Prinsip
Kepemimpinan Politik Manusia Bugis
Kasman
Dg. Matutu - Member of Bureaucratic Reform Institute, Makassar
KEBIJAKSANAAN lokal merupakan
khazanah warisan kebudayaan yang seharusnya senantiasa tetap mendapatkan
perhatian dalam upaya bersama membangun sebuah bangsa majemuk yang berbudaya.
Dari local wisdom tersebut, dapat diserap berbagai sari jati diri bangsa yang
kaya akan keanekaragaman budaya dan tradisi.
Prinsip Kepemimpinan Politik Manusia
Bugis
Pun dalam hal kepemimpinan, local wisdom menyediakan demikian banyaknya prinsip-prinsip dasar yang dapat diapresiasi secara lebih serius dalam upaya mengkonstruksi model kepemimpinan politik nasional. Dari local wisdom, dapat ditemukan semacam kearifan budaya yang demikian kuat membentuk kultur kepemimpinan lokal.
Jangan
serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai
engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila
ditunjuk barulah engkau mengiyakan
Bugis
sebagai salahsatu lokalitas yang membangun kebhinnekaan budaya Indonesia juga
memiliki seperangkat local genious (kecerdasan lokal) yang dipraktekkan dalam
kehidupan kultural mereka. Dalam local genious Bugis tersebut dapat pula
ditarik beberapa prinsip dasar kepemimpinan pilitik manusia Bugis.
Menjadi
Pemimpin
Khazanah
kearifan lokal Bugis, dapat diperoleh dalam berbagai karya sastra Bugis klasik
yang memuat beragam kearifan dan ternyata masih relevan dengan kehidupan
sekarang ini. Beberapa sumber kearifan lokal tersebut adalah Sure Galigo, Lontara,
Paseng to Riolo dan Elong. Di sana terdapat beragam warisan kearifan yang tak
ternilai harganya.
Dalam hal kepemimpinan, maka hal mendasar yang ditekankan untuk diperhatikan dalam khazanah kearifan lokal Bugis adalah manusianya. Bagaimana kualitas seseorang yang akan menjadi pemimpin. Dalam Lontara Pappaseng To Riolota disebutkan sebuah pepatah Bugis, ”Duami kuala sappo, Unganna Panasa’e, Belo Kanukue” (dua hal yang kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku).
Dalam bahasa Bugis, bunga nangka disebut ”lempu” yang berasosiasi dengan kata jujur. Sedangkan hiasan kuku ditulis dengan kata ”pacci” yang dalam bahasa Bugis juga bisa terbaca ”paccing” yang bermakna bersih dan suci. Jadi ada dua kualitas manusia yang pantas diangkat menjadi pagar atau penjaga bagi manusia lain, yaitu manusia yang jujur serta bersih dan suci.
Hanya manusia yang jujur serta bersih dan sucilah yang pantas diangkat jadi pemimpin. Dengan kejujurannya, maka orang tersebut tidak akan melalaikan amanah, dengan kebersihan dan kesucian hatinya, dia tidak akan berbuat dzalim terhadap rakyatnya.
Dalam
pesan yang lain, ditemukan bahwa masyarakat Bugis akan menerima seorang
pemimpin yang memenuhi karekter berikut, Maccai na malempu, Waraniwi na
magetteng (Cendekia lagi jujur, Berani lagi teguh pendirian). Pemimpin yang
baik bagi masyarakat Bugis adalah pemimpin yang cendekia dan jujur serta berani
yang dilengkapi dengan keteguhan pada pendirian yang benar.
Pemimpin tidak hanya harus pandai dan cendekia melainkan harus disertai kejujuran agar pemimpin tersebut tidak membodohi rakyat yang dipimpinnya. Sementara itu, berani juga harus tetap dilengkapi dengan keteguhan pendirian untuk melengkapi kepandaian dan kejujuran agar pemimpin tersebut tidak menjadi bermodal nekad belaka, tapi keberanian yang dilandasi pertimbangan yang matang.
Pemimpin tidak hanya harus pandai dan cendekia melainkan harus disertai kejujuran agar pemimpin tersebut tidak membodohi rakyat yang dipimpinnya. Sementara itu, berani juga harus tetap dilengkapi dengan keteguhan pendirian untuk melengkapi kepandaian dan kejujuran agar pemimpin tersebut tidak menjadi bermodal nekad belaka, tapi keberanian yang dilandasi pertimbangan yang matang.
