Bedah novel
Atonia Uteri
Realitas
Sosial dalam Sastra[1]
Hamran
Sunu[2]
”Aku tidak
bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan
tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada
Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali”. (QS. Hud: 88)
Sastra
adalah bentuk-bentuk keindahan yang dialami pembaca setelah berpengalaman
membaca sebuah karya; cerpen, puisi, novel dan karya sastra lain. Itu,
merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imaginatif sebagai manifestasi
kehidupan manusia (masyarakat) melalui bahasa sebagai media komunikasi.[3]
Novel
Laskar Pelangi (LP), debut yang dibesut Andrea Hirata merupakan salah sebuah
bentuk pengungkapan keindahan yang dibidani dari fakta artistik, demikian pula
sekuel kelanjutan dari seri ini. Meskipun banyak yang berkeyakinan, termasuk
saya, kelanjutan LP, didominasi pengungkapan imajinatif dibanding fakta
artistik.
Satu
urai benang yang dapat saya simpul berdasarkan pengalaman membaca dan membuat
karya fiksi; cerpen dan novel, betapa pun merupakan pengungkapan fakta
artisitik penulis maupun orang lain yang menjadi objek tulisan, di dalamnya
akan dibaluri unsur imaginasi. Pun sebaliknya, betapa imaginatif sebuah karya
sastra, itu dalam beberapa penggal, akan bersandar pada pengalaman penulis.
Itulah sastra. Itulah novel.
Saya
yakin, Atonia Uteri juga adalah karya agung yang lahir dari fakta artistik dan
imaginasi penulis. Itu fiksi yang menggambarkan realitas sosial suatu
masyarakat, menceritakan tokoh utama seorang dokter kandungan, dr. Intan
Nuralam, Sp.OG. Dokter yatim piatu ini bertugas di kota kelahirannya, Pinrang.
Tokoh lain adalah bidan Sri, Itati, Fitri, ibu direktur rumah sakit, bidan
Pipiet, tante Ani, Syaifullah, Yunus, Denyar sang wartawan, dan tokoh lain.
Kisah
dalam novel beralur campur ini cukup runtut. Novel menggambarkan dunia medis
melalui dialog dan konflik yang dibangun oleh penulis melalui tokoh cerita. Ide
cerita dengan tema kedokteran/kebidanan mengindikasikan bahwa penulis melakukan
kreativitas berupa riset untuk membidani karya sastra ini, jika, mengingat
latar belakang penulis yang berprofesi sebagai guru. Dalam banyak dialog
disebutkan berbagai istilah dan simbol khas yang berkaitan dengan tema yang
digarap dalam karya ini.
- Komunikasi dalam Bahasa dan Simbol
Menurut Badrun, bahasa, garis, dan
simbol-simbol lain sebagai alat, yang membangun imaginatif yang bersifat seni, adalah ciri dari sebuah
karya sastra.2. Penulis Atonia Uteri telah berkomunikasi
dengan pembaca dengan sejumlah istilah dan simbol.
Saya mengutip dialog dalam novel
Atonia Uteri, laman 41, paragraf 6:
“Aku bidan Sri, Dok! Melaporkan
pasien atas nama Nyonya Pipet dengan
Atonia Uteri, Sistolik, 80 per 50 MmHg, nadi berdenyut 120 kali per menit,
hipernea 23 kali per menit suhu adalah 37 derajat, mengalami perdarahan lebih
sebanyak 2500 cc. Keadaan umum pasien nampak gelisah,” … … ...
Dialog di atas dan beberapa
dialog lain, menggunakan beberapa simbol dan istilah khusus. Bagi pembaca yang
bergelut di dunia kesehatan, kedokteran, terkhusus kebidanan, hal di atas
mungkin tidak sulit dimengerti. Namun bagaimana dengan pembaca yang berasal
dari kalangan awam? Apa itu sistolik, simbol MmHg itu menunjukkan arti apa?
Tentu istilah di atas dan beberapa istilah lain akan terasa asing. Hanya ada
dua pilihan bagi pembaca yang tidak berilmu pengetahuan kedokteran; Ia akan
mencari tahu, atau memilih menghindari, dengan kata lain tidak berminat lagi
melanjutkan membaca. Apalagi tidak ada catatan kaki, atau keterangan pendahuluan
untuk menjelaskan berbagai istilah dan simbol.
Menurut saya, penulis belum
meramu hasil riset dengan mengolah dan menyederhanakan bahannya dalam bentuk
yang matang. Seyogianya 'keilmiahan'
yang kaku dan asing diolah dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh pembaca. Dapat
dengan menunjukkan kreativitas teknis (menyertakan catatan kaki atau keterangan
istilah di awal pendahuluan), atau pun mengupayakn kreativitas lain semisal
menyelipkan pengertian atau makna di antara deskripsi dan dialog secara lugas.
Atau pun cara lain yang mungkin terpikirkan oleh penulis. Ini demi membuat
pembaca akrab dengan karya, dan mereka dapat menikmati suatu pengalaman
bermanfaat dan indah setelah membacanya.
Sebab, karya yang baik itu
idealnya melayani calon pembaca, karena secara realitas sebuah karya tak akan
lepas dari hukum timbal-balik: konsumen membutuhkan, produsen membuatkan.
Pecinta sastra butuh ilmu pengetahuan yang mendalam dan mudah dipahami. Dengan
kata lain, bacaan tersebut komunikatif. Dan secara logis dapat disebutkan,
karya ilmiah cenderung diabaikan, bukanlah gambaran masyarakat tidak butuh
ilmu, melainkan karena pola penyampaiannya yang mungkin kurang komunikatif.3
- Logika dan Motivasi Cerita
Kendati ada novel yang diangkat
berdasarkan kisah nyata. Namun para ahli sepakat menggolongkan novel sebagai
karya fiksi. Cerita fiksi berisi karya yang tak nyata. Namun, walaupun sebuah
cerita tak nyata. Itu haruslah tetap logis. Dapat dipikirkan, walau pun tidak
harus masuk akal. Sedang motivasi cerita adalah sebab akibat yang terjadi dalam
cerita, juga sebab akibat yang terjadi dalam diri tokoh dan antar tokoh hingga
membentuk alur yang hidup dan wajar dalam cerita.
Dalam Atonia Uteri, berapa logika
dan motivasi cerita yang dapat saya bahas sebagai berikut:
- Logika dari Segi Pengetahuan Umum
Pada laman 64, disebutkan gelar
pendidikan tokoh utama adalah dr. Intan Nuralam, Sp.OG. Dideskripsikan bahwa
saat ini dr. Intan tengah menempuh pendidikan spesialisasi pendidikan obstetri
dan ginekologi. Logika cerita yang janggal adalah, gelar spesialisasi tidak
seharusnya dicantumkan, jika seseorang sementara menempuh pendidikan tersebut.
Cukup ditulis dr. Intan.
Demikian juga dengan beberapa
penyebutan setting waktu (laman 2 dan 6). Dalam pengetahuan bahasa, penunjukan
waktu 24 jam sehari menggunakan awalan pukul,
sementara jam hanya digunakan hingga
setengah hari. Jika menggunakan awalan pukul, maka akan berlaku hitungan dari 1–24
jam. Jika menggunakan awalan jam, maka berlaku hitungan dari 1– 2 jam, dengan
tambahan penjelasan siang atau malam.
Sekitar pukul 0.800 WITA malam (sebaiknya ditulis: sekitar pukul 20.00
WITA), sekitar pukul 09.07 WITA (sebaiknya ditulis: pukul 21.07 WITA).
- Logika
dari Segi Psikologis
Dalam novel ini disebutkan bahwa
dr. Intan bertunangan dengan Syaifullah, sepupu sekali yang usianya jauh lebih
muda. Bila menilik hubungan emosional mereka sejak kecil yang sudah selaik
kakak dan adik (perhatikan laman 68) kemudian berbuah cinta saat dewasa (simak
laman 97), secara psikologis ini agak aneh. Keadaan ini dapat diperdebatkan
sebagai cerita yang kurang logis karena laki-laki lebih muda (mungkin dapat ditolerir jika lelaki lebih tua)
Apalagi, mereka tidak bertemu saat dewasa, melainkan sudah bersama sejak lahir.
Otomatis (tante) Ani-lah yang menjadi satu-satunya orangtua bagi Intan, juga
Syaifullah. Secara logika psikologis ini kurang bisa diterima. Walau pun
(sekali lagi) dapat diperdebatkan karena bisa saja dalam kenyataannya hal ini
terjadi. Tapi sebagai sebuah cerita, hal ini mengganggu logika cerita.
- Logika dari Segi Karakter Tokoh
Setiap tokoh yang dibangun oleh
penulis harus memiliki karakter yang konsisten sepanjang alur cerita.
Perkataan, tindakan dan pencitraan yang dilekatkan padanya harus selaras.
Tokoh direktur pada laman 134
dapat disimpulkan berwibawa dan berjiwa pemimpin (disegani, bawahan tunduk dan
patuh). Namun saat membaca laman 140–148, karakter direktur yang disebutkan
sebelumnya buyar. Direktur berkesan tidak mau bertanggungjawab. Karakter
berwibawa dan disegani seperti yang disebutkan sebelumnya, adalah konsekuensi
dari sikapnya kepada karyawan. Dalam plot ini sang direktur tak disegani
oleh dr. Intan. Hal ini mungkin
disebabkan, penulis lupa mengontrol dialog yang sewajarnya saat para tokoh
berkonflik. Konflik yang ada harusnya tidak membuat karakter tokoh berubah. Penulis
wajib mengontrol intensitas kemarahan, atau pun kesedihan tokoh dalam skala
yang wajar sesuai lingkup karakternya.
- Motivasi cerita
Motivasi cerita dapat juga diurai
sebagai logika cerita dari segi sebab akibat sebuah alur dalam cerita atau pun
sebab akibat yang terjadi dalam pengembangan unsur-unsur cerita. Terutama ide,
karakter tokoh, maupun alur (jalan cerita).
Motivasi cerita ini tidak begitu
kuat. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa bagian:
Sepanjang laman 69-71 sekurangnya ada 2
kekuatan motivasi yang kurang; tidak ada penjelasan yang rinci mengapa Intan
yang sakit hati dan bahkan bersumpah tak mau menjadi dokter, tetapi toh
akhirnya menjadi dokter,. Harus ada deskripsi logis penyebab Intan akhirnya mau
bercita-cita menjadi dokter setelah sumpah itu. Kedua, disebutkan pada kisar laman tadi, saat tamat SMA, biaya dari
warisan orangtua ludes, sehingga tidak ada biaya untuk melanjutkan pendidikan.
Dan tanpa ada penjelasan lanjut, Intan akhirnya menyelesaikan sarjana
kedokteran, padahal sebelumnya Intan merencanakan masuk sekolah keguruan.
Motivasi cerita sebagai cerita misteri
mistik tidak begitu jelas dan kuat. Pada awalnya cerita ini cukup berhasil
membuat rasa penasaran, tapi makin ke dalam, alur cerita tidak membuka alur
berpikir pembaca; mengapa teror bidan Sri mesti terus berulang dengan soal yang
sama. Hemat saya cukup sekali saja, dan itu sudah efektif. Karena toh ini hanya
mengungkap satu hal: jatidiri orangtua dr. Intan. Kalau pun di bagian akhir
disebutkan bahwa dr. Intan memiliki indera keenam, gejala indera keenam dalam
beberapa plot terkesan rapuh. Jika Intan memiliki indera keenam, tentu sejak
kecil, ia seyogianya pernah mengalami sensasi indera keenam. Menurut saya,
penulis sewajarnya meletakkan plot yang menggambarkan pengalaman ‘indera
keenam’ Intan saat kecil.
- Sastra adalah Realitas Sosial
Tokoh sosialis Lenin berkata, sastra
haruslah menjadi roda penggerak dan baling-baling dari sebuah mesin besar
sosial demokrasi.
Novel Atonia Uteri mengggambarkan
realitas sosial yang terjadi pada kehidupan masyarakat sehari-hari. Rumah sakit
adalah lembaga negara atau swata yang memberikan pelayanan kesehatan kepada
masyarakat. Dalam proses pemenuhan itu, sejumlah kompromi tentu akan berlaku. Jika
masing-masing kepentingan tak bertitik, maka akan terjadi gesekan antara negara
atau pemilik modal versus masyarakat.
Konflik utama menurut saya yang
berlangsung dalam novel ini adalah saat terjadi pertentangan antara dr. Intan
dengan direktur rumah sakit. Sebenarnya potensi konflik dari masalah ini dapat
digali lebih jauh lagi oleh penulis. Apa pasal? Sebab, ada tiga kepentingan
yang dapat diracik, pertama posisi dr. Intan yang dipersalahkan. Kedua posisi
direktur yang terancam dimutasi atau akan kehilangan pekerjaan/turun jabatan.
Juga kondisi dari keluarga korban persalinan yang meninggal. Hadirnya tokoh
wartawan juga potentif dikembangkan
Jika memahami bahwa karya sastra
adalah realitas sosial, makan karya sastra yang dihasilkan oleh penulis akan
jauh lebih baik, motivasi dan logika cerita akan berlangsung wajar. Jika
begitu, pembaca akan menangkap tak hanya keindahan yang menghibur, tapi juga
pesan yang menginspirasi, mencerahkan, dan menggerakkan. Itulah sejatinya karya
sastra.
- Penyuntingan sebagai Sentuhan Akhir4
Menurut saya, proses menyunting
karya setelah karya itu lahir adalah proses yang proporsinya harus sama dengan penggarapan karya itu
sendiri. Karya yang kita lahirkan haruslah selalu kita anggap sebagai draf,
sebagai ide dasar. Kita memerlukan beberapa
saat untuk melihatnya kembali. Menyunting adalah mematangkan karya hingga terlihat
ranum, terbayang lezat, dan manis saat dicecap.
Menyunting bagi saya merupakan
faktor penentu yang membuat sebuah karya sastra itu berhasil. Sebab saat
menyunting, peluang penulis untuk melakukan perbaikan dan penyempurnaan pada
berbagai hal bisa mencapai lebih dari 50 persen dari finalisasi sebuah karya.5
Jika proses menyunting demikian
vital, tentu batasan menyunting mesti diperjelas. Menyunting menurut saya tidak
hanya terbatas pada cakupan memperbaiki huruf dan kata yang salah. Dalam
menyunting, batasan itu terlampaui hingga merupakan sebuah usaha untuk
melakukan pemantapan unsur-unsur karya sastra, dan motivasi logis yang
membangun cerita. Novel ini tidak melalui pemeriksaan unsur teknis (aksara,
tandabaca, pilihan kata, kalimat efektif) yang memadai.
Atonia Uteri memiliki potensi
menjadi karya yang kuat dan unik jika saja karya ini melalui proses
penyuntingan yang baik dan memadai. Tidak hanya secara teknis tapi juga penyuntingan secara substantif.6
Jangan
takut pada kesempurnaan, Anda tidak akan pernah mencapainya.[4]
Makassar,
2 Desember 2011
[1]
Dibawakan
pada Bedah Novel Atonia Uteri dan Tips & Trik Menjadi Penulis yang
diselenggarakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Ranting Universitas Negeri
Makassar (UNM), Ahad, 4 Desember 2011 di Gedung Sao Panrita UNM Parangtambung.
[2] Dewan Penasihat
FLP Sulsel, Emerging Writer pada Makassar International Writers Festival 2011.
[3] Esten, Mursal.
1978. Kesusasteraan: Pengajaran Teori dan Sejarah. Bandung: Angkasa.
3
Disarikan dari tulisan Faiz Manshur di http://faizmanshur.wordpress.com, Manfaat
Sastra dan Peran Sastrawan, Ahad, 13 Nopember 2011, berdasarkan rangkuman
Faiz terhadap buku kumpulan esai yang ditulis oleh Acep Zamzam Noor, Puisi
dan Bulu Kuduk (Nuansa Cendekia, Juli, 2011).
4Sebagian
penjelasan sikutip dari makalah penulis: Mengedit Cerpen.
5Bersifat
kasuistik
6Hal teknis
dalam karya mencakup aksara, penggunaan tanda baca, pilihan kata, kalimat
efektif. Hal substansi dalam karya mencakup logika dan motivasi cerita yag
melingkupi unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik novel.
salam, bagaimana cara penulisan dialog bahasa daerah pada sebuah cerpen? apakah terjemahannya harus didalam kurung dan merupakan bagian dari cerpen, atau memakai catatan kaki.??
BalasHapus