Minggu, 08 April 2012


BERIKAN AKU RESTU!
(Cerpen ini terbit hari Sabtu, 30 Maret 2012, di rubrik Keker, surat kabar Fajar, Makassar)

Kecepatan mph pesawat Garuda menurun. Sekitar sepuluh menit lagi take off di Bandara Sultan Hasanuddin. Ingin rasanya cepat-cepat menginjakkan kaki di kota itu.
Sepertinya, deru mesin Garuda memekak di telinga tapi senyap 180 derajat oleh  energi nafsuku untuk segera meremput secara profesional. Aku bertekad mempersembahkan point penting. Insya Allah tidak akan terpeleset, tim akan mempersembahkan kemenangan.
Besok adalah debut pertama. Semoga saja, harapku. Jika dipercaya pelatih akan menjadi sejarah terpenting. 
Pikirku, keberangkatan ke Makassar menjadi satu pembuktian kepada orang-orang yang tidak setuju dengan jalan yang telah aku pilih. Mengingatnya, akhirnya menghela nafas. Batu kalbu itu belum juga dipecahkan. Keras dan berat, berdiam dalam satu kenangan.
“Budi, Bapak tidak setuju dengan pilihanmu. Pakai pikiran, jangan gunakan emosi.”
“Tolong Bapak, buka mata batin Bapak! Jangan arogan, terlalu memaksakan kehendak yang sebenarnya tidak aku sukai.”
“Bukan Bapak yang membuka mata batin, tapi kamu!” sambil berlalu dalan khawatir menggunung tinggi. Tidak bisa membayangkan, anaknya memutuskan dunia sekolah gara-gara obsesi menjadi pemain sepakbola.
“Ahh! ada atau tidak ada izin yang diberikan oleh Bapak, aku akan tetap pada pendirian.”
Prakk!
Tangan keras bapak mendarat keras di pipi. Emosi membuncah di tugu hati. Aku memberontak. Di malam itu, langsung menuju ke kamar untuk mengemas pakaian. Kemudian langsung pergi dan memutuskan untuk menginap di mess pemain.
“Apa keputusanmu sudah bulat?” tanya Basri, sang pelatih. Tampaknya, di malam itu, dia sangat prihatin setelah aku menceritakan ‘perang dunia’ dengan bapakku.
“Bulat seratus persan. Bahkan, aku sudah putuskan bahwa sepak bola adalah masa depanku.”
“Sekolahmu bagaimana?”
“Membuang-buang waktu saja. Kita lihat saja, banyak orang yang belajar dan duduk di bangku sekolah, tapi akhirnya tidak punya kerja. Mereka menganggur.”
“Sekolah juga penting. Aku pikir, pendapat bapakmu perlu dipertimbangkan karena sekolah adalah tempat mendidik agar engkau menjadi cerdas.”
“Cerdas tidak cukup untuk zaman ini. Terpenting adalah bekerja dan menghasilkan uang.”
“Tidak tepat itu, Nak! Pulanglah kembali ke rumahmu. Bicarakan baik-baik lagi kepada bapakmu. Aku tahu, engkau punya kemanpuan di atas rata-rata dalam mengolah bola, tetapi bicarakan baik-baik. Jangan engkau buat luka hati orangtuamu.”
“Aku tahu, Pak! Tapi aku ingin konsentrasi. Full seratus persen. Jika kembali ke rumah, berarti aku setuju dengan keputusan bapakku. Masuk ke sekolah, dan meninggalkan bakat dan keinginannku, sepakbola.
“Terserahlah! Aku hanya memberikan pertimbangan. Tetapi selaku pelatih, aku instuksikan agar engkau pulang dan membicarakan baik-baik dengan bapakmu.
Malam itu, aku tetap bertahan dengan keputusan di mess pemain. Aku pikir, instruksi Sutino, sang pelatih hanya bunga kehidupan, mekar lalu layu. Mundur kena, jika semakin mundur maka terjatuh. Akhirnya tetap memilih untuk  maju. 
‘Perang dunia’ terus meledak, berlanjut hinga aku dan bapak tidak pernah bertemu. Berlangsung hingga tiga minggu. Tidak pernah sekali pun kembali ke rumah. Setiap hari, terus berlatih dan berlatih di lapangan. Tapi selama itu, jangankan starting eleven, masuk daftar pemain cadangan pun tidak pernah.
Membuncah. Mencapai kesuksesan membutuhkan kerja keras dan totalitas. Pelangi cita-cita membutuhkan ruang waktu: jika bukan sekarang maka esok dalam jawaban. Kemudian aku tetap berlatih giat dan teguh,  detik-detik menjadi bulir keringat untuk meniti ranah profesionalisme.
