MENULIS AKSARA DI
PERKAMPUNGAN SAWIT
(Cerpen di koran Fajar, 22 Oktober 2012
Esok adalah permulaan. Semua siap. Sepuluh
hari menjadi segengggam harapan. Muasalnya adalah musallah yang diputuskan
menjadi kelas belajar bagi anak-anak Sepanggar yang buta aksara. Lalu, saya berendam
dalam kehangatan, di saat menatap anak-anak negeri terbebas dari kebodohan
abadi.
Di luar sana, mata saya tertatap mati. Angin
tersenyap dan menerpa bubungan seng di rumah-rumah panggung di Sepanggar,
Malaysia berusaha menerobos musallah itu. Tetapi, rumah panggung yang dibangun
oleh rerantau anak Indonesia diselimuti dingin. Tidak ada bergerak dari ranjau gelap.
Apalagi, malam makin masif, membuat masa Magrib masem-masem. Menjelang magrib, mahkota
senja yang sebentar lagi akan dipetik azan musallah kian melarik dan menjelantik
kelam.
Di luar sana, mata saya tertapa mati
oleh marcapada makin marikh. Mata
angin makin memainkan mahakarya Tuhan. Mawar pekarangan juga majelis binatang nokturnal,
mabuk mati tidak mati. Masyaallah, magma angin meraja-raja.
Buarrr. Massa angin mengamuk. Dahan dan
daun maksimal berguncang, manuver hujan sebentar lagi muncul dan sesekali ada
petir memagut penantian air yang turun dari awan hujan. Duh, Tuhan.
Sepuluh hari di Sepanggar, saya merasakan
pepesan hidup kebun sawit. Saya menyaksikan semangat Indonesia yang berani menggantungkan
pepohonan sawit. Buruh bukan juragan dan pemilik lahan. Mereka merimba rimbung
rambah, lalu bergantian dengan penanaman sawit ribuan ekkar. Area perkebunan sawit
yang memiliki nilai jual tinggi dan sumber pendapatan menderik-derik
dipermainkan angin. Jika harus membesarkan dan membina generasi-generasi maka
biji sawit menjadi tumpuan.
Kekuatan inilah sehingga La Tuwo meninggalkan
kampung halaman. Pria berkulit legam ini dan paling dituakan di sini. Sapa
sangkanya sehingga awal saya menginjakkan kaki di Sepanggar, rumahnyalah yang
menjadi jujungan pertama.
Dari perjumpaan, saya dengan La Tuwo,
memuncul khidmat simpul tentang tenaga-tenaga kasah perkebunan sawit yang
bertebaran di Kampung Sepanggar. Sawit menjadi magma untuk mereguk nasib buat
kehidupan di negeri orang lain. Itulah dilema, takkala negeri sendiri tidak
mampu mengepulkan nasi di daput. Getir dan tidak berdaya. Sangat jarang, pekerja
kompani yang mencucurkan keringat
bisa hidup lebih layak.
Sepuluh hari itu pula, antara saya yang
menjadi guru bantu dari kementerian di Jakarta dengan La Tuwo, menerima lara miris.
Lebih dahsyat dari bayangan sewaktu pembekalan sebelum berangkat ke tanah jiran
ini. Saya memilu saat menyaksikan ribuan anak Indonesia ditelan kebodohan.
Generasi pelanjut dan kelak menjadi tumpuan masa depan terlantar gara-gara
pendidikan yang tidak direstui. Ya, pemerintah diraja Malaysia tidak memberikan
ruang kepada nonpribumi untuk mengecap pendidikan. Kasihan sekali, anak-anak dari
pekerja kompani asal Indonesia.
“Mau diapa lagi? Pemerintah Diraja tidak
membolehkan,” ucap La Tuwo.
“Jadi?”
“Ya, bagi yang bertenaga kuat, bisa
membantu di kebun, biar dapat upah harian.”
“Anak-anak?”
“Ya, ambil pekerjaan di rumah, misalnya
menjaga budak-budak (=anak bayi) di
rumah. Dia akan dapat upah dari kompani.
Satu budak, dua ringgit, baguskan
“Main,”
lanjutnya.
“Main? Tidak bisa begitu. Apa yang
terjadi jika mereka pendidikan dan kehidupan di kemudian hari,” kataku.
“Pasrah sajalah. Siapa yang mau mengurus
mereka, saat siang kami sibuk, saat malam terlelap karena lelah”
Saya tidak bisa berbuat banyak, maindsheet kolot sehingga onderdil
melelet. Terakhir, saya sudah bisa merasakan tembus jantung, betapa miris,
ternyata buta baca-tulis. Astaga!
“Ya, ejaan sih tidak masalah. Istri dan
perempuan dewasa yang mengajar budak-budak
itu?” jelas Ambo ketika saya mempertanyakannya
“Tapi mereka tidak bisa membaca dan
menulis?
“Bisalah, sedikit-dikit.”
“Ya saya tahu, anak-anak itu tahu bunyi huruf
english. Bukan alfabet Indonesia.”
“Kalau begitu, bantulah.”
Sip, akhirnya saya bisa memasuki hatinya.
Berarti, tindak-tanduk berikutnya lebih lancar karena ucapan La Tuwo yang
dihargai oleh perantau di kampung ini.
“Musallah. Bisakan tempat itu dijadikan
kelas untuk mengajar anak-anak, biar mereka cerdas dan bisa membaca.”
Alhamdulillah. Esok adalah permulaan.
Semua siap. Sepuluh hari menjadi segengggam harapan. Muasalnya adalah musallah
yang diputuskan menjadi kelas belajar bagi anak-anak Sepanggar yang buta aksara
Semoga saja, dua tahun dikontrak dari program kementerian pendidikan di Jakarta
akan berandel, bisa menuntaskan kebodohan anak-anak di sini.
Buarr.
Angin yang meraja menjadi-jadi. Pintu
dan jendela rumah panggung La Tuwo menderik-derik. Dedaunan sawit turut
bergoyang menambah dingin di kulit. Perlahan,
setitik lalu dua titik air hujan makin menusuk atap-atap seng rumah
panggung. Kemudian, angin makin meriuh lantak. Angin memamerkan suara.
“Angin bukanlah halangan,“ ucap La Tuwo memberikan
alasan sambil menarik sarung tenunan yang melorot.
“Tunaikanlah salatmu!” mewanti-wanti La
Tuwo agar bekerja malam ini. Musallah yang hanya terjaga saat waktu Jumat,
termasuk Subuh-Isya dengan beberapa jamaah, akan dibersihkan di bagian
belakangnya untuk kelas belajar.
“Bergegaslah,”
ucap kembali La Tuwo sambil memperbaiki letak sajadah di pundaknya untuk pergi
Salat Magrib. Lalu berikutnya, dia melangkah ke luar. Dipikirannya, musallah akan
dibersihkan menjadi sandaran untuk melek huruf anak-anak pribumi Indonesia di
Sepanggar. Ya itu, musallah itu akan menjadi tempat menempa aksara buta. Menjadi
tempat agar anak-anak bisa menikmati pendidikan Indonesia walau berada jauh di
rantau negeri orang lain.
Buarr.
Oleh-oleh gerimis benar-benar berubah
menjadi badai. Bergemuruh sehingga saya yang telah berada di tepi pintu kembali
mundur ke pintu. Suara betul-betul bergemuruh keras. Satu dua material sepertinya
telah rubuh. Angin yang berlangsung begitu kencang, sama sekali bukan nikmat
Tuhan saat-saat kuasa-Nya akan merotasi kehidupan alam raya. Tersisa adalah
memetik hikmah dari setiap fenomena alam yang terjadi. Sepertinya, kita harus
memetik matahati
La Tuwo yang lebih dahulu turun dari
rumah, telah seperdua perjalanan memundur dan menyerah juga dari badai. Batang
hidungnya tiba-tiba sudah kembali nongol, sambil menurun peci dan menenteng sajadah
basahnya.
“Musallah roboh.”
Saya tidak bergeming. Hanya bisa mengangkat bahu, sambil memasang pas peci di
kepalanya. Sudut mata La Tuwo yang meluap tajam seakan terbaca galau berazab
purba. Sepertinya, saya mesti memetik matahati dari badai hujan. Maslahat bagi
umat dan manusia ketika ada panggilan berurai maujud.
(Penulis adalah aktivis Forum Lingkar Pena (FLP),
tinggal di Pinrang)