Lebih
lanjut, dalam Lontara Sukku’na Wajo disebutkan beberapa kriteria pemimpin yang
ideal dalam konsepsi masyarakat Bugis, yaitu :
- Jujur terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sesamanya manusia;
- Takut kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghormati rakyatnya dan orang asing serta tidak membeda-bedakan rakyatnya;
- Mampu memperjuangkan kebaikan negerinya agar berkembang dengan baik, dan mampu menjamin tidak terjadinya perselisihan antara pejabat pemerintah dan rakyatnya;
- Mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya;
- Berani dan tegas, tidak gentar hatinya mendengar berita buruk (kritik) dan berita baik (tidak mudah terbuai oleh sanjungan);
- Mampu mempersatukan rakyatnya beserta para pejabat pemerintahan;
- Berwibawa terhadap para pejabat dan pembantu-pembantunya;
- Jujur dalam segala keputusannya.
Etika Kepemimpinan
Seorang
yang terpilih menjadi pemimpin dituntut untuk memiliki bangunan etika tertentu
yang menjadi prasyarat etis yang harus dipenuhi. Setidaknya ada 4 (empat) nilai
etik utama bagi seorang pemimpin dalam konstruksi masyarakat Bugis, yaitu (1)
niat yang tulus, (2) konsistensi, (3) rasa keadilan, dan (4) azas kepatutan.
Pertama,
niat yang tulus. Seorang pemimpin harus berangkat dari niat yang tulus dan hati
yang bersih, atau dikenal dengan istilah ati madeceng atau ati macinnong.
Secara etis, seorang pemimpin diharapkan untuk menanggalkan semua bias motivasi
ketika akan menduduki posisi kepemimpinan dalam masyarakat.
Dalam
Lontara Paseng To Riolota, terdapat sebuah pesan yang berbunyi, ”Makkedatopi
Arung Bila: eppa tanranna to madeceng kalawing ati. Seuani, passu’i ada na
patuju. Maduanna, matuoi ada na sitinaja. Matellunna, duppai ada napasau.
Ma’eppana, moloi ada na padapi” (artinya: “Berkata Arung Bila: empat tanda
orang yang baik bawaan hatinya. Pertama, mengucapkan kata yang benar. Kedua,
menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa.
Keempat melaksanakan kata-katanya dan mencapai sasaran”).
Bila
seseorang telah memiliki niat yang tulus, maka akan berimplikasi pada prasyarat
etis yang kedua, yaitu konsistensi yang ditandai dengan satunya kata dan
perbuatan. Masyarakat Bugis memahami betul petuah ”Taro ada taro gau” yang
berarti satunya kata dan perbuatan. Pesan ini benar-benar dihayati oleh seorang
pemimpin Bugis.
Sebagai
contoh, ada riwayat tentang Lamanussa Toakkarangen ketika menjadi Datu Soppeng.
Pada masa pemerintahannya, rakyat Soppeng mengalami kelaparan yang timbul
karena paceklik sebagai efek dari kemarau panjang yang melanda negeri. Melihat
kondisi ini, Datu meneliti apakah ada pejabatnya yangg melakukan tindakan
dzalim kepada rakyat? Ternyata tidak ada.
Setelah Datu merenungkan lebih dalam, dia kemudian teringat pernah mengambil sesuatu dari rakyat dan disimpannya sebagai pribadi. Datu menyadai hal tersebut dan mengakui perbuatannya di depan umum dan bersedia mengembalikan barang tersebut. Sebagai hukuman atas tindakannya tersebut, Datu menyembelih kerbau dan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat.
Nilai etis ketiga adalah rasa keadilan. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus menjaga rasa keadilan masyarakat dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pepatah Bugis mengatakan, ”Ri pariaja’i ri aja’e, ri parialau’i rialau’e, ri parimaniangngi ri maniangnge, ri parimanorangngi manorangnge. Ri pari ase’i ri ase’e, ri pariawa’i ri awa’e”.
