasakan pepesan hidup kebun sawit. Saya menyaksikan semangat Indonesia yang berani menggantungkan pepohonan sawit. Buruh bukan juragan dan pemilik lahan. Mereka merimba rimbung rambah, lalu bergantian dengan penanaman sawit ribuan ekkar. Area  perkebunan sawit yang memiliki nilai jual tinggi dan sumber pendapatan menderik-derik dipermainkan angin. Jika harus membesarkan dan membina generasi-generasi maka biji sawit menjadi tumpuan.  
Kekuatan inilah sehingga La Tuwo meninggalkan kampung halaman. Pria berkulit legam ini dan paling dituakan di sini. Sapa sangkanya sehingga awal saya menginjakkan kaki di Sepanggar, rumahnyalah yang menjadi jujungan pertama.
Dari perjumpaan, saya dengan La Tuwo, memuncul khidmat simpul tentang tenaga-tenaga kasah perkebunan sawit yang bertebaran di Kampung Sepanggar. Sawit menjadi magma untuk mereguk nasib buat kehidupan di negeri orang lain. Itulah dilema, takkala negeri sendiri tidak mampu mengepulkan nasi di daput. Getir dan tidak berdaya. Sangat jarang, pekerja kompani yang mencucurkan keringat bisa hidup lebih layak.
Sepuluh hari itu pula, antara saya yang menjadi guru bantu dari kementerian di Jakarta dengan La Tuwo, menerima lara miris. Lebih dahsyat dari bayangan sewaktu pembekalan sebelum berangkat ke tanah jiran ini. Saya memilu saat menyaksikan ribuan anak Indonesia ditelan kebodohan. Generasi pelanjut dan kelak menjadi tumpuan masa depan terlantar gara-gara pendidikan yang tidak direstui. Ya, pemerintah diraja Malaysia tidak memberikan ruang kepada nonpribumi untuk mengecap pendidikan. Kasihan sekali, anak-anak dari pekerja kompani asal Indonesia.
“Mau diapa lagi? Pemerintah Diraja tidak membolehkan,” ucap La Tuwo.
“Jadi?”
“Ya, bagi yang bertenaga kuat, bisa membantu di kebun, biar dapat upah harian.”
“Anak-anak?”
“Ya, ambil pekerjaan di rumah, misalnya menjaga budak-budak (=anak bayi) di rumah. Dia akan dapat upah dari kompani. Satu budak, dua ringgit, baguskan
 “Main,” lanjutnya.
“Main? Tidak bisa begitu. Apa yang terjadi jika mereka pendidikan dan kehidupan di kemudian hari,” kataku.
“Pasrah sajalah. Siapa yang mau mengurus mereka, saat siang kami sibuk, saat malam terlelap karena lelah”
Saya tidak bisa berbuat banyak, maindsheet kolot sehingga onderdil melelet. Terakhir, saya sudah bisa merasakan tembus jantung, betapa miris, ternyata buta baca-tulis. Astaga!
“Ya, ejaan sih tidak masalah. Istri dan perempuan dewasa yang mengajar budak-budak itu?” jelas Ambo ketika saya mempertanyakannya
“Tapi mereka tidak bisa membaca dan menulis?
“Bisalah, sedikit-dikit.”
“Ya saya tahu, anak-anak itu tahu bunyi huruf english. Bukan alfabet Indonesia.”
“Kalau begitu, bantulah.”
Sip, akhirnya saya bisa memasuki hatinya. Berarti, tindak-tanduk berikutnya lebih lancar karena ucapan La Tuwo yang dihargai oleh perantau di kampung ini.
“Musallah. Bisakan tempat itu dijadikan kelas untuk mengajar anak-anak, biar mereka cerdas dan bisa membaca.”
Alhamdulillah. Esok adalah permulaan. Semua siap. Sepuluh hari menjadi segengggam harapan. Muasalnya adalah musallah yang diputuskan menjadi kelas belajar bagi anak-anak Sepanggar yang buta aksara Semoga saja, dua tahun dikontrak dari program kementerian pendidikan di Jakarta akan berandel, bisa menuntaskan kebodohan anak-anak di sini.
Buarr.
Angin yang meraja menjadi-jadi. Pintu dan jendela rumah panggung La Tuwo menderik-derik. Dedaunan sawit turut bergoyang menambah dingin di kulit. Perlahan,  setitik lalu dua titik air hujan makin menusuk atap-atap seng rumah panggung. Kemudian, angin makin meriuh lantak. Angin memamerkan suara.
“Angin bukanlah halangan,“ ucap La Tuwo memberikan alasan sambil menarik sarung tenunan yang melorot.
“Tunaikanlah salatmu!” mewanti-wanti La Tuwo agar bekerja malam ini. Musallah yang hanya terjaga saat waktu Jumat, termasuk Subuh-Isya dengan beberapa jamaah, akan dibersihkan di bagian belakangnya untuk kelas belajar.
 “Bergegaslah,” ucap kembali La Tuwo sambil memperbaiki letak sajadah di pundaknya untuk pergi Salat Magrib. Lalu berikutnya, dia melangkah ke luar. Dipikirannya, musallah akan dibersihkan menjadi sandaran untuk melek huruf anak-anak pribumi Indonesia di Sepanggar. Ya itu, musallah itu akan menjadi tempat menempa aksara buta. Menjadi tempat agar anak-anak bisa menikmati pendidikan Indonesia walau berada jauh di rantau negeri orang lain.
 Buarr.
Oleh-oleh gerimis benar-benar berubah menjadi badai. Bergemuruh sehingga saya yang telah berada di tepi pintu kembali mundur ke pintu. Suara betul-betul bergemuruh keras. Satu dua material sepertinya telah rubuh. Angin yang berlangsung begitu kencang, sama sekali bukan nikmat Tuhan saat-saat kuasa-Nya akan merotasi kehidupan alam raya. Tersisa adalah memetik hikmah dari setiap fenomena alam yang terjadi. Sepertinya, kita harus memetik matahati
La Tuwo yang lebih dahulu turun dari rumah, telah seperdua perjalanan memundur dan menyerah juga dari badai. Batang hidungnya tiba-tiba sudah kembali nongol, sambil menurun peci dan menenteng sajadah basahnya.
 “Musallah roboh.”
Saya tidak bergeming. Hanya bisa  mengangkat bahu, sambil memasang pas peci di kepalanya. Sudut mata La Tuwo yang meluap tajam seakan terbaca galau berazab purba. Sepertinya, saya mesti memetik matahati dari badai hujan. Maslahat bagi umat dan manusia ketika ada panggilan berurai maujud.
(Penulis adalah aktivis Forum Lingkar Pena (FLP), tinggal di Pinrang)