Tapi, titik nadir. Timku terseok-seok di papan bawah, di sana dan di sini mengalami kritikan. Performa tim dari empal kekalahan berturut-turut menciptakan keresahan. Malah pernah kemasukan sepuluh gol tanpa balas. Bukan hanya suporter yang mendera-dera, malah persoalan kian tajan setelah pemilik kebijakan sepakbola di negeri ini menganggap tim ilegal dan tidak sah. Tim terancam bubar.
“Percayalah kepadaku, Pak Pelatih!” pintaku di sela-sela latihan, “skill-ku di atas rata-rata, tapi tidak pernah dimainkan. Aku butuh pengalaman agar muncul kepercayaan.  Percayalah kepadaku, tolong aku ketika lawatan ke Makassar.”
“Tidak!”
“Mengapa?”
Skill-mu bagus, tapi emosi belum terkontrol?”
“Maksudnya?”
“Bapakmu.”
Astaga. Tiba-tiba tersadar dari gairah kehidupan. Tidak menyangka, hanya karena persoalan dengan bapak sehingga menjalani hukuman moral dari pelatih. Mengapa, pikirku.
“Sekolah adalah bagian sangat penting. Kamu perlu tetap sekolah di samping menjadi profesional.”
 Kembali tersadar. Wajah teman-teman bergelayut dalam layang-layang pikiran. Hari terbaik di kelas, bertemu dengan guru-guru welas asih. Waktu indah yang terbuang oleh obsesi tinggi
“Walaupun dia menamparmu. Beliau tetap orangtuamu yang mesti engkau hormati. Tidak ada harimau yang memakan anaknya. Engkau harus meminta maaf.”
Tersentak. Maaf, satu laksem yang hilang oleh obsesi dan emosi. Seketika, hatiku dibuncah serpihan rasa bersalah. Kesuksesan bukan hanya ditentukan oleh kerja keras, tapi sebuah restu. Bapak, berikan aku restumu, pikirku. Kemudian, kakiku melayang menuju pengharibaan rasa salah dan bercampur aduk oleh rindu. Tiga minggu, tidak pernah menatap wajah renta, bapakku.
Ketika pulang ke rumah untuk bertemu dengan bapak, hangat pelukan sehangat  matahari senja. Di situ, aku luruh dan bersimpuh di jari kakinya.
“Maafkan, Pamungkas Pak!”
Juga luruh. Tangisan orangtuaku berbubuk air, ‘Nak! Maafkan juga Bapak!”
“Pak, aku bersalah. Aku ikuti keinginan untuk sekolah.”
“Iya, terima kasih,” lembutnya sambil membelai gerai-gerai rambut.
“Aku salah, Pak!”
“Bapak yang justeru bersalah. Wujudkanlah keinginmu! Jadilah pemain profesional. Aku merestuimu.”
“Aku direstui.”
 “Iya Nak!”
“Aku akan jaga kepercayaan, Bapak. Termasuk mengikuti perintahnya untuk tetap bersekolah,”
Seketika orangtuaku memdenamkan aku dalam dekapannya. Bersyukur sepenjuru bumi karena doa-doa telah runtuh dalam kalbu.
Sejak itu, jalan profesional sepak bolaku terbuka lebar. Ternyata, pintu nasib yang dul tertutup secara perlahan dibukakan Tuhan. Jangan mengumpulkan emosi di otak, tapi gunakan mata hati! Inilah terjadi.
* * *
Akhirnya take off. Dari jendela Garuda, mendung mengantung di selimut langit. Di sana, jejak-jejak paku hujan merotasi angin sore. Para penumpang bersiap turun dari pesawat. Aku masih berdiam di kursim Maklum, hari ini adalah pengalaman pertama kali naik ke pesawat, jadi gerak-gerik teman-teman setim pernah luput dari ekor mataku.
Pandangan kualihkan ke samping, kepada M. Basir, pelatihku. Selama di pesawat terlihat dia hanya diam, gelisahnya bergelayut. Pantas begitu. Dua maestro tim, Wahyu dan Agum, dibekap cidera paha. Dua striker lain lain terkena akumulasi kartu kuning. Kini, tersisa adalah aku, striker muda tetapi tidak pernah turun ke lapangan menjadi tumpuan. Percayalah, bisik di hati, insya Allah aku akan menciptakan gol dan akan meraih poin di sini. Aku tidak takut dengan keangkeran Stadion Mattoangin.pikirku kemudian.
“Siap bermain?” katanya membalas tatapanku.
“Siap. Terima kasih. Kali ini, pilihlah aku.”
      (Alumni ToWR FLP Sulsel, guru Bahasa dan Sastra Indonesia)