Senin, 20 Februari 2012


Bedah novel Atonia Uteri
Realitas Sosial dalam Sastra[1]
Hamran Sunu[2]
”Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (QS. Hud: 88)

Sastra adalah bentuk-bentuk keindahan yang dialami pembaca setelah berpengalaman membaca sebuah karya; cerpen, puisi, novel dan karya sastra lain. Itu, merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imaginatif sebagai manifestasi kehidupan manusia (masyarakat) melalui bahasa sebagai media komunikasi.[3]

Novel Laskar Pelangi (LP), debut yang dibesut Andrea Hirata merupakan salah sebuah bentuk pengungkapan keindahan yang dibidani dari fakta artistik, demikian pula sekuel kelanjutan dari seri ini. Meskipun banyak yang berkeyakinan, termasuk saya, kelanjutan LP, didominasi pengungkapan imajinatif dibanding fakta artistik.

Satu urai benang yang dapat saya simpul berdasarkan pengalaman membaca dan membuat karya fiksi; cerpen dan novel, betapa pun merupakan pengungkapan fakta artisitik penulis maupun orang lain yang menjadi objek tulisan, di dalamnya akan dibaluri unsur imaginasi. Pun sebaliknya, betapa imaginatif sebuah karya sastra, itu dalam beberapa penggal, akan bersandar pada pengalaman penulis. Itulah sastra. Itulah novel.

Saya yakin, Atonia Uteri juga adalah karya agung yang lahir dari fakta artistik dan imaginasi penulis. Itu fiksi yang menggambarkan realitas sosial suatu masyarakat, menceritakan tokoh utama seorang dokter kandungan, dr. Intan Nuralam, Sp.OG. Dokter yatim piatu ini bertugas di kota kelahirannya, Pinrang. Tokoh lain adalah bidan Sri, Itati, Fitri, ibu direktur rumah sakit, bidan Pipiet, tante Ani, Syaifullah, Yunus, Denyar sang wartawan, dan tokoh lain.

Kisah dalam novel beralur campur ini cukup runtut. Novel menggambarkan dunia medis melalui dialog dan konflik yang dibangun oleh penulis melalui tokoh cerita. Ide cerita dengan tema kedokteran/kebidanan mengindikasikan bahwa penulis melakukan kreativitas berupa riset untuk membidani karya sastra ini, jika, mengingat latar belakang penulis yang berprofesi sebagai guru. Dalam banyak dialog disebutkan berbagai istilah dan simbol khas yang berkaitan dengan tema yang digarap dalam karya ini.

  1. Komunikasi dalam Bahasa dan Simbol
            Menurut Badrun, bahasa, garis, dan simbol-simbol lain sebagai alat, yang membangun imaginatif  yang bersifat seni, adalah ciri dari sebuah karya sastra.2. Penulis Atonia Uteri telah berkomunikasi dengan pembaca dengan sejumlah istilah dan simbol.
Saya mengutip dialog dalam novel Atonia Uteri, laman 41, paragraf 6:         
“Aku bidan Sri, Dok! Melaporkan pasien atas nama Nyonya Pipet  dengan Atonia Uteri, Sistolik, 80 per 50 MmHg, nadi berdenyut 120 kali per menit, hipernea 23 kali per menit suhu adalah 37 derajat, mengalami perdarahan lebih sebanyak 2500 cc. Keadaan umum pasien nampak gelisah,” … … ...
Dialog di atas dan beberapa dialog lain, menggunakan beberapa simbol dan istilah khusus. Bagi pembaca yang bergelut di dunia kesehatan, kedokteran, terkhusus kebidanan, hal di atas mungkin tidak sulit dimengerti. Namun bagaimana dengan pembaca yang berasal dari kalangan awam? Apa itu sistolik, simbol MmHg itu menunjukkan arti apa? Tentu istilah di atas dan beberapa istilah lain akan terasa asing. Hanya ada dua pilihan bagi pembaca yang tidak berilmu pengetahuan kedokteran; Ia akan mencari tahu, atau memilih menghindari, dengan kata lain tidak berminat lagi melanjutkan membaca. Apalagi tidak ada catatan kaki, atau keterangan pendahuluan untuk menjelaskan berbagai istilah dan simbol.
Menurut saya, penulis belum meramu hasil riset dengan mengolah dan menyederhanakan bahannya dalam bentuk yang matang. Seyogianya  'keilmiahan' yang kaku dan asing diolah dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca. Dapat dengan menunjukkan kreativitas teknis (menyertakan catatan kaki atau keterangan istilah di awal pendahuluan), atau pun mengupayakn kreativitas lain semisal menyelipkan pengertian atau makna di antara deskripsi dan dialog secara lugas. Atau pun cara lain yang mungkin terpikirkan oleh penulis. Ini demi membuat pembaca akrab dengan karya, dan mereka dapat menikmati suatu pengalaman bermanfaat dan indah setelah membacanya.
Sebab, karya yang baik itu idealnya melayani calon pembaca, karena secara realitas sebuah karya tak akan lepas dari hukum timbal-balik: konsumen membutuhkan, produsen membuatkan. Pecinta sastra butuh ilmu pengetahuan yang mendalam dan mudah dipahami. Dengan kata lain, bacaan tersebut komunikatif. Dan secara logis dapat disebutkan, karya ilmiah cenderung diabaikan, bukanlah gambaran masyarakat tidak butuh ilmu, melainkan karena pola penyampaiannya yang mungkin kurang komunikatif.3

  1. Logika dan Motivasi Cerita
            Kendati ada novel yang diangkat berdasarkan kisah nyata. Namun para ahli sepakat menggolongkan novel sebagai karya fiksi. Cerita fiksi berisi karya yang tak nyata. Namun, walaupun sebuah cerita tak nyata. Itu haruslah tetap logis. Dapat dipikirkan, walau pun tidak harus masuk akal. Sedang motivasi cerita adalah sebab akibat yang terjadi dalam cerita, juga sebab akibat yang terjadi dalam diri tokoh dan antar tokoh hingga membentuk alur yang hidup dan wajar dalam cerita.
            Dalam Atonia Uteri, berapa logika dan motivasi cerita yang dapat saya bahas sebagai berikut:
            - Logika dari Segi Pengetahuan Umum
Pada laman 64, disebutkan gelar pendidikan tokoh utama adalah dr. Intan Nuralam, Sp.OG. Dideskripsikan bahwa saat ini dr. Intan tengah menempuh pendidikan spesialisasi pendidikan obstetri dan ginekologi. Logika cerita yang janggal adalah, gelar spesialisasi tidak seharusnya dicantumkan, jika seseorang sementara menempuh pendidikan tersebut. Cukup ditulis dr. Intan.
Demikian juga dengan beberapa penyebutan setting waktu (laman 2 dan 6). Dalam pengetahuan bahasa, penunjukan waktu 24 jam sehari menggunakan awalan pukul, sementara jam hanya digunakan hingga setengah hari. Jika menggunakan awalan pukul, maka akan berlaku hitungan dari 1–24 jam. Jika menggunakan awalan jam, maka berlaku hitungan dari 1– 2 jam, dengan tambahan penjelasan siang atau malam.  Sekitar pukul 0.800 WITA malam (sebaiknya ditulis: sekitar pukul 20.00 WITA), sekitar pukul 09.07 WITA (sebaiknya ditulis: pukul 21.07 WITA).
- Logika dari Segi Psikologis
Dalam novel ini disebutkan bahwa dr. Intan bertunangan dengan Syaifullah, sepupu sekali yang usianya jauh lebih muda. Bila menilik hubungan emosional mereka sejak kecil yang sudah selaik kakak dan adik (perhatikan laman 68) kemudian berbuah cinta saat dewasa (simak laman 97), secara psikologis ini agak aneh. Keadaan ini dapat diperdebatkan sebagai cerita yang kurang logis karena laki-laki lebih muda (mungkin  dapat ditolerir jika lelaki lebih tua) Apalagi, mereka tidak bertemu saat dewasa, melainkan sudah bersama sejak lahir. Otomatis (tante) Ani-lah yang menjadi satu-satunya orangtua bagi Intan, juga Syaifullah. Secara logika psikologis ini kurang bisa diterima. Walau pun (sekali lagi) dapat diperdebatkan karena bisa saja dalam kenyataannya hal ini terjadi. Tapi sebagai sebuah cerita, hal ini mengganggu logika cerita.
- Logika dari Segi Karakter Tokoh
Setiap tokoh yang dibangun oleh penulis harus memiliki karakter yang konsisten sepanjang alur cerita. Perkataan, tindakan dan pencitraan yang dilekatkan padanya harus selaras.
Tokoh direktur pada laman 134 dapat disimpulkan berwibawa dan berjiwa pemimpin (disegani, bawahan tunduk dan patuh). Namun saat membaca laman 140–148, karakter direktur yang disebutkan sebelumnya buyar. Direktur berkesan tidak mau bertanggungjawab. Karakter berwibawa dan disegani seperti yang disebutkan sebelumnya, adalah konsekuensi dari sikapnya kepada karyawan. Dalam plot ini sang direktur tak disegani oleh  dr. Intan. Hal ini mungkin disebabkan, penulis lupa mengontrol dialog yang sewajarnya saat para tokoh berkonflik. Konflik yang ada harusnya tidak membuat karakter tokoh berubah. Penulis wajib mengontrol intensitas kemarahan, atau pun kesedihan tokoh dalam skala yang wajar sesuai lingkup karakternya.
- Motivasi cerita
Motivasi cerita dapat juga diurai sebagai logika cerita dari segi sebab akibat sebuah alur dalam cerita atau pun sebab akibat yang terjadi dalam pengembangan unsur-unsur cerita. Terutama ide, karakter tokoh, maupun alur (jalan cerita).
Motivasi cerita ini tidak begitu kuat. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa bagian:
Sepanjang laman 69-71 sekurangnya ada 2 kekuatan motivasi yang kurang; tidak ada penjelasan yang rinci mengapa Intan yang sakit hati dan bahkan bersumpah tak mau menjadi dokter, tetapi toh akhirnya menjadi dokter,. Harus ada deskripsi logis penyebab Intan akhirnya mau bercita-cita menjadi dokter setelah sumpah itu. Kedua, disebutkan pada kisar laman tadi, saat tamat SMA, biaya dari warisan orangtua ludes, sehingga tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan. Dan tanpa ada penjelasan lanjut, Intan akhirnya menyelesaikan sarjana kedokteran, padahal sebelumnya Intan merencanakan masuk sekolah keguruan.
Motivasi cerita sebagai cerita misteri mistik tidak begitu jelas dan kuat. Pada awalnya cerita ini cukup berhasil membuat rasa penasaran, tapi makin ke dalam, alur cerita tidak membuka alur berpikir pembaca; mengapa teror bidan Sri mesti terus berulang dengan soal yang sama. Hemat saya cukup sekali saja, dan itu sudah efektif. Karena toh ini hanya mengungkap satu hal: jatidiri orangtua dr. Intan. Kalau pun di bagian akhir disebutkan bahwa dr. Intan memiliki indera keenam, gejala indera keenam dalam beberapa plot terkesan rapuh. Jika Intan memiliki indera keenam, tentu sejak kecil, ia seyogianya pernah mengalami sensasi indera keenam. Menurut saya, penulis sewajarnya meletakkan plot yang menggambarkan pengalaman ‘indera keenam’ Intan saat kecil.

  1. Sastra adalah Realitas Sosial
            Tokoh sosialis Lenin berkata, sastra haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar sosial demokrasi.
            Novel Atonia Uteri mengggambarkan realitas sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Rumah sakit adalah lembaga negara atau swata yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Dalam proses pemenuhan itu, sejumlah kompromi tentu akan berlaku. Jika masing-masing kepentingan tak bertitik, maka akan terjadi gesekan antara negara atau pemilik modal versus masyarakat.
            Konflik utama menurut saya yang berlangsung dalam novel ini adalah saat terjadi pertentangan antara dr. Intan dengan direktur rumah sakit. Sebenarnya potensi konflik dari masalah ini dapat digali lebih jauh lagi oleh penulis. Apa pasal? Sebab, ada tiga kepentingan yang dapat diracik, pertama posisi dr. Intan yang dipersalahkan. Kedua posisi direktur yang terancam dimutasi atau akan kehilangan pekerjaan/turun jabatan. Juga kondisi dari keluarga korban persalinan yang meninggal. Hadirnya tokoh wartawan juga potentif dikembangkan
            Jika memahami bahwa karya sastra adalah realitas sosial, makan karya sastra yang dihasilkan oleh penulis akan jauh lebih baik, motivasi dan logika cerita akan berlangsung wajar. Jika begitu, pembaca akan menangkap tak hanya keindahan yang menghibur, tapi juga pesan yang menginspirasi, mencerahkan, dan menggerakkan. Itulah sejatinya karya sastra.

  1. Penyuntingan sebagai Sentuhan Akhir4
            Menurut saya, proses menyunting karya setelah karya itu lahir adalah proses yang proporsinya  harus sama dengan penggarapan karya itu sendiri. Karya yang kita lahirkan haruslah selalu kita anggap sebagai draf, sebagai ide dasar. Kita memerlukan  beberapa saat untuk melihatnya kembali. Menyunting adalah mematangkan karya hingga terlihat ranum, terbayang lezat, dan manis saat dicecap.
            Menyunting bagi saya merupakan faktor penentu yang membuat sebuah karya sastra itu berhasil. Sebab saat menyunting, peluang penulis untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan pada berbagai hal bisa mencapai lebih dari 50 persen dari finalisasi sebuah karya.5
            Jika proses menyunting demikian vital, tentu batasan menyunting mesti diperjelas. Menyunting menurut saya tidak hanya terbatas pada cakupan memperbaiki huruf dan kata yang salah. Dalam menyunting, batasan itu terlampaui hingga merupakan sebuah usaha untuk melakukan pemantapan unsur-unsur karya sastra, dan motivasi logis yang membangun cerita. Novel ini tidak melalui pemeriksaan unsur teknis (aksara, tandabaca, pilihan kata, kalimat efektif) yang memadai.
            Atonia Uteri memiliki potensi menjadi karya yang kuat dan unik jika saja karya ini melalui proses penyuntingan yang baik dan memadai. Tidak hanya secara teknis tapi juga  penyuntingan secara substantif.6

Jangan takut pada kesempurnaan, Anda tidak akan pernah mencapainya.[4]

Makassar, 2 Desember 2011


[1] Dibawakan pada Bedah Novel Atonia Uteri dan Tips & Trik Menjadi Penulis yang diselenggarakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Universitas Negeri Makassar (UNM), Ahad, 4 Desember 2011 di Gedung Sao Panrita UNM Parangtambung.
[2] Dewan Penasihat FLP Sulsel, Emerging Writer pada Makassar International Writers Festival 2011.
[3] Esten, Mursal. 1978. Kesusasteraan: Pengajaran Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
2 Badrun, Ahmad. 1983. Pengantar Ilmu Sastra (Teori Sastra), Surabaya: Usaha Nasional.
3 Disarikan dari tulisan Faiz Manshur di http://faizmanshur.wordpress.com, Manfaat Sastra dan Peran Sastrawan, Ahad, 13 Nopember 2011, berdasarkan rangkuman Faiz terhadap buku kumpulan esai yang ditulis oleh Acep Zamzam Noor, Puisi dan Bulu Kuduk (Nuansa Cendekia, Juli, 2011).
4Sebagian penjelasan sikutip dari makalah penulis: Mengedit Cerpen.
5Bersifat kasuistik
6Hal teknis dalam karya mencakup aksara, penggunaan tanda baca, pilihan kata, kalimat efektif. Hal substansi dalam karya mencakup logika dan motivasi cerita yag melingkupi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik novel.
[4]                      Adagium oleh Salvador Dali.

1 komentar:

  1. salam, bagaimana cara penulisan dialog bahasa daerah pada sebuah cerpen? apakah terjemahannya harus didalam kurung dan merupakan bagian dari cerpen, atau memakai catatan kaki.??

    BalasHapus