BERIKAN AKU
RESTU!
(Cerpen ini terbit hari Sabtu, 30 Maret 2012, di rubrik Keker, surat kabar Fajar, Makassar)
Kecepatan mph pesawat Garuda menurun. Sekitar sepuluh menit
lagi take off di Bandara Sultan
Hasanuddin. Ingin rasanya cepat-cepat menginjakkan kaki di kota itu.
Sepertinya, deru mesin Garuda memekak
di telinga tapi senyap 180 derajat oleh
energi nafsuku untuk segera meremput secara profesional. Aku bertekad
mempersembahkan point penting. Insya
Allah tidak akan terpeleset, tim akan mempersembahkan kemenangan.
Besok adalah debut pertama. Semoga
saja, harapku. Jika dipercaya pelatih akan menjadi sejarah terpenting.
Pikirku, keberangkatan ke Makassar
menjadi satu pembuktian kepada orang-orang yang tidak setuju dengan jalan yang
telah aku pilih. Mengingatnya, akhirnya menghela nafas. Batu kalbu itu belum
juga dipecahkan. Keras dan berat, berdiam dalam satu kenangan.
“Budi, Bapak tidak setuju dengan
pilihanmu. Pakai pikiran, jangan gunakan emosi.”
“Tolong Bapak, buka mata batin Bapak!
Jangan arogan, terlalu memaksakan kehendak yang sebenarnya tidak aku sukai.”
“Bukan Bapak yang membuka mata batin,
tapi kamu!” sambil berlalu dalan khawatir menggunung tinggi. Tidak bisa
membayangkan, anaknya memutuskan dunia sekolah gara-gara obsesi menjadi pemain sepakbola.
“Ahh! ada atau tidak ada izin yang diberikan
oleh Bapak, aku akan tetap pada pendirian.”
Prakk!
Tangan keras bapak mendarat keras di
pipi. Emosi membuncah di tugu hati. Aku memberontak. Di malam itu, langsung menuju
ke kamar untuk mengemas pakaian. Kemudian langsung pergi dan memutuskan untuk menginap
di mess pemain.
“Apa keputusanmu sudah bulat?” tanya
Basri, sang pelatih. Tampaknya, di malam itu, dia sangat prihatin setelah aku menceritakan
‘perang dunia’ dengan bapakku.
“Bulat seratus persan. Bahkan, aku
sudah putuskan bahwa sepak bola adalah masa depanku.”
“Sekolahmu bagaimana?”
“Membuang-buang waktu saja. Kita lihat
saja, banyak orang yang belajar dan duduk di bangku sekolah, tapi akhirnya
tidak punya kerja. Mereka menganggur.”
“Sekolah juga penting. Aku pikir,
pendapat bapakmu perlu dipertimbangkan karena sekolah adalah tempat mendidik agar
engkau menjadi cerdas.”
“Cerdas tidak cukup untuk zaman ini.
Terpenting adalah bekerja dan menghasilkan uang.”
“Tidak tepat itu, Nak! Pulanglah
kembali ke rumahmu. Bicarakan baik-baik lagi kepada bapakmu. Aku tahu, engkau
punya kemanpuan di atas rata-rata dalam mengolah bola, tetapi bicarakan
baik-baik. Jangan engkau buat luka hati orangtuamu.”
“Aku tahu, Pak! Tapi aku ingin
konsentrasi. Full seratus persen. Jika kembali ke rumah, berarti aku setuju
dengan keputusan bapakku. Masuk ke sekolah, dan meninggalkan bakat dan
keinginannku, sepakbola.
“Terserahlah! Aku hanya memberikan pertimbangan.
Tetapi selaku pelatih, aku instuksikan agar engkau pulang dan membicarakan
baik-baik dengan bapakmu.
Malam itu, aku tetap bertahan dengan
keputusan di mess pemain. Aku pikir, instruksi Sutino, sang pelatih hanya bunga
kehidupan, mekar lalu layu. Mundur kena, jika semakin mundur maka terjatuh.
Akhirnya tetap memilih untuk maju.
‘Perang dunia’ terus meledak, berlanjut
hinga aku dan bapak tidak pernah bertemu. Berlangsung hingga tiga minggu. Tidak
pernah sekali pun kembali ke rumah. Setiap hari, terus berlatih dan berlatih di
lapangan. Tapi selama itu, jangankan starting
eleven, masuk daftar pemain cadangan pun tidak pernah.
Membuncah. Mencapai kesuksesan
membutuhkan kerja keras dan totalitas. Pelangi cita-cita membutuhkan ruang
waktu: jika bukan sekarang maka esok dalam jawaban. Kemudian aku tetap berlatih
giat dan teguh, detik-detik menjadi
bulir keringat untuk meniti ranah profesionalisme.
Tapi, titik nadir. Timku terseok-seok
di papan bawah, di sana dan di sini mengalami kritikan. Performa tim dari empal
kekalahan berturut-turut menciptakan keresahan. Malah pernah kemasukan sepuluh
gol tanpa balas. Bukan hanya suporter yang mendera-dera, malah persoalan kian
tajan setelah pemilik kebijakan sepakbola di negeri ini menganggap tim ilegal
dan tidak sah. Tim terancam bubar.
“Percayalah kepadaku, Pak Pelatih!”
pintaku di sela-sela latihan, “skill-ku
di atas rata-rata, tapi tidak pernah dimainkan. Aku butuh pengalaman agar
muncul kepercayaan. Percayalah kepadaku,
tolong aku ketika lawatan ke Makassar.”
“Tidak!”
“Mengapa?”
“Skill-mu
bagus, tapi emosi belum terkontrol?”
“Maksudnya?”
“Bapakmu.”
Astaga. Tiba-tiba tersadar dari gairah
kehidupan. Tidak menyangka, hanya karena persoalan dengan bapak sehingga
menjalani hukuman moral dari pelatih. Mengapa, pikirku.
“Sekolah adalah bagian sangat penting.
Kamu perlu tetap sekolah di samping menjadi profesional.”
Kembali tersadar. Wajah teman-teman bergelayut
dalam layang-layang pikiran. Hari terbaik di kelas, bertemu dengan guru-guru welas
asih. Waktu indah yang terbuang oleh obsesi tinggi
“Walaupun dia menamparmu. Beliau tetap
orangtuamu yang mesti engkau hormati. Tidak ada harimau yang memakan anaknya.
Engkau harus meminta maaf.”
Tersentak. Maaf, satu laksem yang hilang oleh obsesi dan
emosi. Seketika, hatiku dibuncah serpihan rasa bersalah. Kesuksesan bukan hanya
ditentukan oleh kerja keras, tapi sebuah restu. Bapak, berikan aku restumu,
pikirku. Kemudian, kakiku melayang menuju pengharibaan rasa salah dan bercampur
aduk oleh rindu. Tiga minggu, tidak pernah menatap wajah renta, bapakku.
Ketika pulang ke rumah untuk bertemu
dengan bapak, hangat pelukan sehangat
matahari senja. Di situ, aku luruh dan bersimpuh di jari kakinya.
“Maafkan, Pamungkas Pak!”
Juga luruh. Tangisan orangtuaku
berbubuk air, ‘Nak! Maafkan juga Bapak!”
“Pak, aku bersalah. Aku ikuti
keinginan untuk sekolah.”
“Iya, terima kasih,” lembutnya sambil
membelai gerai-gerai rambut.
“Aku salah, Pak!”
“Bapak yang justeru bersalah.
Wujudkanlah keinginmu! Jadilah pemain profesional. Aku merestuimu.”
“Aku direstui.”
“Iya Nak!”
“Aku akan jaga kepercayaan, Bapak.
Termasuk mengikuti perintahnya untuk tetap bersekolah,”
Seketika orangtuaku memdenamkan aku
dalam dekapannya. Bersyukur sepenjuru bumi karena doa-doa telah runtuh dalam
kalbu.
Sejak itu, jalan profesional sepak
bolaku terbuka lebar. Ternyata, pintu nasib yang dul tertutup secara perlahan dibukakan
Tuhan. Jangan mengumpulkan emosi di otak, tapi gunakan mata hati! Inilah
terjadi.
* * *
Akhirnya take off. Dari jendela Garuda, mendung mengantung di selimut
langit. Di sana, jejak-jejak paku hujan merotasi angin sore. Para penumpang
bersiap turun dari pesawat. Aku masih berdiam di kursim Maklum, hari ini adalah
pengalaman pertama kali naik ke pesawat, jadi gerak-gerik teman-teman setim
pernah luput dari ekor mataku.
Pandangan kualihkan ke samping, kepada
M. Basir, pelatihku. Selama di pesawat terlihat dia hanya diam, gelisahnya
bergelayut. Pantas begitu. Dua maestro tim, Wahyu dan Agum, dibekap cidera paha.
Dua striker lain lain terkena akumulasi kartu kuning. Kini, tersisa adalah aku,
striker muda tetapi tidak pernah turun ke lapangan menjadi tumpuan. Percayalah,
bisik di hati, insya Allah aku akan menciptakan gol dan akan meraih poin di
sini. Aku tidak takut dengan keangkeran Stadion Mattoangin.pikirku kemudian.
“Siap bermain?” katanya membalas
tatapanku.
“Siap. Terima kasih. Kali ini, pilihlah
aku.”
(Alumni
ToWR FLP Sulsel, guru Bahasa dan Sastra Indonesia)