Setelah Datu merenungkan lebih dalam, dia kemudian teringat pernah mengambil sesuatu dari rakyat dan disimpannya sebagai pribadi. Datu menyadai hal tersebut dan mengakui perbuatannya di depan umum dan bersedia mengembalikan barang tersebut. Sebagai hukuman atas tindakannya tersebut, Datu menyembelih kerbau dan dagingnya dibagikan kepada seluruh rakyat.
Nilai etis ketiga adalah rasa keadilan. Ini berarti bahwa seorang pemimpin harus menjaga rasa keadilan masyarakat dengan cara menempatkan sesuatu pada tempatnya. Pepatah Bugis mengatakan, ”Ri pariaja’i ri aja’e, ri parialau’i rialau’e, ri parimaniangngi ri maniangnge, ri parimanorangngi manorangnge. Ri pari ase’i ri ase’e, ri pariawa’i ri awa’e”.
Pesan ini berarti, ”tempatkanlah di barat apa yang memang seharusnya di barat, di timur yang memang seharusnya di timur, di selatan yang memang seharusnya di selatan, di utara yang memang seharusnya di utara. Tempatkanlah di atas apa yang memang seharusnya di atas, di bawah yang memang seharusnya di bawah”.
Nilai etik ini menjadi panduan dalam menegakkan keadilan masyarakat. Salahkanlah siapa yang memang bersalah, siapapun dia. Dan belalah yang benar, meskipun dia bukan siapa-siapa. Hargai yang tua, sayangi yang muda.
Penegakan
rasa keadilan akan mendorong munculnya niali etik keempat, azas kepatutan. Para
tetua Bugis memesankan, ”Mappasitinaja atau mappasikoa” atau memperhatikan azas
kepatutan sesuatu. Sebuah pepatah Bugis mempertegas hal ini, ”Aja’ muangoai
onrong, aja’to muacinnai tanre tudangeng. De’tu mulle’i padecengi tana. Ri
sappa’po muompo, ri jello’po muakkengau” .
Arti dari pesan ini adalah, ”jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan”. Azas kepatutan juga mendasarkan agar seseorang memiliki sikap mawas diri dan atau sadar diri.
Arti dari pesan ini adalah, ”jangan serakahi posisi, jangan pula terlalu mengingini kedudukan tinggi. Jangan sampai engkau tidak mampu mengurus negeri. Bila dicari, barulah kamu muncul, bila ditunjuk barulah engkau mengiyakan”. Azas kepatutan juga mendasarkan agar seseorang memiliki sikap mawas diri dan atau sadar diri.
Karakter
Kepemimpinan
Selain
membahas tentang etika kepemimpinan, berbagai khazanah kearifan lokal Bugis
seperti Sure Galigo, Lontara, Paseng to Riolo dan Elong, juga memuat tentang
karakter kepemimpinan politik manusia Bugis. Pertama, penegakan hukum. Sebuah
petuah berharga tanah Bugis berbunyi, ”ade’ temmakkiana’ temmakieppo” yang
berarti bahwa ”adat tidak mengenal anak, tidak mengenal cucu”.
Prinsip
ini dapat ditemukan aplikasinya sebagaimana dicontohkan oleh Raja Bone La Patau
Matanna Tikka ketika menghukum putranya La Temmasonge pada tahun 1710 dengan
hukuman ”ri paoppangi tana” (di usir dari Bone dan dibuang ke Buton) karena
membunuh Arung Tibojong. Begitupula Arung Maroa Wajo X La Pakoko Topabbele’
menghukum mati anaknya sendiri La Pabbele’ karena memperkosa seorang perempuan
di kampung To Tinco.
Karakter
kepemimpinan kedua, adalah demokratis atau dalam khasanah Bugis disebut
kemerdekaan. Dalam Lontara Sukku’na Wajo terdapat sebuah petuah yang berbunyi,
”Naiyya ri asengge maradeka, tellumi pannessai: seuani, tenri lawa’i ri olona.
Maduanna, tenri angka’i ri ada-adanna. Matellunna, ternri atteangngi lao
maniang, lao manorang, lao orai, lao alau, lao ri ase, lao manorang”.
Petuah
ini berati bahwa “yang dinamakan merdeka, ada tiga hal yang menentukan:
pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan
pendapat; ketiga, tidak dilarang ke selatan, ke utara, ke barat, ke timur, ke
atas, ke bawah”. Benar-benar sebuah jaminan akan kebebasan masyarakat. [V]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar